~ Rumit ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku ingin tertidur pulas.
Aku ingin tenang tanpa ada beban.
Namun, secara sadar akhirnya aku memilih.
Sebab aku tidak sedang bermimpi.

🍂🍂🍂

Hamparan sawah nan hijau memanjakan mata. Meski ini perkotaan padat, tetapi ketika kereta membawanya meluncur ke arah selatan, pemandangan asri yang ia dapatkan.

Janu sudah berada di kereta selama lima belas menit. Percakapannya dengan Faza harus terhenti karena dering ponselnya yang tidak kunjung berhenti. Mama dan Arfa, dua panggilan itu yang paling mendominasi secara bergantian.

Lelaki dengan rambut ikal itu menyadari bahwa dirinya kini harus membagi waktu karena menjaga dua keluarga sekaligus. Jika ia mengabaikan salah satunya, maka akan kacau keduanya.

Pikiran Janu kembali pada saat teman-teman kantornya berpamitan dan akhirnya Faza dan Rico sang sepupu yang menemaninya di teras rumah. Tatanan rumah itu masih sama, hanya suasananya saja yang berbeda.

"A' Janu! Anggi mau Aa, Yah. A'Janu!"

Suara teriakan Anggi dalam rumah membuat ketiga pemuda yang seusia itu berlari ke dalam rumah. Mereka menemukan Anggi terduduk di lantai sambil ditenangkan oleh kedua orangtuanya.

"Gi, jangan gini, Dek. Janu sudah tenang. Ikhlas, ya?"

"Mas Faza, Anggi mau A' Janu. Dia ke mana? Dia ingkar sama janjinya."

Janu tidak menyangka ia akan berada di situasi seperti ini. Situasi yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mungkin dulu ia berpikir semua akan baik-baik saja meski tanpa kehadirannya, tetapi ini tidak seperti yang sangkakan.

Demi menenangkan sang adik yang masih belum menerima kepergiannya, Janu meminta izin untuk membantu Faza. Ia berlutut berhadapan dengan Anggi.

"Anggi, lihat mata saya sebentar, ya?" pinta Janu sambil memegang kepala Anggi untuk menghadap kepadanya. "Tarik napas, buang. Tarik napas, buang. Sudah?"

Ketika Anggi terlihat lebih tenang, ia meminta izin terlebih dahulu untuk merangkul Anggi. Bagaimanapun, wajah yang keluarganya lihat adalah wajah Tarendra, bukan wajahnya sebagai Janu. Akan terkesan tidak sopan jika ia berbuat seenaknya.

"Pak Tata nggak minta Anggi untuk ikhlas, itu sulit. Nggak ada juga yang mau minta Anggi untuk bersabar, karena Anggi sudah sabar dengan keadaan. Pak Tata hanya minta Anggi untuk terbuka. Sakit, sedih, rindu, bilang semuanya, sampaikan semuanya. Jangan ada yang ditahan, ya?"

"Bisa nggak kalau A' Janu nggak pergi? Anggi nggak sanggup. Nggak bisa, Pak?"

Hampir seluruh mata terpusat pada Anggi. Bahkan mata yang melihat kejadian itu tampak berkaca-kaca. Salah satu pukulan telak untuk seorang adik ketika kehilangan saudara yang menjadi sandaran untuknya.

Kata-kata yang sudah dipersiapkan untuk menenangkan Anggi tiba-tiba saja lenyap. Ia hanya mampu merangkul Anggi sampai si gadis mungil itu terlelap di bahunya. Janu membawa Anggi ke kamar setelah orang tuanya memberikan izin.

Janu kembali ke teras bersama Faza dan Rico. Ketiganya kembali pada pembahasan sebelumnya. Dulu Janu sempat berpikir bagaimana rasanya mati, bagaimana ketika ia sudah tidak bernyawa. Siapa yang akan memandikan dan merawat jenazahnya.

Belum lagi pikiran siapa yang akan menangisi kepergiannya. Berapa lama mereka akan bersedih karena kehilangan dirinya. Semua pertanyaan itu berenang di kepalanya. Sampai ia mengalaminya sendiri, ternyata sangat menyakitkan melihat keluarga menangis untuknya.

"Pak Tata tahu? Wajah Janu itu tersenyum, damai banget, seperti orang yang sedang tidur. Iya 'kan, Ric?"

"Ho'oh. Dia pergi dengan damai. Persetan orang bilang dia mati karena miras. Nggak gitu kejadiannya. Bacot orang aja seenaknya ngomongin Janu."

"Aku yang ada di tempat kejadian, ini lagi nunggu kasusnya biar diusut tuntas. Kita serahin sama kepolisian saja."

"Loh, sampai ke ranah hukum?" tanya Janu karena dua manusia ini membahas tentang usut tuntas kematiannya.

Faza mengangguk. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya. "Perempuan di tempat kejadian bilang kalau Janu dicekoki minuman, tapi pas dimintai keterangan ulang, dia nyangkal semua ucapannya itu."

🍂🍂🍂

"Nu, jangan terlalu lama. Gue nggak bisa nunggu lama-lama. Lo juga nggak bisa kelamaan di badan gue."

Suara di dalam mimpi Janu terdengar sangat jelas. Suara dari seseorang yang pernah menyapanya juga dalam mimpi. Bersamaan dengan itu, pemberitahuan bahwa kereta akan berhenti di stasiun tujuan menggema di gerbong kereta.

Tubuh Janu tersentak, ia merasa kaget dan langsung berusaha untuk duduk dengan tegak. Ia merasakan kereta mulai memelan. Ketika Janu mengintip di jendela, benar, ini adalah tujuannya.

Ia segera mengikuti instruksi untuk bersiap dan menuju pintu kereta. Janu mulai melangkah perlahan mengkuti sejumlah orang yang juga akan turun di stasiun tersebut. Sepanjang jalan mengikuti petunjuk arah untuk keluar stasiun, dering ponselnya masih tetap berbunyi.

"Aku ada di stasiun, bisa minta tolong jemput? Nggak sanggup mau balik ke sekolah. Badanku lemas."

Singkat, padat, jelas. Begitulah ucapan Janu pada si penelepon bahkan saat si penelepon belum mengeluarkan sepatah kata. Belum juga mendapat balasan, Janu langsung memutus sambungan telepon itu.

Janu menuju ke arah kursi tunggu. Kepalanya mendadak pening. Ditambah dengan beberapa fakta yang ia dapatkan di rumahnya. Sungguh harinya sangat melelahkan. Belum lagi dengan suara Tarendra yang berdengung di telinganya.

Tidak sampai sepuluh menit, sosok yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Arfa berlari dari ujung hingga sampai ke depan Janu yang tengah duduk sambil memejamkan matanya.

"Ta, pulang sekarang? Ada yang sakit? Atau mau ke rumah sakit dulu?"

Janu membuka matanya dan melihat sosok di hadapannya berbayang menjadi tiga. Ia menggelengkan kepala untuk menghalau pusingnya. "Pulang," ucap Janu perlahan sambil berusaha untuk berdiri.

Shit! Lemah banget nih badan. Masa iya harus bergantung sama manusia satu ini? batin Janu saat merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit dan semakin lemas.

Arfa segera memegang lengan Janu terlihat kesusahan ketika akan berdiri. "Punya mulut buat minta tolong 'kan?"

"Jangan ngajak berantem dulu. Aku pusing."

"Lo hutang banyak penjelasan ke gue dan Mama Tania. Dia khawatir banget pas gue bilang lo nggak ada di sekolah."

"Makanya nggak usah sok cepuin ke Mama."

Arfa menoleh sambil menatap Janu dengan sangat tajam. Ia tidak menyangka sahabatnya akan menjawab seperti itu. Biasanya, sosok Tarendra akan diam ketika itu menyangkut mamanya. Kali ini berbeda. Sosok sahabatnya kini sudah mulai berani menjawab.

Perjalanan menuju rumah Tarendra sebenarnya tidak begitu jauh, tetapi jam pulang sekolah full day school hampir bersamaan dengan jam pulang kantor. Hal ini membuat jalan utama menjadi padat merayap.

"Minta tolong bangunin kalau sudah sampai."

Arfa menoleh ke arah kursi penumpang di sebelahnya. Ia mengangguk tanda setuju. Namun, perhatiannya tertuju pada kening Janu yang mulai dipenuhi bintik-bintik di keningnya.

Belum sepuluh menit berlalu, perhatian Arfa kembali teralihkan pada suara mengi ketika orang di sebelahnya itu menarik napas. Seketika ia melihat keadaan di depannya dan menepikan mobilnya.

'Ta, bangun, Ta." Arfa mengguncang tubuh Janu yang entah masih sadar atau tidak.

Posisi Janu yang menyandarkan kepala ke pintu mobil membuat Arfa sedikit kesulitan. Ia membuka sabuk pengaman dan membuat tubuh Janu menghadap ke depan. Wajah sahabatnya sudah seputih kapas dengan napas yang terputus-putus.

"Jangan panik, jangan panik," ucap Arfa sambil mencari inhaler di tas yang dibawa Janu.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 09 Oktober 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro