~ Keluarga (?) ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dari sekian banyak kesempatan,
mengapa waktu yang menjadi batasan?
Tidak bisakah aku memperpanjang waktu yang diberikan?
Ah, dasar manusia!
Diberi waktu minta yang lain.
Kalau tidak egois, ya, semena-mena.

🍂🍂🍂

Mungkin benar bahwa manusia memang tidak ada puasnya. Namun, sebuah pencapaian itu adalah penantian panjang. Beberapa bisa tercapai dengan usaha yang singkat. Yang lainnya bisa mencapai setelah berkali-kali jatuh, lalu bangun, lalu jatuh lagi.

Sepulang dari sekolah, Janu kembali ke rumah. Seperti kebiasaan yang sebelumnya, Arfa mengantarkannya ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang keduanya masih diam.

Bahkan Janu tidak menawarkan Arfa untuk mampir seperti basa-basi biasanya. Ia terlalu lelah dengan semua yang dilalui hari ini. Tubuhnya dirasa sangat penat dan ingin beristirahat.

"Sudah pulang, Nak? Cepat bersih-bersih, Mama siapkan makan dulu, ya?"

Janu mengangguk dan langsung menuju kamar yang menurutnya sangat nyaman ditempati. Begitu ia masuk ke kamar, sosok makhluk kecil dengan pipi serupa bakpau langsung berlari dan memeluk kakinya.

"A' Tata pulang. Main sama Nana, ya?"

"Aa' masih bau, loh. Mau mandi dulu sebentar, ya? Boleh?"

Si kecil mengangguk bahkan berlari ke balkon dan mengambilkan handuk untuk sang kakak ketika Janu sibuk mengeluarkan barang-barang dari tasnya.

"Handuknya."

"Makasih, Na." Janu mengambil alih handuknya dan mengusap kepala si kecil. Ia lantas melangkah ke kamar mandi.

Janu tidak habis pikir, bagaimana keluarga ini bisa memiliki jalinan adik-kakak dengan selisih usia yang lumayan jauh. Sembilan belas tahun bukan jarak yang sedikit. Tarendra menjadi kakak saat usianya sembilan belas.

Semua dijelaskan dalam ponselnya. Betapa ia bahagianya diberikan sosok si kecil. Adik laki-laki yang sangat ingin ia miliki ketika masih usia sekolah dasar. Dari gambar yang ada di ponsel itu sangat menunjukkan bahwa Tarendra sangat menyayangi Janardana.

Hanya saja, ketika Janu menyelaminya lebih jauh, ada masa ketika Tarendra menunjukkan amarahnya di dalam catatan mengenai Janardana. Jika Janu menilai, itu adalah wajar sebagai bentuk kecemburuan karena kasih sayang keluarganya terbagi. Sama seperti ketika ia baru memiliki Anggi sebagai bagian keluarganya.

"Na, di sekolah belajar apa tadi?" tanya Janu dari arah kamar mandi.

"A' ndak boleh ngobrol kalau di kamar mandi kata Bu Guru."

"Kenapa, Na?"

"Aa' diem. Banyak setan kamar mandi sana. Sudah doa masuk kamar mandi?"

Janu terkikik di kamar mandi karena ia sudah lupa dengan doa yang si kecil maksud. Tidak ingin memperpanjang masalah, Janu memilih bungkam dan segera menyelesaikannya urusan di kamar mandi.

Tetes-tetes air terjatuh dari rambut Janu. Handuk yang ia kalungkan di leher sesekali diangkat untuk mengusap tetes air yang masih tersisa. Ia melangkah perlahan dan berdiri di atas keset untuk mengeringkan kakinya.

Namun, belum juga melangkah, Janu seperti kehilangan pijakannya dan membuat ia berpegangan erat pada kusen pintu kamar mandi. Rasanya seperti dihantam lalu melayang.

Janu membuka matanya sebentar, tetapi tidak tahan karena situasi kamar seperti berputar kencang. Ia menutup mata dengan erat berharap sensasi berputar itu bisa menghilang.

Bukannya mereda, ketika matanya terpejam, Janu seperti diperlihatkan sekelebat ingatan yang bukan miliknya. Ia merasa berdiri di depan lemari sembil menatap laci yang sudah terbuka.

Pegangan Janu semakin erat ketika ia juga merasakan amarah hadir dalam ingatan itu. Ia semakin yakin bahwa ingatan milik Tarendra mulai merasuki kepalanya.

"N-na, bantu Aa', bisa?" Suara parau milik Janu langsung menghentikan kegiatan Janardana yang tengah asik membolak-balik buku dengan penuh warna itu.

"Aa' pusing?"

Janu mengangguk dengan mata terpejam dan tangan memegang kepalanya. ia merasakan dua tangan kecil menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Masih dengan kepala yang berdenyut dan sensasi berputar, Janu duduk bersandar pada kepala ranjang.

"Nana pangil Mama, A'."

Belum juga si kecil turun, ia menahannya dan menggeleng. "Nana di sini saja, sama Aa'."

"Mama punya obat biar Aa' ndak sakit kepalanya."

Sosok yang lebih dewasa itu tetap menggeleng. Ia meminta Janardana untuk duduk di sebelahnya. Dalam kesempatan itu, Janu merebahkan kepalanya di pangkuan si kecil.

"Nana pijetin di sini, yaa," pinta Janu.

Tangan kecil Janardana diarahkan ke pelipis Janu. dengan perlahan si kecil mengusap sambil meniup kening yang sudah mulai basah karena keringat. Usapan perlahan disertai tiupan itu membuat Janu sedikit tenang.

Meski begitu, ingatan yang hadir tidak lantas membuatnya tenang, ia justru khawatir jika itu pertanda bahwa waktunya memang tidak banyak untuk menyelesaikan masalahnya.

"Na, kenapa kening Aa' ditiup?"

"Biar cepat adem. Kayak mamam mi ayam, biar adem tiup-tiup dulu, Aa'."

Janu langsung meraba kening dan lehernya sendiri. Sensasi panas langsung menyapanya. Ia terlalu terlena pada belaian si kecil sampai tidak menyadari bahwa tubuhnya sedang demam.

"Aa' bukan makanan, Na."

Janardana berdiam sejenak lalu menyingkirkan kepala Janu dari pangkuannya dengan kasar sampai kepala sang kakak menabrak kepala ranjang. Meski mengaduh dengan cukup keras, Janardana enggan peduli.

Si kecil itu bergegas turun dari ranjang dan langsung berlalu ke luar kamar. Derap kaki kecilnya seketika terdengar. Begitu kembali, ia membawa sesuatu di tangannya.

"Nana panas Mama kasih ini," ucapnya sambil menunjukkan plester penurun demam.

Si bungsu bergegas naik dan meraih kepala Janu. Sekali lagi perlakuan yang tiba-tiba itu membuat Janu meringis. Setidaknya ada tiga plester penurun demam yang dibawa oleh Janardana.

Satu plester diletakkan di kening, dua lainnya diletakkan di pipi kanan dan pipi kiri. Janu sudah terlalu pasrah dengan keadaannya sendiri. Sehingga apa yang dilakukan oleh Janardana, ia terima begitu saja.

Allah bersama orang-orang yang sabar. Nggak apa-apa, maklumi, Ekata Janu Haridra adalah orang paling sabar ke delapan versi On The Spot, batin Janu.

"Ta, jadi ..., Tuhan. Ini kenapa, Ta?"

"Adek, Ma," jawab Janu pelan.

"Aa' panas, Mama. Kasih itu biar dingin."

"Nana, itu plester anak, kalau Aa' nggak pakai itu, sayang."

Wanita yang datang tepat waktu itu lalu mendekat pada Janu. Memegang kepalanya yang basah, lalu berbalik untuk mencari handuk. Sementara si kecil masih tetap dengan kegiatannya meniup kening sang kakak.

"Kepalanya dikeringkan dulu biar nggak makin pusing. Itu plesternya dibuka, ya? Mama ganti sama plester untuk dewasa."

"Tanggung, Ma. Sayang juga. Lagian ini Nana niatnya juga biar cepet reda demamnya."

Si wanita tersenyum dan melanjutkan kegiatan mengeringkan rambut Janu. Ia perlahan bersenandung pelan lagu anak berjudul Dua Balerina yang dibawakan Sherina. Bukannya mereda, suara senandung wanita di hadapannya itu seperti membuka memori milik Tarendra.

Denyutan di kepalanya semakin terasa. Janu mengangkat tangan dan memukul kepalanya sambil merintih. Ia menepis tangan yang masih memegang handuk di kepalanya.

"Jangan dijambak rambutnya, Ta, nanti tambah sakit," pinta wanita di hadapannya sambil mencoba meregangkan tangan Janu yang menarik rambutnya.

"Ma, Aa' ...."

"Nggak apa-apa, Mama minta tolong Nana panggil Ayah, bisa?"

Si kecil bergegas turun dan berlari ke luar kamar lagi. Si wanita memilih untuk membelai halus kepala Janu dengan begitu lembut. Saat denyut kepalanya mulai berkurang, Janu terdiam, ia menatap ke dalam bola mata mama Tarendra.

"Mama sayang Tata 'kan? Jangan buang Tata, Ma. Tata anak Mama 'kan? Jangan dibuang, Ma. Jangan!"

Janu bisa mendengar dengan jelas suara yang ia ucapkan. Namun, apa yang diucapkan barusan bukan dari hatinya. Dengan kata lain, ia tidak mengendalikan mulutnya untuk berbicara seperti itu.

"T-ta, Tata, Ma ...," ujar suara itu sekali lagi.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 13 Oktober 2022
Na_NarayaAlina


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro