15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak bisa berjanji bahwa aku akan tetap selalu seperti ini,

Tapi aku berjanji, aku akan berusaha lebih baik daripada hari ini.

***AQUA World***

Nama kota yang kami datangi adalah Waterfloatt atau seperti kata pemuda tadi, Kota Apung.

Namanya bukan dibuat seperti itu tanpa alasan. Ya, kami semua bisa melihat mengapa kota itu diberi nama demikian. Ya, karena ia memang mengapung.

Kami sudah semakin dekat dengan Waterfloatt dan masih tidak bisa percaya dengan adanya keberadaan tempat itu. Ada sebuah kota yang didirikan di atas ratusan--ralat, ribuan papan angin. Papan angin ini berbentuk menyerupai papan, terbuat dari bahan tahan air yang mampu menahan beban di atasnya agar tetap mengapung. Aku juga melihat sesuatu setebal 10 cm yang menjadi lapisan di bawah papan apung.

Dari radius sekian ratus meter, aku bisa melihat bagaimana semua orang di sana tengah melakukan aktivitas mereka. Ada yang berjalan, mencuci pakaian mereka, dan bahkan ada yang menyadari keberadaan kami dan melambai-lambaikan tangan mereka ke arah kami.

Zuo saat itu sudah mulai memperlambat kecepatan sampan dan pemuda tadi juga sudah meloncat ke air, meraih tambang pada sampan dan menyelam ke air. Tampaknya dia sedang mengikat sampan kami pada papan angin yang ada di dalam sana.

Aku tahu papan angin dari Survivalife, salah satu alat penyelamat yang telah diciptakan sejak dulu, namun tidak terlalu diperhatikan oleh kebanyakan orang. Ada kabarnya suatu hari bahwa papan angin hilang dalam jumlah yang banyak, dan hari ini aku menemukannya. Sangat banyak. Kupikir Nael dan yang lainnya juga berpikiran sama denganku, maksudku, ini pelajaran yang umum dan pernah diperbincangkan karena kemisteriusannya.Karena kebanyakan mengatakan bahwa papan ini gagal dan semuanya telah tenggelam bersama dengan pabrik utamanya.

"Kak Dill!"

Aku terkejut saat mendapati ada lima anak yang meloncat turun ke air. Bukan hanya aku, Nael dan Zuo pun sudah ancang-ancang untuk turun menyelamatkan kelima anak itu, tetapi itu sampai ketika kepala mereka muncul kembali ke permukaan dan mereka tertawa dengan leluasanya.

"Kak, gimana? Dapat?" tanya salah satu bocah dengan ceria.

Hanya dengan melihat gerakannya, aku tahu bahwa mereka adalah perenang yang ulung. Tapi ayolah, di dalam air itu bahaya sekali. Ingin rasanya aku menarik salah satu tangan mereka dan memaksa mereka naik sampan.

Pemuda itu mendekat ke tepi sampan, menghampiri kelima bocah yang tengah berenang. Larut wajahnya kesal, dapat tertebak jelas. Dia sangat ekspresif.

"Siapa yang semalam memasang umpannya? Payah sekali! Tidak ada seekor ikanpun yang tersangkut, tahu!"

Mataku membinar-binar mendengar hal itu.

Mereka nelayan! Itu profesi yang keren dan sangat jarang!

Maksudku, nelayan itu menangkap ikan, kan? Atau mereka adalah pemburu ikan karena memasang jebakan? Eh, atau mereka ini pemancing? Eh, tunggu, semua profesi yang kusebutkan tadi berbeda tugas kan?

Kulirik Nael, Yyil dan Zuo yang kini saling bertatapan bingung. Ada banyak hal yang tampaknya ingin mereka ungkapkan, namun ditahan oleh sesuatu. Aku juga sebenarnya terlalu mudah untuk merasa penasaran dan kepalaku sudah bertanya-tanya dengan segala hal yang bersangkutan.

Misalnya, di mana ini? Apa ini? Dan siapa ini?!

"Ayo, naik. Akan kuanggap kalian tamuku," ucap pemuda itu. "Oh ya, aku Dillon."

Karena kebetulan Zuo yang paling dekat dengannya, dia mengucapkan itu sambil menatap ke Zuo. "Aku Zuo, ini Nael, Yyil dan Skye."

Kelima bocah tadi entah bagaimana sudah berhasil kembali ke atas kumpulan papan angin yang disusun sedemikian rupa agar tetap menyatu. "Kami tetangga kak Dill! Namaku--"

"Stt, tidak perlu, kalian tidak penting." Dillon mengibaskan tangannya dan menatap mereka dengan malas.

"WUAH! IBU! Kak Dill jahaaat!" Jeritan para bocah pun memenuhi tempat itu. Dillon tampak tak peduli.

"Ayo, kita di pusat Kota Apung dulu, akan kukenalkan kalian pada mereka," ajak Dillon sambil beranjak bangkit dari sampan dan menginjak papan angin.

Semua tempat itu terlihat bergoyang samar, namun tidak membuatnya jatuh. Kami segera menyusul, karena Dillon tampaknya tak mau repot-repot menunggu. Kebetulan karena aku lumayan dalam menjaga keseimbangan, berjalan di sana tidak terlalu sulit. Rasanya hampir mirip dengan saat berjalan di atas sampan.

Aku tidak tahu dimana Dillon membawa kami, tapi setelah berjalan kaki melewati banyaknya papan angin dan tenda-tenda yang didirikan oleh mereka di sana, akhirnya kami berhenti di sebuah tempat.

Tidak ada yang mencolok dari tempat ini, pijakan kami masih sama--papan angin--dan sekitarnya pun terlihat sama. Hanya ada beberapa orang yang duduk bersila di sana, dengan keadaan jari kaki mengerut seperti baru saja keluar dari air setelah sekian lama.

Dillon tak mengatakan apapun dan langung duduk di sana, mengikuti mereka dalam posisi bersila dan memejamkan mata. Nael yang kebetulan menoleh ke arahku saat aku juga kebingungan dan menoleh ke arahnya hanya bisa mengangkat kedua alisnya, bingung.

"Duduk," pinta salah satu orang di sana yang membuat kami berempat langsung buru-buru duduk. Tidak nyaman rasanya duduk di atas papan air yang keras (atau mungkin karena selama beberapa hari kami hanya berada di atas sampan karet empuk), tapi kami tidak bernyali untuk memprotes.

Meskipun Yyil tak mengeluarkan suara apapun, tatapan matanya seolah mempertanyakan 'ada apa ini?' pada kami semua. Zuo yang sepertinya juga menyadari keheranan Yyil, hanya bisa mengendikkan bahu.

Pria di sebelah Dillon tiba-tiba saja membuka kedua matanya, yang membuat kami sempat tersentak. Dillon yang tadinya memejamkan kedua mata, membuka sebelah matanya untuk memeriksa keadaan. Tapi sebelah beberapa saat memeriksa keadaan dan tidak menemukan apapun yang menarik, ia kembali memejamkan mata.

"Selamat datang di Waterfloatt," ucap pria itu dengan senyuman hangat di wajahnya. "Aku Bryon. Apa Dillon sudah membawa kalian berkeliling?"

"Berkeliling?" tanya Zuo.

Aku menggunakan kesempatan itu untuk melihat sekeliling. Dari kejauhan, aku bisa melihat ada banyak tenda yang didirikan di sana. Ukurannya sangat besar, letaknya mungkin di tengah-tengah. Kakiku nyaris saja berdiri karena terlalu antusias untuk berlari ke pinggir sana. Tebak apa yang kutemukan! Ada banyak tiang-tiang kecil di sana dan kemungkinan itu pancing untuk memancing ikan adalah sekitar 50 persen!

"Kalian tamu Dillon, kan? Dia akan sangat senang membawa kalian berkeliling."

Meski tak mengatakan apapun dan kedua matanya masih terpejam rapat, kedua alis Dillon menekuk seolah tidak setuju dengan perkataan Bry--tunggu, rasanya sangat tidak sopan kalau aku memanggil namanya langsung. Jadi aku harus memanggilnya ....

"PAMAN BRYON!" seru seorang anak kecil sambil berlari memeluk beberapa ekor ikan.

Tunggu.

IKAN?

Jadi ternyata anak kecil sebelia dia juga bisa menjadi nelayan?!

Saat anak kecil itu sampai di dekat kami, alih-alih mendapat sambutan, dia malah mendapat sebuah jitakan keras dan membuatku melotot.

Astaga, ini termasuk kekerasan anak di bawah umur! Nomor darurat--ah, tidak akan ada yang menjawab.

"Kak Bryon!" tekannya sambil mengusap kepala anak itu keras-keras. "Dan jangan berteriak di sini, kau tidak lihat banyak yang sedang bermeditasi?"

Anak kecil itu mengerucutkan bibirnya, "Ya, maaf. Hanya ingin bilang kalau umpan Kakak sudah dimakan."

Aku melotot lagi. Bukannya ini manipulasi panggilan? Apakah itu bisa dilaporkan?

Usai anak itu pergi, dia membuka suara, "Maaf membuat kalian harus melihat hal seperti tadi. Ngomong-ngomong, aku seumuran Dillon. Kami 19 tahun. Aku hanya belum memotong janggut dan rambutku karena parangku jatuh ke air beberapa minggu yang lalu dan Dillon tidak sudi meminjamkan parangnya," jelasnya panjang lebar.

Aku bisa menangkap dengan sangat bahwa dia tidak ingin dipanggil paman dan ternyata dia tidaklah setua yang kupikirkan (kupikir dia lebih dari kepala tiga, serius). Dan lebih baik aku tidak pernah mengutarakan pikiranku jika itu akan menyakiti orang lain.

Oh! Dan siapa yang menggunakan parang untuk memotong janggut mereka?!

"Kau mau pisauku?" Nael menawarkan sambil menyerahkan tangan kosongnya.

Dan aku mulai bertanya-tanya, sejak kapan pisau transparan telah diinvensikan.

"Pisaumu?" tanya Bryon sambil menaikkan alis.

Nael buru-buru menarik tangannya dan menekan tombol yang ada di jam tangannya. Keluarlah sebilah pisau kecil yang kemudian diserahkannya pada Bryon.

"Ini untukmu. Mungkin tidak setajam parangmu yang sudah jatuh ke air, tapi kuharap kau tahu caranya mengasah pisau," ucap Nael yang membuatku teringat bahwa dia adalah anggota pendaki yang mempelajari hal yang berbeda denganku, tentu saja.

"Terima kasih," jawan Bryon sambil menerimanya dengan senang hati. "Kalau kalian mau, aku bisa membawa kalian berkeliling di sini."

Bryon terdiam sejenak, memandang ke arah Dillon yang entah sejak kapan sudah membuka matanya dan bersidekap tangan. Mereka seperti sedang bertelepati, karena beberapa saat kemudian, Bryon kembali melanjutkan.

"Dillon akan membawa kalian di trip kedua, nanti."

Bryon sudah berdiri dan kami berempat baru saja hendak berdiri mengikuti, namun Dillon lebih dahulu menghentikan kami.

"Tunggu."

Kami berempat berhenti bergerak, menolehkan kepala kami ke Dillon.

"Kau." Dillon menunjukku.

Aku menunjuk diriku sendiri dan menatapnya bingung. "Kenapa?"

"Kau tetap di sini, kalian bertiga boleh pergi." Perkataan Dillon sontak membuatku melotot.

Diskriminasi macam apa ini?

Seingatku aku tidak berbuat kesalahan apapun sedaritadi. Aku tidak banyak omong ataupun menyela perkataan orang lain, jadi mengapa Dillon menahanku seolah aku berbuat kesalahan?

"Eh?" Nael yang paling dulu menyuarakan keberatanku. "Kukira akan lebih baik jika kami berempat tidak berpencar. Lagipula kau masih--"

"Jangan berlebihan. Kota Apung terlalu kecil untuk membuat kalian berpisah," timpal Dillon yang membuat Nael salah tingkah.

"Kita bertemu lagi saat makan siang nanti." Bryon mengangkat tangannya untuk Dillon.

Dillon ikut mengangkat tangannya, meski dengan wajah datar dan terkesan tidak peduli.

Usai kepergian mereka, hanya tersisa aku dan Dillon, juga beberapa orang yang masih bermeditasi. Dillon juga tetap bermeditasi seolah keberadaanku tidak pernah ada.

Di sini, aku sangat kesal. Benar-benar, aku sangat kesal. Mengapa aku harus memperhatikannya bermeditasi?

Entahlah berapa lama waktu berlalu. Hari mulai panas dan orang-orang yang bermeditasi mulai berlalu satu persatu. Aku sampai terkantuk-kantuk dalam dudukku.

Tiba-tiba Dillon kembali menyapa.

"Kau tadi yang kalau tidak salah ... Skye?"

Aku segera mengangkat daguku. "Iya, aku Skye."

Dillon menatapku, lalu menarik napas.

"Aku akan menanyakan beberapa hal. Siapkan mentalmu untuk menjawab," ujarnya yang tiba-tiba terkesan sangat mengintimidasi.

Tanpa alasan, tubuhku merinding dan aku merasa tengah dipojokkan oleh hal yang menyeramkan. Sensasi ini mirip dengan saat pembimbing du survivalife memintaku membuat api hanya dengan alat-alat sederhana, tanpa pemantik. Itu hal yang sulit.

"Bertanya apa?" tanyaku, berusaha bersiap-siap.

"Kau bertemu dengan mereka, kan?"

Jantungku seolah terjatuh hingga perutku.

Mereka itu maksudnya ...

"Sebelum sampai kemari, kau bertemu dengan salah satu makhluk air itu, kan?"

Makhluk yang sama dengan Ath.

Bagaimana Dillon bisa tahu?

***TBC***

26 Mei 2018, Sabtu

[A/N]

Haloooo lagiiii semuaaaa. Senang sekali rasanya sudah kelae ujian san bisa update lagiii!

Aku sayang kaliaaaan!

This story is wayyy too long!

Oh iya! Kalian sudah tahu belum kalau aku bikin cerita baru? Judulnya MIZAPH dan akan aku tamatkan tgl 31 nanti. Amiiin.

Tgl 1 Juni nanti, cerita kedua dari seri yang sama dengan MIZAPH juga akan muncul. So ditunggu!

Yang berpuasa, semangat puasanya! <3

👀276k ⭐35.4k

-Cindyana

🐳

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro