~ Suka-Suka ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Menjadi pemikir itu tidak enak.
Semua menjadi satu, seperti benang kusut.
Ujungnya di mana?
Entahlah, sebab rumitnya tidak terkendali.

🍂🍂🍂

Gedung-gedung tinggi menjulang. Orang-orang yang melintas tampak seperti manusia kerumunan semut apabila dilihat dari lantai tertinggi bangungan itu. Sosok lelaki dengan lengan kemeja yang digulung mengamati lalu-lalang manusia di bawah sana.

Ekata Janu Haridra tersenyum penuh makna. Mimpinya untuk berdiri di situ akhirnya tercapai. Sudah dua tahun lamanya ia bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang properti itu.

Memiliki ruangan bersama tim pengembang menjadi salah satu kebanggannya. Menjadi sulung di keluarga membuatnya harus bekerja ekstra untuk membantu pendidikan adik perempuan satu-satunya.

"Nu, nggak makan siang?" sapa seorang rekan kerjanya.

"Bentar lagi, Mas. Tunggu telepon dari teman. Mau ngajak makan siang bareng di kafe sebelah."

"Oh, teman yang biasanya itu 'kan?"

Janu mengangguk sambil tersenyum. "Eh, Mas, ini laporan yang kemarin diminta, gimana? Sudah beres, tinggal print."

"Titip di kamu saja dulu, besok atau lusa sebelum presentasi saja kirim surel, ya?"

"Jangan, Mas. Setelah makan siang Janu kirim. Takut lupa."

"Ok, thanks."

Rekan kerja yang berusia lima tahun lebih tua dari Janu itu mengacungkan jempol dan berlalu meninggalkan ruangan. Sementara itu, Janu akhirnya mendapat panggilan dari sahabat yang dimaksud.

Lelaki dua puluh empat tahun itu mengambil tas dan dengan terburu-buru keluar ruangan untuk memenuhi permintaan sahabatnya. Janu banyak menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya.

Begitu sampai di pelataran kantor, ia melambaikan tangan dan dibalas oleh lelaki yang menjadi sahabat selama dua puluh tahun itu. Ajaib, bukan? Mereka adalah teman sejak di taman bermain.

Meski berbeda sekolah, keduanya tidak pernah absen untuk main bersama. Bahkan saling mengenalkan teman masing-masing. Bertengkar, baikan, bertengkar lagi, baikan lagi, itu adalah rutinitas dua sahabat yang mungkin lebih layak dikatakan saudara.

Di mana ada Janu, pasti Faza. Begitu para tetangga dan keluarga mereka menyebutnya. Padahal jika bertemu dan bermain, tak jarang kedua manusia ini bertengkar, tetapi keesokan harinya mereka akan kembali bermain seperti tidak terjadi apa-apa.

Janu mendekati Faza dan merangkul bahu saudara laki-lakinya ini. Keduanya berjalan menuju kafe yang berada tidak jauh dari lokasi kantor mereka. Seorang pramusaji membukakan pintu dan menyambut keduanya dengan senyum.

"Nu, mau pesan apa?"

"Ice Americano sama salad sama puding, Za."

Lelaki pemilik nama lengkap Faza Rafardhan itu langsung menoleh ketika mendengar pesanan Janu yang tampak seperti cemilan saja. "Yakin itu saja? Nanti lembur, nggak? Tambah makanan berat lagi, ya?"

"Tadi sarapan udah makanan berat, Za. Ibu masakin nasi goreng."

"Pantesan nggak mau, nasi goreng Ibu, gitu. Emang paling the best. Nambah berapa kali?"

Janu mengangkat dua jarinya lengkap dengan cengiran yang khas dengan lesung pipi. "Maklum, menu favorit, Za."

"Tunggu di sana, biar nanti aku yang bawa pesananmu sekalian."

Janu mengangguk dan menuju sudut kafe yang tampak lebih sepi. Pemandangan yang terlihat, sudut kafe itu sedikit terhalang beberapa pajangan, sehingga sangat cocok untuk menenangkan diri dan menghindar dari tatapan orang yang baru memasuki kafe.

Pemilik mata coklat itu meletakkan tas di meja. Ia mengeluarkan ponsel pintarnya dan memeriksa pesan yang masuk. Sejenak lelaki dengan kemeja berwarna baby blue itu menghentikan kegiatannya dan fokus memandangi meja.

"Makanan datang," ujar Faza sambil menurunkan nampannya dengan hati-hati.

Faza menatap mata Janu yang seperti kosong menatap ke arah meja. Beberapa kali tangannya melambai di depan wajah Janu, tetapi temannya itu tetap tidak memberikan respon.

"Nu ...," panggil Faza dengan sangat pelan.

Lelaki itu paham betul bagaimana memperlakukan sosok di hadapannya. Janu memang tidak suka dengan hal yang mengagetkan, sehingga Faza melakukan dengan sepelan mungkin.

"Nu, are you okay?" tanya Faza sekali lagi.

Janu langsung mendongak dan mendapati wajah Faza yang mencemaskannya. "Ya? Ah, okay. I'm fine, Za."

"Minum dulu, lah. Biar segeran."

Tidak menunggu lama, Janu langsung menarik gelas dan menyedot minuman yang dipesannya. Dua kali teguk, sensasi kopi dingin itu langsung menyebar dan membuka matanya.

Situasi kembali hening. Faza melihat Janu kembali terdiam. Sorot mata itu kembali kosong. Ini adalah kesekian kalinya Janu berlaku seperti ini. Beberapa waktu lalu bahkan Faza marah karena ceritanya tidak mendapat tanggapan karena Juanu melamun.

"Za, ajari aku bilang nggak, dong!"

Faza yang tengah meminum jus jeruk langsung tersedak dan terbatuk beberapa kali mendengar permintaan Janu. Ia membersihkan bibir dan bekas jus yang tersembur dari mulutnya.

"Tinggal ngomong, nggak, loh!"

"Susah, Za. Takut nyakitin."

"Heh, Ekata Janu Haridra, kamu bukan pohon yang kena panas terik, hujan, badai, angin ribut, tapi tetap diam di satu tempat, nggak bisa protes karena nggak punya mulut. Kamu manusia yang dianugerahi mulut buat ngomong. Ngomong, Nu, ngomong!"

Janu menggeleng. Ia tahu batas kemampuannya untuk menolak permintaan bantuan dalam bentuk itu adalah nol besar. Mustahil. Tidak mungkin. Gelengan itu Janu akhiri dengan senyum lagi.

Faza menghela napas, ia benar-benar takjub dengan lelaki satu ini. sudah dua puluh tahun saling kenal, tetapi sikapnya tidak pernah berubah. Masih lelaki yang kadang pemalu, sungkan untuk menolak, dan selalu mengatakan iya kepada siapa saja yang meminta bantuannya.

Suara dering telepon menjeda obrolan keduanya. Faza memilih menikmati makanannya ketika Janu mengangkat telepon yang entah dari siapa. Ketika sambungan telepon berakhir, Janu menyandarkan punggungnya pada kursi.

"Kenapa?"

"Nggak apa-apa, cuma diminta buat pantau tim desain grafis."

"Demi Naruto yang belum tamat-tamat, kamu sadar nggak? Kamu itu dimanfaatkan. Itu bukan kerjaan yang seharusnya kamu lakuin. Tolak!"

Janu menggeleng, "Suka-suka mereka mau minta aku kerjain apa. Aku kerja untuk melakukan pekerjaan dan dibayar."

"Dibayar double?"

Lagi-lagi lelaki itu menggeleng, Faza membanting sendoknya dan mulai melipat tangannya. Pandangan mata yang mengintimidasi ia munculkan demi kebaikan sang sahabat. Faza terlalu gemas dengan Janu yang memang paling susah untuk dilarang.

"Za, kalau misal aku nggak ada, kira-kira perusahaan gimana? Kan semuanya aku yang pegang, Za."

"Perusahaan bakalan lupain kamu, cari penggantimu, dan kamu bakalan berakhir dimakan belatung."

"Terus ..., kamu gimana, Za?"

"Ini bahas apaan, sih? Nggak usah ngalihin pembicaraan, deh."

Janu mengatupkan bibirnya dan menunduk ketika tatapan mata Faza berubah menjadi menyeramkan. Ia memilih untuk diam dan menelan kembali pertanyaan-pertanyaan yang berkelana di kepalanya.

Kedua sahabat itu memilih untuk diam kali ini, tidak seperti biasanya yang selalu beradu mulut hingga persoalan semakin memanas.

"Sori, Za. Nggak maksud apa-apa."

"Makanya, pertanyaan itu nggak usah aneh-aneh."

"Za, mau nggak anggap keluargaku sebagai keluargamu, termasuk jagain adikku?"

Mata Faza melotot mendengar pertanyaan dari Janu. Ia menggebrak meja dan menunjuk wajah Janu. Aura kemarahan Faza seperti memuncak. Janu tertunduk sekali lagi dan memukul mulutnya yang sudah lancang berucap kata-kata yang paling Faza tidak suka.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 01 Oktober 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro