~ Pergi ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ingin menepi.
Mengharap semua bisa teratasi.
Sebab ada dan tiadaku, sama saja.

🍂🍂🍂

Langit sudah menghitam, bintang-bintang mulai bermunculan. Entah sudah berapa jam mata Janu tertutup. Ia terlalu nyaman dengan tidurnya. Suasana kamar dibuat senyaman mungkin.

Mata sayu itu akhirnya terbuka. Ia melihat sekitar, tidak ada siapapun yang menemani. Hanya ada tabung oksigen portable di nakas samping tempat tidurnya. Begitu juga dengan beberapa bungkus obat dan inhaler yang biasa dipakainya.

Janu mengambil ponsel dan mengecek jam yang tertera. Waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Tubuhnya sudah terasa lebih baik dari sebelumnya. Ia segera melepas plester dan beranjak menuju kamar mandi.

Isi kepalanya kembali memberontak. Suara-suara memintanya untuk segera menyelesaikan permasalahannya. Mungkin tanggungan utang-piutang, atau masalah pekerjaan, begitu ia menerka.

Tidak menunggu waktu lama, Janu langsung bergegas mengisi tas ransel dengan barang-barang yang ia butuhkan. Mungkin keputusannya kali ini sama seperti mencari perkara, tetapi semua itu demi kebaikan bersama.

"Berkemas, pesan gojek, obat juga harus dibawa, apa lagi, ya?" Janu mengetuk dagunya dengan telunjuk. "Ah, iya! Laptop, charger hp, beberapa baju. Selembar surat pemberitahuan sepertinya sudah cukup."

Keputusan lelaki dua puluh empat tahun itu sudah bulat. Pergi di saat matahari bahkan belum menampakkan sinarnya. Mungkin lebih cocok kepergiannya ini mirip dengan maling. Bergerak sepelan mungkin, kemudian pergi dengan secarik pesan yang ditinggalkan.

🍂🍂🍂

Suara pemberitahuan kereta tiba di stasiun tujuan sudah menggema. Janu menggeliat dan segera melihat ke luar jendela. Matahari perlahan mulai merangkak naik. Ia membuka aplikasi gojek daring kemudian membuat pesanan.

Tidak berapa lama seorang lelaki berjaket dominan warna hijau menghampirinya.

"Dengan Pak Tarendra?"

"Saya, Pak."

"Mari, Pak. Saya antar ke tempat tujuan, ya. Sesuai dengan alamat yang tertera."

Sebuah helm diterima oleh Janu dan langsung dipakai. Rupanya kegiatannya terlalu pagi dimulai. Kendaraan mulai memadat. Beberapa kendaraan sudah pasti akan mengantar anak-anaknya ke sekolah, sisanya adalah pegawai yang akan pergi ke tempat bekerja.

Tujuan Janu kali ini sangat jelas. Kompleks perkantoran tempatnya bekerja dulu. Janu telanjur penasaran, bagaimana mereka bisa bertahan hidup setelah kepergiannya yang terbilang mendadak ini.

Jika mereka menganggap Janu keluarga, tentunya rasa kehilangan itu akan sangat terasa. Berbeda jika mereka hanya menganggap Janu sebagai pelengkap saja. Maka dengan mudah mereka akan mencari gantinya.

Perjalanan yang biasanya memakan waktu seperempat jam, kini terasa lebih lama.

"Maaf, Pak. Perjalanan kali ini sangat lama karena macet. Apa Pak Tarendra sedang terburu-buru?"

"Nggak, Pak. Saya santai, nggak ada keperluan yang terlalu mendesak. Masih aman, kok."

"Syukurlah kalau begitu. Saya tidak berani untuk ambil jalur lain karena memang tidak ada jalan lain selain menunggu kepadatan kendaraan ini mulai terurai."

Sampai akhirnya motor yang mereka naiki berhenti di depan gedung tinggi beberapa lantai. Janu turun, ia tidak lupa memberi tip sekadarnya untuk orang yang berada di hadapannya itu.

Lumayan, masih bisa melipir ke kafe sebelah sampai nanti jam makan siang, monolog Janu sambil menatap jam yang melingkar di tangannya.

Lelaki dengan tas ransel hijam, kemeja polos berwarna biru langit, dan celana jin berjalan santai menuju kafe yang sudah mulai merapikan tempat duduk. Sekitar sepuluh menit lagi kafe akan buka.

Tulisan close sudah dibali menjadi open oleh salah seorang pramusaji. Janu bergegas masuk. Ia langsung berdiri di depan meja pemesanan. Sepiring nasi goreng putih, ice americano two shots, beserta puding menjadi pilihannya untuk sarapan.

"Nyatanya, semua masih sama. Mereka bahkan tidak pernah sadar bahwa satu manusia sudah meninggal. Mungkin mereka masih mengenang, atau bahkan berhenti untuk mengenangku," gumam Janu.

Ketika makanannya sudah mulai habis, ia mulai memesan lagi beberapa cemilan untuk menemani harinya kali ini. Posisi tempat duduknya adalah tempat terakhir yang terakhir kali ia duduki ketika makan siang bersam sang sahabat, Faza.

"Mas? Bukannya Mas ini gurunya Anggi, ya?"

Suara khas milik seseorang yang Janu kenal menyapa indera pendengarannya. Ia lantas mendongal dan menemukan Faza berdiri di samping meja dengan membawa nampan.

"Oh, iya. Mas ini teman kakaknya Anggi, ya? Mau makan siang? Silakan duduk di sini kalau mau. Saya cari tempat lainnya."

"Nggak usah, di sini saja. Lagian saya hanya menghabiskan ini. Tidak butuh waktu lama."

Janu memindahkan ranselnya dari atas meja. Ia kemudian beralih menatap nampan yang baru saja Faza letakkan di atas meja.

"Hm, Mas Faza yakin makannya hanya itu? Mana kenyang? Cuma kopi dingin, salad, sama puding."

"Ini jadi menu kesukaan saya sejak Janu pergi, Mas. Menu terakhir dan momen terakhir saya bersama dia, di sini, di meja ini."

"Maaf nggak bermaksud membuka kenangan lagi soal kakaknya Anggi."

"Nggak apa-apa."

Janu cukup bahagia karena setidaknya ia bisa melepas rindu dengan sang sahabat. Jika dilihat-lihat, sosok di hadapannya ini terlihat lebih kurus dari saat terakhir bertemu. Ditambah dengan cekung berwarna kehitaman di bawah mata Faza.

"Ternyata kehilangan itu begitu berat, ya?" ujar Janu saat Faza terlihat tidak menikmati makanan di hadapannya.

Faza mengangguk sambil mulai menyendok salad dan membawa ke depan mulutnya. Tanpa Janu sadari, lelaki yang menjadi sahabat sejak kecil itu tertunduk semakin dalam sambill mengunyah dengan perlahan.

Janu bukannya tidak peka, ia ingin sekali berhambur memeluk sahabatnya, tetapi ia berusaha menahan diri. Tidak akan lucu semisal dua orang baru kenal saling berpelukan dan menenangkan.

"Entah itu pernyataan atau pertanyaan, tapi memang iya. Sesulit itu kehilangan. Apalagi tangan ini yang terakhir kali mengusap air mata karena kesakitan yang ia tanggung."

Sang sahabat mengangkat tangannya dan mengamatinya beberapa kali. Faza menghela napas, ia menyandarkan bahunya pada sandaran kursi dan menatap sosok yang duduk di hadapannya.

"Ada yang salah dengan saya?"

Faza menggeleng. "Nggak ada, setelah saya lihat, Mata Mas Tarendra mirip dengan mata Janu."

Tangan Janu terangkat dan menyentuh kedua matanya dengan perlahan. Tidak. Ini tidak akan selesai jika Janu terbawa suasana. Ia seharusnya bisa menuju kantornya jika saja Faza tidak datang ke kafe ini.

"Mata saya memang bagus."

"Nggak ada yang bisa ngalahin pujian ke diri sendiri," sahut Janu ketus.

"Lalu, ada keperluan apa Mas Tarendra ke sini? Apa berusaha mencari lowongan pekerjaan atau sekadar gabut?"

Bukannya jawaban justru cengiran yang Janu tampilkan. Tangannya terangkat dan menggaruk kepala yang padahal tidak gatal.

"S-saya ada keperluan di gedung itu, Mas."

Janu sengaja menunjuk ke arah gedung tempatnya bekerja. Berharap apa yang ia ucapkan tidak memperpanjang pertemuannya bersama Faza.

"Mau saya temani? Kebetulan itu tempat kerja kakaknya Anggi."

Kedua tangan Janu langsung maju dan bergoyang ke kanan dan ke kiri menolah tawaran Faza.

Masa iya kudu jujur sama Faza? Kalau selesai? Kalau malah bikin mumet, gimana? Nggak kelar ini masalah, batin Janu.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 14 Oktober 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro