~ Rumah ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ingin segera pulang.
Pada mereka yang akan selalu menyambutku.
Pada mereka yang selalu mengharapkanku.
Pada mereka yang tahu aku tiada, tetapi selalu menunggu.

🍂🍂🍂

Suara dari arah belakang membuat gadis mungil yang tengah memeluk nisan itu langsung menoleh. Ia tampak terkejut dengan kehadiran sosok yang tengah berdiri di belakangnya. Janu menatap jauh pada manik mata si gadis berkerudung hitam itu.

Sorot mata yang tampak redup, dengan sembab yang sangat terlihat. Tidak perlu dijelaskan lagi bagaimana rasa kehilangan itu. Tidak perlu ditanyakan pula apa yang terjadi dan bagaimana kejadian sampai ia rela menumpahkan air matanya sebanyak itu.

"Please, berhenti nangisnya, Gi, berhenti," pinta Janu dengan wajah yang turut banjir air mata.

"P-pak Tata kenapa bisa sampai di sini?"

Janu seketika tersadar ketika pemilik nama Dwi Hanggita itu memanggilnya dengan nama Pak Tata. Debaran di dadanya semakin tidak menentu. Sampai saat gadis yang biasa disapa Anggi itu mencoba berdiri, tetapi oleng dan nyaris saja terjatuh jika Janu tidak meraih tangannya.

"Hati-hati, Gi," ujar Janu sambil meraih tangan Anggi dan menyuruhnya berpegang pada lengannya. Ia langsung menyadari perbedaan antara suhu badannya dan gadis di hadapannya.

"Kesemutan saja, Pak. Pertanyaan saya belum dijawab, nih."

"Kamu demam. Kita pulang, ya? Nanti saya jelaskan sampai di rumah."

Anggi mengangguk, tangannya masih tidak lepas dari lengan Janu. Keduanya berjalan beriringan, tetapi belum sampai pintu area pemakaman Anggi tiba-tiba berhenti. Ia memejamkan matanya ketika pusing menghantam kepalanya.

Janu dengan sigap berjongkok di depan Anggi. "Ayo naik, saya antar sampai rumah."

Anggi mengibaskan tangannya pertanda keberatan dengan tawaran itu. Ia milih berjalan pelan dan melewati Janu yang sudah mempersiapkan punggung untuknya.

"Gi, nggak usah keras kepala. Saya tahu kamu sudah tidak sanggup. Sakit bilang sakit, jangan ditahan."

Suara keras Janu membuat Anggi membatu. Hal ini menjadi kesempatan untuk Janu. Ia menarik tangan Anggi dan menggendong si gadis mungil itu di punggungnya. Karena tidak mendapat penolakan, Janu memulai berjalan dengan pelan.

Jarak antara rumah dan pemakaman hanya sekitar lima ratus meter. Anggi yang semua merasa canggung dengan kedatangan sang guru, akhirnya memilih pasrah. Ia bahkan meletakkan kepalanya dengan nyaman pada bahu di hadapannya.

"Dulu, A' Janu sering menggendong saya seperti ini. Sejak dia kerja, kami jarang bertemu. Apalagi saya tinggal di indekos. Kami berjauhan. Saya rindu dia."

"Hm ..., teruskan kalau ingin lanjut bercerita."

"Saya rindu A'Janu. Saya rindu, Pak, tapi A'Janu sudah nggak ada. Saya harus bagaimana?"

"Lepaskan semuanya, Gi. Supaya kakak kamu tenang."

Janu berusaha mengucapkan kalimat itu dengan jelas. Padahal, getar pada suaranya terdengar jelas di telingan Anggi. Lelaki dua puluh empat tahun itu harus kuat menahan sesak karena menahan tangisnya supaya tidak pecah.

"Saya nggak bisa nangis di depan orang tua saya, Pak. Saya bersama A'Janu baru tujuh belas tahun, sedangkan ayah dan ibu sudah lebih lama bersamanya. Mereka hancur, Pak."

Langkah kaki Janu memelan kemudian berhenti saat mendengar ucapan dan tangis Anggi yang semakin deras. Ia bahkan merasakan pundaknya basah. Tetesan air mata itu semakin deras.

"Gi, jangan nangis lagi. Ikhlaskan, ya?"

"Saya hanya menangis, Pak, bukan tidak ikhlas. Saya hanya rindu."

Kalimat Anggi menampar Janu. Perkara ikhlas itu memang beda. Menangis bukan karena tidak ikhlas. Karena terkadang hanya air mata yang bisa menjadi pelampiasan rindu.

Langkah kaki Janu kembali berayun. Tepat ketika ia telah berbelok, tiga orang berlari menghampirinya. Tiga orang lelaki yang dulunya sering menjadi sandaran dan tempat cerita kala suntuk melanda.

"Anggi!" teriak sang Ayah dengan suara berat dan khas.

Suara yang dulu terdengar biasa saja, tetapi sekarang mampu membuat lututnya bergetar hebat. Di samping sang ayah, ia melihat wajah yang paling terakhir ia lihat sebelum matanya tertutup saat di diskotik.

Topangan kaki Janu semakin melemah ketika melihat wajah panik dari sahabatnya itu. Ia seketika terduduk saat menyadari beban di punggungnya semakin memberat. Anggi kehilangan kesadarannya dan terkulai di punggungnya.

Satu lagi sosok yang ikut mendekat yaitu sepupu laki-laki sekaligus teman sepermainan Faza dan Janu.

"Za, pindahin Anggi," perintah Rico sang sepupu.

"Anggi pingsan, Za?" tanya sang ayah dengan wajah yang tak kalah cemas.

Faza mengangguk lalu mendekati Janu, "Permisi, Mas, saya pindah adik saya dulu, ya?"

Begitu Anggi sudah berada di punggung sepupunya, sang ayah langsung pamit untuk membawa Anggi pulang terlebih dahulu. Janu mengangguk. Ia masih tidak bisa menanggapi apa-apa.

Sebuah tangan terulur di depan wajahnya. Janu mendongak, persis dengan kejadian di diskotik, ia melihat wajah cemas Faza. Ini sulit dipercaya. Orang yang biasanya berceloteh panjang lebar berubah menjadi asing.

"Mas? Baik-baik saja?"

"Ah, iya." Janu menerima uluran tangan Faza dan berdiri.

"Saya Faza, kalau boleh tahu, Mas siapa?"

"Sa-saya Tata, salah satu guru di sekolah Anggi."

Janu berusaha berbicara dengan lancar meski suaranya mulai tercekat. Tanpa ajakan, tanpa ada basa-basi, Faza berjalan berdampingan dengan Janu. Setidaknya, Janu melihat bahwa sang sahabat benar-benar menjaga keluarganya.

Bahkan telinga Janu tidak salah mendengar ketika Faza menyebut Anggi sebagai adiknya. Namun, hal itu tidak menjadi lega baginya. Ia melihat bagaimana Anggi jatuh sakit setelah kepergiannya.

Hal yang kini mengganggu pikirannya adalah sang ibu. Apalagi Anggi menyebutkan bahwa orang tuanya hancur karena kepergiannya yang mendadak.

"Mas, silakan duduk dulu. Saya tinggal sebentar."

Janu duduk di teras yang dialasi karpet menggantikan kursi yang biasanya ada di sana. Ia juga sedikit melihat ke dalam rumah. Hampir seluruhnya dialasi karpet. Ya, ini belum seminggu kepergiannya, tentu kegiatan pengajian masih terus berjalan.

Ketika sedang menunggu Faza kembali, ia melihat segerombolan orang masuk ke halaman dan langsung naik ke teras. Janu berdiri ketika menyadari mereka adalah teman-teman dari tempatnya bekerja.

Tidak cukupkah kejutan di hari ini? Semua terjadi dengan tiba-tiba. Janu kini memposisikan diri sebagai tamu, toh yang mereka lihat adalah wajah Tarendra, bukan wajahnya.

Rico mempersilakan tamu-tamu itu untuk duduk, kemudian ia menghilang lagi. Janu yang tidak ada pilihan lain, akhirnya memilih untuk bergabung dengan mereka.

"Dari mana, Mas?" tanya Janu untuk sekadar memecah keheningan.

"Kita teman kerjanya Eka, Mas." Lelaki berkacamata di hadapannya yang menjawab.

Seseorang di sebelah lelaki berkacamata menepuk lengannya, "Eka? Janu, Mas."

"Ekata Janu Haridra kan? Bisa Eka, bisa Janu."

Perdebatan sederhana itu membuat Janu menghela napas. Perkara nama panggilan saja sudah membuat gaduh suasana.

"Kalau masnya, dari mana? Temannya Janu juga?"

"Ah, saya guru adiknya Mas Janu," ucap Janu dengan perasaan sangat aneh karena menyebut namanya. "Mas Janu meninggalnya kenapa, ya, kalau boleh saya tahu."

Kelima orang yang ada di hadapan Janu langsung terdiam dan saling bertukar pandang. Si paling ujung langsung meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya. Ia kemudian memanggil Janu untuk mendekat.

Janu mendekat dan mengarahkan kepalanya supaya lebih dekat lagi. Jantung Janu mendadak berdebar. Ia sangat tidak siap untuk mendengar tentang berita kematiannya dan juga penilaian tentang penyebab kematiannya.

"Miras oplosan, Mas. Gitu kabarnya," ucap seseorang yang paling ujung dengan sangat pelan.

Mendengar hal itu, tubuh Janu seketika melemas. Bahunya merosot. Bagaimana bisa ia dikabarkan mati karena miras oplosan. Sepertinya ini adalah kode baginya. Ia harus menyelesaikan salah satu perkara supaya jalannya lebih mudah dan lebih cepat

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 08 Oktober 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro