~ Sulit ~

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang menurutmu sulit, bisa jadi mudah untukku.
Apa yang menurutmu mudah, tidak begitu untukku.
Jangan menyamaratakan!
Karena kesulitan kita jelas berbeda.

🍂🍂🍂

Jatah jam makan siang sudah habis. Janu kembali ke kantornya, begitu juga dengan Faza. Meski berakhir dengan aksi saling diam untuk beberapa saat, ketika berpamitan untuk kembali, mereka sudah seperti biasanya.

Tidak ada lagi perdebatan seperti masa kanak-kanak dulu. Emosi Faza hanya sesaat dan berhasil dikendalikan. Hasil dari pertemanan selama dua dekade itu menjadi indah ketika keduanya bahkan saling menyelesaikan masalah hanya dengan saling menatap.

"Nu, jadi kirim berkasnya? Kalau nggak, nggak apa-apa besok saja."

"Jadi, Mas. Sebentar lagi Janu kirim biar nggak lupa."

"Oke. Oh, iya, abis ini ke tempat desain grafis sama aku, soalnya mereka butuh masukan untuk kegiatan kita bulan depan."

"Siap, Mas."

Janu langsung menuju meja kerjanya, membuka personal computer yang memang khusus untuknya dan langsung mengerjakan apa yang ia janjikan pada sang rekan kerja. Ia memilih beberapa berkas dan mengirimkan pada si penerima.

Ketika masih berkutat dengan pekerjaan lainnya, Janu dikejutkan dengan seorang office boy yang menuju ke arahnya.

"Mas Janu, boleh minta tolong lagi? Mesin fotokopinya ngadat lagi, Mas. Sudah saya coba benerin, tapi masih nggak mau, Mas."

"Lagi dibutuhkan banget, ya?"

"Iya, Mas, ditunggu soalnya."

Lelaki yang menggunakan kacamata hanya di saat menghadapi komputer itu langsung berdiri. Mereka berjalan berdampingan dan menuju ruangan khusus untuk mesin fotokopi.

Beberapa rekan kerja yang akan menggandakan berkas sudah mengantri tidak sabaran. Janu menerobos antrian dan langsung membuka tempat mesin fotokopi. Ia membuka tempat mengisi kertas dan menemukan beberapa kertas kusut bertumpuk di sana.

Dengan telaten lelaki itu mengeluarkan dan membersihkannya. Begitu selesai, ia juga memeriksa bagian lain yang berpotensi memicu masalah. Setelah dirasa baik, barulah ia mencoba mengoperasikannya lagi.

"Wah, Mas Janu memang jago, ya? Nggak salah minta bantuan sama Mas Janu."

"Thanks, Nu, kamu sudah mempermudah semuanya." Salah satu rekan kerja yang ada di barisan antrian menepuk bahu Janu dengan penuh rasa bangga.

Janu membalas semuanya tanpa kata. Ia hanya tersenyum lalu sedikit membungkuk dan meninggalkan ruangan itu. Belum juga sampai di ruangannya, ia menoleh ketika sosok wanita memanggilnya.

"A' Janu sibuk, nggak? Aku mau minta tolong. Laptopku bermasalah, katanya harus install ulang, bisa bantuin?"

"Dibutuhkannya buru-buru? Soalnya nggak bisa selesai sehari atau dua hari. Agak lamaan."

"Nggak apa-apa. Kalau bisa, besok aku bawa laptopnya, ya?"

"Siap."

Janu menghela napas ketika ia sudah sendirian berada di ruangannya. Ia berpikir bahwa begitu mudahnya mengumbar janji, padahal belum tahu bagaimana nasibnya. Jangankan untuk esok, untuk satu jam ke depan saja ia tidak bisa menjamin bagaimana ia menjalani hidupnya.

Me:
Za, kalau semisal aku beneran mati duluan, gimana?
Gimana dengan mereka yang bergantung nasibnya karena aku?

Fa_Za:
Vangke🖕
Jaga ketikannya.
Jangan takabur!

Me:
Misalnya, Za. Misal!
Nggak mau bantuin jawab juga nggak apa-apa

Fa_Za:
Nggak ada yang lebih merasa kehilangan selain keluarga.

Balasan terakhir dari Faza membuat Janu merenung kembali. Tentang segala yang ia lakukan untuk keluarga, teman, dan kenalan lainnya. Apakah itu semua sudah cukup untuknya? Apakah semua yang dilakukan sudah bisa membuatnya berharga?

Ada ketakukan yang perlahan menyeruak dalam diri Janu. Beberapa pemikiran yang sempat singgah dan mengganggu di beberapa waktu terakhir. Kegiatan bersama ayah, ibu, dan adiknya dirasa belum cukup.

Ia juga merasa bahwa belum banyak bahagia yang diberikan untuk keluarganya. Bahkan orang tuanya juga belum juga merasakan bangga akan pencapaiannya. Semua itu telah merasuk dalam kepalanya.

Memikirkan itu semua, kepala Janu terasa berdenyut. Membentuk sebuah kesimpulan yang sebenarnya tidak perlu rupanya memakan banyak tenaga. Secara otomatis Janu langsung menghempas pemikiran yang mulai bertumpuk di kepalanya.

Janu berdiri di samping meja dan melakukan peregangan ringan. Sepertinya badan kaku dan letih adalah penyebab pikirannya tidak tenang. Belum lagi dengan beberapa pekerjaan yang datangnya bersamaan.

"Misi, Nu."

"Eh, iya, Pak. Ada apa?" tanya Janu ketika seseorang tiba-tiba masuk ke ruangannya.

"Nanti malam temani saya menemui klien. Kamu ada urusan lain malam ini?"

"Nggak ada, Pak, tapi kalau boleh tahu lokasinya di mana, ya?"

"Tempat biasanya saya nongkrong. Kali ini nggak ada penolakan lagi. Kamu setiap kali saya ajak selalu menolak. Saya tidak menerima penolakan untuk kali ini."

Janu mengangguk meskipun ia sendiri ragu bisa menemani atasannya itu atau tidak. Meski bukan pucuk atasan, setidaknya lelaki itu posisinya satu tingkat lebih tinggi darinya.

Bukannya apa, Janu selalu menolak karena yang atasannya kunjungi untuk kegiatan bertemu klien itu adalah sebuah diskotik. Janu paling anti dengan tempat seperti itu. Tempat temaram dengan dentuman musik keras, ditambah dengan minuman yang paling tidak bisa ia sentuh.

Fa_Za:
Nanti malam pulang sama aku.
Nggak bawa motor 'kan?

Me:
Jemput aku di diskotik tempat Pak Yus meeting.

Fa_Za:
Ngapain? Nggak usah! Tolak aja.

Me:
Sulit buat nolak. Sekali dan terakhir.
Janji.


Fa_Za:
Ok.

Suara keras musik memang tidak terdengar dari luar gedung. Namun, ramainya pengunjung sudah terlihat dari banyaknya mobil yang terparkir. Janu menundukkan pandangannya ketika beberapa wanita lewat dengan tampilan yang luar biasa.

Ia lebih memilih memeriksa jumlah kakinya daripada melihat yang tidak-tidak. Inilah salah satu hal yang tidak ia suka ketika mengikuti keinginan atasannya. Janu tidak suka dengan keramaian berdesakan dengan orang yang tidak ia kenal.

"Nu, kamu mau pesan apa?"

"Oren jus saja, Pak."

"Sudah di sini kenapa pesannya tetap oren jus? Yang lain mau, ya?"

"Nggak bisa saya, Pak."

"Oke kalau itu mau kamu. Sambil nunggu klien datang, kamu makan dulu saja gimana?"

"Terima kasih, Pak."

Setelah tiga puluh menit, akhirnya yang ditunggu datang. Rupanya sang klien tidak sendiri. Ia membawa beberapa teman wanita. Daripada disebut meeting pekerjaan, ini lebih cocok disebut pesta.

Janu semakin risih dan tidak bisa berkutik ketika salah satu wanita mendekatinya dan mengajaknya ngobrol. Lelaki yang memang jarang bergaul dunia malam itu semakin gugup.

Tangannya mulai basah, keringat juga sudah mulai menetes dari pelipisnya. Bukannya apa, Janu hanya merasa tidak nyaman. Dengan tangan gemetar ia mengambil ponsel dan mengetikkan pesan pada Faza.

Me:
Jemput, Za. Nggak enak di sini

Fa_Za:
Ok.

Detik berjalan seperti sangat lama. Janu tidak suka berada di posisi sekarang. Pak Yus yang ia ikuti sudah tampak setengah sadar karena pengaruh minuman. Sementara klien yang katanya ingin membahas sesuatu justru pergi berjoget di tengah ruangan yang penuh sesak dengan pengunjung.

Semakin lama, semakin padat, semakin sesak. Perempuan yang sedari tadi menemani Janu sudah beberapa kali mendapat penolakan ketika menyodorkan minuman.

"Dicoba dulu, ini kadar alkoholnya paling rendah."

"Nggak, Mbak. Terima kasih."

Entah ada angin apa, Pak Yus yang sedari tadi asik menggoda wanita di sebelahnya, tiba-tiba berdiri dan menyambar gelas yang dipegang wanita tadi. Ia mendekat pada Janu dan langsung mencengkeram dagunya.

"Dari tadi sok alim, dicoba aja. Siapa tahu ketagihan, Nu," ujar Pak Yus dengan tawa yang menggelegar

Tenaga orang yang dibawah pengaruh alkohol ternyata besar. Dengan sekuat tenaga Janu mengelak, ternyata ia kesulitan. Badan Pak Yus yang lebih besar cukup mudah untuk membuat Janu tidak berkutik.

Lelaki itu bersusah payah untuk tidak menelan minumam yang masuk ke dalam mulutnya, ia berusah memuntahkan, tetapi tangan Pak Yus membekapnya. Meski begitu, lelehan minuman itu ternyata mengalir melalui celah tangan Pak Yus.

"Hish. Dikasih yang enak malah nggak mau."

Pak Yus langsung mengibaskan tangannya yang basah. Sementara itu, Janu memalingkan wajah dan mengeluarkan minuman yang tersisa di mulutnya. Meski ia sudah yakin mengeluarkannya, tetapi sensasi panas mulai terasa memenuhi dadanya.

Tenggorokannya terasa seperti terbakar. Bahkan untuk bernapas saja terasa panas. Belum lagi dengan denyut jantungnya yang mendadak meningkat. Sungguh ia tidak tahu lagi harus bagaimana.

Dengan napas tersengal, Janu bangkit dan hendak menjauh dari meja tempat Pak Yus berada, belum juga berjalan dua langkah, Janu menjatuhkan tubuhnya sambil memukul-mukul dadanya yang terasa semakin sempit.

Saat kesadarannya mulai menipis dengan tubuh yang menggelepar, ia melihat orang-orang mulai mendekatinya. Begitu juga dengan sosok wanita yang tadi menemaninya.

"Mas, sadar, mas!"

"Ini kenapa?" tanya seorang pramusaji

"Dicekokin minuman sama bapak yang itu," ujar si wanita sambil menunjuk Pak Yus yang sudah teler.

"Z-Za, to-long!" suara Janu tercekat dengan batuk yang mulai menyiksa.

Sosok yang dipanggilnya itu tampak membelah kerumunan. Ada sedikit lega di hati Janu melihat orang yang dikenalnya itu tiba tepat waktu. Meski begitu, napas Janu semakin tercekat dan diakhir dengan muntahan yang berwarna merah pekat sebelum kesadarannya menghilang.

🍂🍂🍂

WRITORA
Bondowoso, 02 Oktober 2022
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro