~ Diragukan ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktuku tidak banyak.
Kesempatanku juga tidak mungkin datang berulang kali.
Namun, aku masih percaya pada satu hal.
Keajaiban & kuasa-Nya.

🍂🍂🍂

Waktu memang berjalan begitu cepat. Janu yang memasuki kelas XII, ternyata sudah mengakhiri pelajarannya hari ini. Sekitar tiga jam pelajaran ia habiskan hanya sekadar mendengarkan cerita tentang siapa dirinya.

Meski begitu, ia sangat puas sebab banyak informasi yang bisa ia gunakan sebagai referensi menjalani hidup sebagai Tarendra. Setelah kelasnya usai dan selesai menutup kegiatan hari itu, Janu keluar kelas, tetapi suara panggilan salah satu siswa membuatnya menoleh.

"Ada apa?"

Sosok gadis mungil kini berdiri di hadapannya. Ia terdiam beberapa saat dan mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah gantungan kunci berbentuk panda kini tepat berada di hadapannya.

"Punya Pak Tata waktu ke rumah. Kata Mas Faza itu ketinggalan."

"Oh, buat Anggi saja kalau begitu. Saya tidak membutuhkannya."

"Pak Tata masih nggak mau ngasih penjelasan kenapa bisa sampai ke rumah saya?"

Janu mengambil ponsel dan menunjukkan dua grup paling atas yang disematkan. "Saya tahu dari situ. Ada alamat rumah dan beberapa berita tentang kakak kamu. Entah mengapa, saya ingin menemui kami, Gi. Apa itu salah?"

Anggi menggeleng. Gadis mungil itu menyeka sudut matanya yang mulai menitikkan air mata. "Terima kasih atas ketulusannya, Pak. Maaf jika saya sempat salah sangka sama Pak Tata."

"Hm, apa boleh kalau besok-besok main lagi?"

"Rumah saya selalu terbuka, Pak."

"Masuk sana, nanti keburu pelajaran dimulai."

Anggi mengangguk kemudian meninggalkan Janu. Sementara itu, Janu menghela napasnya ketika merasa lega berhasil menghentikan rasa penasaran sang adik. Ia juga mulai berpikir, mungkin alasan informasi grup bisa ia terapkan pada sahabat barunya, Arfa.

Ia melenggang menuju ruang guru. Di sana beberapa guru ternyata sedang menggelar acara makan bersama. Beberapa guru perempuan membawa beragam masakan lengkap dengan es dan buahnya.

"Pak Tata, mari bergabung. Jangan sungkan, ya," ucap salah seorang guru laki-laki dengan rambut yang mulai memutih.

Janu tidak segera bergabung, ia melihat seisi ruangan, tetapi sahabatnya tidak terlihat.

"Cari Pak Arfa? Masih ada jam mengajar."

Salah seorang wanita berhijab dengan kacamata berbingkai hitam mencoba menerka apa yang ada dalam pikiran Janu. Ketika lelaki itu hendak maju dan bergabung, tiba-tiba salah seorang pemuda berbaju OB masuk ke ruang guru.

"Pak Fajar, ada? Mau minta tolong mesin fotokopinya ngadat lagi. Man sekarang hari terakhir gandakan soal UTS."

"Pak Fajar masih dalam perjalanan dinas sampai besok." Salah seorang guru menjawab sambil membawa piring berisikan jajanan tradisional dan buah. "Ini bagi-bagi sama yang di TU, ya?"

"Alhamdulillah, rezeki, tapi mesin fotokopinya, gimana?"

"Saya bantu, Mas."

Suara Janu seketika menarik perhatian seisi ruangan. Semua mata tertuju padanya. Ia tidak ingin berlama-lama menjadi pusat perhatian. Dengan segera ia menarik lengan si OB untuk menjauh dari ruang guru.

Janu bukannya tidak mendengar bahwa di belakangnya banyak suara bising yang berbicara.

"Tumben?"

"Emangnya bisa?"

"Kesambet apa sampai mau masuk ke ruang TU?"

Janu menghela napas, ia mengabaikan suara-suara yang menghampiri telinganya. Begitu sampai di ruang TU, ia lekas mencoba membenahi apa yang salah dengan mesin fotokopi.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Janu bisa mengoperasikan kembali mesin yang mogok itu. OB yang mendampingi pun takjub dan tersenyum karena keberhasilannya kali ini.

Saat tengah tersenyum lebar, Janu dikejutkan dengan kehadiran Arfa. Sahabat Tarendra itu langsung menarik tangan Janu untuk keluar ruangan tersebut.

Keduanya berjalan cepat menuju tempat yang terhalang dinding. Janu bahkan nyaris terjatuh karena langkah kaki Arfa yang lebar dan sulit untuk mengimbanginya.

"Bisa pelan? Saya nggak bisa ngimbangin, Fa!"

"Lo apa-apaan?"

"Kamu yang apa-apaan? Tangan saya sakit, kaki saya keseleo."

Keduanya saling berteriak. Mata Arfa memerah, napasnya memburu seperti habis lari maraton. Tangan yang awalnya menarik tangan Janu sekarang terkepal hingga buku jarinya tampak menonjol.

Janu yang merasa tidak melakukan kesalahan berbalik menatap Arfa dengan sorot mata yang juga tajam. Seperti anak kecil yang bertengkar, keduanya masih saling diam.

"Duduk!" perintah Arfa.

Janu mengikuti arah telunjuk Arfa. Ia menunjuk sebatang pohon yang cukup besar untuk dijadikan tempat duduk. Begitu suasananya cukup tenang, Arfa memeriksa kaki Janu.

"Nggak usah! Cuma sakit sedikit."

"Liat bentar doang, Ta. Takut ada yang retak."

Setelah melihat kaki Janu, Arfa berpindah dan duduk di sebelah Janu. Ia mengusap lehernya dan menghela napas. Janu merasa canggung dengan situasi yang ia hadapi saat ini.

Isi kepala Janu terlalu liar. Ia bahkan takut jika warga sekolah memergokinya sedang berduaan di tempat sepi. Ingin sekali ia beranjak, tetapi tidak mungkin karena permasalahannya belum selesai.

"Ini mau diem sampai kapan?"

"Lo berubah banget, Ta. Gue sampai nggak kenalin lo lagi, Ta."

"Semua bisa berubah, Fa. Segitu nggak pedulinya saya sama sekitar sampai anak-anak juga menilai saya terlalu tertutup. Saya yang cuek, terlalu pendiam, tidak peka, bahkan dinilai dingin. Cuma sama kamu saya bisa berbicara. Itu saya 'kan? Saya versi lama," ucap Janu dengan intonasi yang semakin menurun.

"Ta, lo itu terlalu asing buat gue. Lo bukan Tarendra. Lo berbeda, Ta."

"Masih sama, Fa. Kamu juga masih panggil saya Tata, Tarendra."

Arfa mengusap wajahnya kasar. Kepalanya tertunduk, sepasang tangannya saling meremat. Sebuah kecemasan sangat terlihat dari mata Arfa.

"Saya juga masih adik kamu, Fa. Itu yang selalu kamu bilang 'kan? Makanya kamu memperlakukan saya dengan sangat baik."

Janu tidak asal berbicara untuk kalo ini. Ia sudah merangkum semua tentang Tarendra secara terperinci. Dari barang-barang bahkan catatan-catatan yang Tarendra tinggalkan di ponselnya.

Ponsel Tarendra adalah isi kepalanya. Semua dicatat terperinci terutama mengenai kedekatannya dengan Arfa. Meski begitu, Janu tidak habis pikir bagaimana dua manusia ini bisa berteman dengan sangat baik.

"Lo sudah ingat, Ta?"

Janu menggeleng, tetapi ia menunjukkan ponsel digenggaman tangannya. "Di sini ada 85% tentang kamu dan Nana. Bahkan Mama dan Ayah masuk di 15% sisanya. Ajaib 'kan?"

Arfa memandang takjub ke arah ponsel berwarna silver itu. Sangat tidak menyangka bahwa Tarendra bisa mencatat semuanya di sana.

"Katamu, aku ini pelupa, ceroboh, susah diandalkan. Sekarang aku ingin berubah, Fa. Aku nggak ingin bergantung."

Begitu kata-kata tidak ingin bergantung meluncur dari mulutnya, Janu langsung tersadar. Jika saja Arfa tidak melihat ke arahnya, mungkin Janu sudah memukul mulutnya yang lancang itu.

Janu menyesali kata-katanya, sebab hal itu bisa menimbulkan masalah baru. Apalagi Arfa bukan sosok yang mudah untuk ditaklukkan rasa penasarannya.

Benar apa yang ia sangkakan. Tatapan mata Arta tampak semakin tajam. Janu tertunduk karena aura berbeda yang ia rasakan kali ini

Mampus! Kamu ini Tarendra, Nu. Fix, cari mati kamu, mah. Beneran cari mati. Mau jadi pahlawan jangan kesiangan. Tuh singa udah lirik-lirik!

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 12 Oktober 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro