~ Perhatian ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ada yang hilang, tetapi bukan dicuri.
Sebuah perhatian yang dulu ada, tiada, kini kembali lagi.
Aneh? Tidak begitu, tetapi cukup menarik.
Menimbulkan tanya tanpa sanggup menjawab

🍂🍂🍂

Hari sudah beranjak sore. Semburat jingga sudah menjadi latar langit di ufuk barat. Janu yang seharian hanya berkutat di kamar Tarendra merasa tidak betah. Ia berusaha menghubungi satu-satunya nomor yang mungkin bisa membantunya.

Tidak berapa lama, seseorang yang diharapkan akhirnya tiba. Tanpa canggung, lelaki yang katanya menjadi sahabat Tarendra sejak SD itu memasuki kamar. Arfa langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

"Kayak capek banget, dah, kenapa?"

"Nggak kenapa-kenapa. murid kesayangan akhirnya masuk setelah beberapa hari absen karena kakaknya meninggal."

"Siapa? Anggi?"

"Kok ingat?" Arfa kaget mendengar nama Anggi. Ia langsung terduduk dan menatap tajam ke dalam bola mata Janu.

Janu menghela napas, ia mengambil ponsel dan menunjukkan beberapa grup kelas dan grup sekolah. "Dibahas di situ. Kalau mau bantuin keluarganya bisa nggak?"

"Tumben lo peduli sama siswa?"

"Bukannya sebagai guru memang seperti itu?"

"Tapi dari dulu lo nggak gitu, Ta. Lo emang bener guru PKN, tapi sikap lo selama ini tidak mencerminkan bahkan tidak mengamalkan apa itu warga yang baik dan hidup bertoleransi."

Janu mengernyit. Tarendra seorang guru, tetapi tidak seperti guru. Lalu, bagaimana kepribadian lelaki yang tubuhnya sedang ia pakai ini?
"Masa, sih?"

"Lagian, lo juga nggak biasanya ndekem di rumah. Ini termasuk rekor terbaik bisa seharian di rumah."

Kerutan di dahi Janu semakin banyak. Lelaki dua puluh empat tahun itu tidak menyangka akan banyak cerita tentang Tarendra yang harus ia gali lebih dalam lagi. Belum lagi dengan kasusnya yang seperti menemui jalan buntu.

"Fa, semua bisa berubah 'kan? Semisal ingatanku nggak balik, mau bantu nggak?"

"Nggak usah ngadi-ngadi, Ta. Emang lo mau ngapain?"

"Bantuin keluarganya Anggi. Kakaknya itu difitnah. Katanya karena miras, tapi kayaknya ada yang nggak beres."

Arfa mengambil bantal dan melemparkannya ke arah wajah Janu. "Lo kalau mau bantuin orang, bantu dulu diri lo sendiri. Ngurus diri sendiri aja nggak becus, pakai acara mau bantuin kasus orang lain."

Janu menggaruk kepalanya. Ia baru menyadari bahwa memulai akan selalu lebih berat dari meneruskan. Sejenak ia berpikir cara lain yang mungkin bisa dilakukannya. Belum juga selesai memikirkannya, Arfa berdiri dan pamit untuk pulang.

"Balik ah, lagian ke sini juga nggak ada yang dikerjain. Cuma jadi temen gabut."

"Fa, besok boleh pinjem motor kamu?"

Arfa berbalik dan menatap Janu dari ujung kaki ke ujung kepala. Lelaki itu lalu mendekat dan menyentuh kening Janu. "Nggak panas. Lo ngelindur apa gimana?"

"Kan cuma pinjam motor, apa yang salah?"

"Ya, salah, Tarendra! Sejak kapan lo bisa motoran?"

Lelaki si pemilik kamar langsung menelan ludahnya. Ia salah langkah, lupa bahwa itu bukan badannya. Tentu segala kebiasaan juga bukan miliknya. Ia hanya menumpang sementara sampai semuanya selesai.

🍂🍂🍂

Gerbang sekolah terbuka lebar, satu persatu siswa mulai berdatangan. Beberapa guru termasuk Janu dan Arfa menyambut siswanya di pintu masuk. Mereka menjawab salam dan menyambut tangan-tangan yang hendak mencium punggung tangan gurunya.

Dari kejauhan, Janu melihat Anggi berjalan pelan. Sosok gadis mungil itu pergi dan pulang sekolah dengan berjalan kaki karena jarak sekolah dan indekosnya memang cukup dekat.

Setelah Anggi sadar siapa yang berada di depan gerbang, ia mempercepat langkahnya. Setelah menyalami dua guru pertama, Anggi berdiri tepat di hadapan Janu. Ia meraih dan mencium punggung tangan Janu.

"Pak Tata masih ada utang penjelasan sama saya. Kenapa bisa sampai di rumah saya waktu itu. Padahal di grup sempat ramai kalau katanya Pak Tata sakit."

Ucapan Anggi yang lumayan keras ternyata menarik perhatian Arfa. Ia masih fokus menerima jabat tangan siswa, tetapi juga antusias mendengarkan setiap perkataan yang diucapkan Anggi.

"Jadi lo ngilang dari sekolah karena ke rumah Anggi? Kok bisa?"

"Iya, Pak. Kalau Pak Arfa yang ke rumah, Anggi nggak akan kaget. Ini Pak Tata yang ke rumah, bahkan nemenin Anggi sampai ke makam."

Janu langsung menerima pandangan tajam dari Arfa. Hal itu membuatnya salah tingkah. Ingin menjawab, tetapi kata-katanya tercekat. Ingin beralasan, alasan apa yang tepat untuk menjawab keduanya?

Bila bel masuk tidak berbunyi, mungkin selesai sudah tugas Janu dan dipercepat. Namun, keuntungan sedang berpihak kepadanya. Ia kini dihadapkan dengan pening yang berbeda.

Percakapan ketiganya harus diakhiri tanpa penyelesaian. Mereka membubarkan diri secara terpaksa karena bel yang sudah berbunyi. Janu segera beranjak menuju ruang kantor. Dan inilah pening yang berbeda itu.

Ia melihat jam mengajar yang padat untuk hari ini. Masalah utamanya, ia bukan berasal dari sarjana pendidikan, dan kini Janu diharuskan masuk kelas dan mengajar pelajaran yang tidak begitu bersahabat dengannya semasa sekolah.

"Fa, kelasnya sebelah mana?"

"Yakin mau ngajar? Lo masih banyak utang penjelasan, loh!"

"Kalau nggak mau nunjukin, aku bisa cari sendiri."

Janu mengambil buku yang sesuai dengan kelas yang akan ia tuju. Langkahnya dibuat sepelan mungkin. Beberapa siswa menyapanya dengan ramah, sebagian lainnya hanya menatap dan menganggukkan kepala.

Begitu label kelas XII terlihat, ia langsung masuk kelas dan disambut dengan ucapan selamat datang dengan beberapa rangkaian balon dan hiasan di dinding. Janu langsung mundur selangkah sambil menutup telinganya.

Jantungnya berdebar dengan sangat keras. Beberapa siswa yang melihat sang guru hanya mematung di depan pintu akhirnya mendekati Janu.

"Pak Tata nggak apa-apa? Maaf kalau bikin kaget. Maaf, Pak."

Orang yang dipanggil tidak segera memberi tanggapan. Matanya memandang kosong ke arah gerombolan siswa yang mulai mengelilinginya. Mata Janu berkedip lalu menarik bibir hingga melengkungkan senyum.

"Nggak apa-apa, agak kaget sedikit. Masuk, yuk."

Penghuni kelas itu langsung mengambil posisi di tempatnya masing-masing. Mereka sedikit berisik dengan situasi yang terjadi pagi ini. Setelah ketua kelas memberi aba-aba untuk salam dan berdoa, mereka mengikutinya.

Begitu selesai, keheningan langsung melanda seisi kelas. Bagaimana tidak, Janu benar-benar tidak memiliki gambaran apa-apa tentang menjadi guru. Ia baru kali ini berdiri di depan kelas dengan semua mata tertuju padanya.

"Hm, kalian kenal dengan saya?" Pertanyaan itu mendapat jawaban anggukan dari sebagian besar siswa. Janu menjeda kalimatnya sambil satu persatu menatap wajah-wajah muda di depannya.

"Sayangnya, saya tidak mengenal kalian. Mungkin ke depannya akan berbeda. Maka dari itu, saya butuh bantuan kalian sebagai pengingat di saat saya melupakan sesuatu."

"Pak Tata beneran amnesia?"

"Nggak ingat sama semuanya?"

"Sampai kapan, Pak?"

"Bapak ingat sama saya?"

Suara penghuni kelas itu saling bersahutan. Janu mengangkat tangannya dan meminta untuk berhenti. "Satu-satu kalau mau bertanya. Anggi, bisa bantu saya?"

Seorang nama yang Janu sebut dengan tiba-tiba akhirnya membuat seisi kelas terdiam. Padahal sosok yang ia panggil tidak menunjukkan minat untuk bertanya ataupun sekadar berbicara pada Janu.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 11 Oktober 2022
Na_NarayaAlina


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro