16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kau boleh merasa kecewa,
Tapi kau tidak boleh menyerah.

***AQUA World***

"Sebelum sampai kemari, kau bertemu dengan salah satu makhluk air itu, kan?"

Pertanyaan Dillon membuatku berpikir cukup panjang. Banyak hal yang kupikirkan sebelum menjawab pertanyaan sesederhana itu, karena sesungguhnya aku hanya perlu menjawab antara 'ya' atau 'tidak'.

Masalahnya, aku tidak tahu apakah defenisi makhluk air yang dikatakan Dillon memang direferensikan untuk makhluk lain yang tinggal di dalam air seperti Ath. Di dalam sana, ada banyak jenis dan macam-macam makhluk hidup.

Tetapi, aku kurang yakin kalau pertanyaan Dillon adalah pertanyaan biasa.

"Apa maksudmu?" tanyaku sambil mengerutkan kening.

"Makhluk air. Bentuk mereka seperti manusia, mata mereka biru, suara mereka merdu, kulit mereka putih, dan—" Dillon menghentikan deskripsi makhluk yang jelas-jelas mirip dengan sosok Ath, membuatku makin pucat di setiap penjelasannya. "Kau jelas-jelas bertemu dengan mereka. Mengaku saja."

"Aku tidak tahu!" seruku sambil bangkit dari dudukku.

Kakiku sebenarnya kesemutan karena aku terlalu lama duduk dengan posisi yang sama. Namun, daripada kakiku yang melemas, aku lebih merasa terancam dengan Dillon. Mengasingkanku dari kelompok yang akan dibawa oleh Bryon, membiarkan sampai tempat ini kosong dan tidak ada siapapun yang bisa mendengarkan, dan membicarakan ini empat mata denganku. Aku tahu, dia pasti punya maksud tertentu.

"Tidak perlu merasa takut begitu, Skye." Dillon ikut berdiri dan kini berdiri di hadapanku. "Di sini, bukan hanya kau sendiri yang tahu soal makhluk air itu."

"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," ucapku masih waswas.

Dillon menghela napasnya, "Di Kota Apung, tidak ada seorang pun yang tidak tahu tentang mereka, Skye. Mereka terlalu berbahaya untuk tidak dipelajari."

Aku yang dasarnya memang sangat mudah merasa penasaran, akhirnya mulai luluh. Namun bukan berarti aku akan menceritakan tentang Ath yang menyelamatkanku dan membuatnya berpikir bahwa aku bekerja sama dengan Ath untuk membuat semua orang berada dalam bahaya.

Dan belum lagi Dillon menerangkan apapun, aku sudah memahami bahwa ancaman terbesar kami hanyalah satu.

"Mereka sering membuat tanda pada manusia yang akan menjadi target mereka," terang Dillon. "Dan ada makhluk air yang menandaimu."

Jantungku serasa terlepas dari tempatnya. Aku memperhatikan tangan, menyentuh pipiku sendiri dan menatap ke arah Dillon dengan bingung, karena aku sama sekali tidak merasa bahwa ada sesuatu yang janggal denganku.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau ada yang menandaiku?" tanyaku dengan penuh selidik.

"Karena itu memang bakatku, untuk menemukan orang yang ditandai," jawab Dillon tanpa merasa terancam dengan nada intimidasi dariku. "Baru sekali lihat, aku sudah tahu kalau kau bertemu dengan mereka. Jadi, mengaku saja padaku. Aku tidak akan memberitahu siapapun."

Aku terdiam dan memperhatikan jari-jari kakiku yang sudah mengering dan tidak lagi berkerut karena sudah terlalu lama menjemur di atas sinar matahari. Apa aku akan tetap aman jika aku mengaku? Atau malah mereka akan memaksaku untuk memberitahu dimana keberadaan Ath, meskipun aku sendiri tidak pernah mengetahuinya?

Ada beberapa hal yang membuatku ketakutan sejak aku memulai pertualangan yang tidak direncanakan ini.

Pertama, Ath bukanlah manusia dan manusia selalu menilai non-human sebagai ancaman yang besar. Baik itu berbahaya maupun yang tidak berbahaya sekalipun. Manusia kerap membuat teori yang mengatakan bahwa suatu hari nanti, makhluk non-human akan merebut bumi dari mereka—walaupun bumi sesungguhnya bukanlah milik manusia saja.

Kedua, Ath menyelamatkanku dan aku seharusnya tahu diri untuk tidak membocorkan keberadaan mereka pada kaumku yang rakus. Aku malah cemas memikirkan jika seandainya mereka tahu, mereka akan menangkap salah satu makhluk itu dan menjadikannya bahan untuk penelitian di laboratorium.

Ketiga, yang menenggelamkan Jale dan Grus (dan mungkin juga Ezid) kemungkinan besar adalah salah satu makhluk itu. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan agar tidak terkesan membela sepihak. Semua keadaan membuatku serba salah.

"Kita harus bekerja sama, untuk keselamatanmu dan keselamatan semua orang di sini," ucap Dillon dengan tegas.

"Jadi sekarang aku target mereka?" tanyaku memastikan.

"Kemungkinan besar, iya. Mereka akan berlomba-lomba menenggelamkan target yang telah ditentukan. Keberadaanmu di Waterfloatt sebenarnya mengancam kami semua, tapi kami memang sedang berencana untuk menangkap salah satu dari mereka," terang Dillon panjang lebar.

"Menangkap? Untuk apa?"

Itu pertanyaan yang bodoh, aku tahu. Siapa yang tidak menangkap ancaman di sekitarnya? Tapi aku ingin tahu apa yang akan mereka lakukan dengan makhluk air yang sudah ditangkap itu, di tempat yang agak ... kurang teknologi seperti ini.

"Membunuh mereka."

Bayangan di kepalaku langsung menangkap adegan saat mereka berhasil menangkap kaki makhluk air itu, lalu membawanya ke atas papan angin dan memutilasi satu persatu bagian tubuh makhluk itu dengan parang. Darahnya akan tumpah kembali ke laut dan membuatnya menjadi lautan darah sejenak—karena saat bercampur dengan volume air yang jumlahnya banyak dan perbandingan darah satu makhluk, semuanya akan hilang tak berbekas.

"Tapi kau sudah pernah bertemu dengan mereka dan kau berhasil lolos, kan?" tanya Dillon yang lagi-lagi tidak kujawab pertanyaan utamanya. "Apa kau sudah tenggelam? Mengapa kau bisa selamat?"

"Kebetulan saat itu aku punya sampan," jawabku langsung. Akhirnya aku mengakui, "Dan ya, kau benar. Aku memang pernah bertemu dengan salah satu makhluk air yang kau maksud."

Dillon tersenyum tipis, sepertinya puas dengan jawabanku.

"Baiklah, kalau begitu, Skye. Nanti malam aku ingin kau bergabung di tim berburu kami," ucap Dillon sambil menepuk bahuku sekali, layaknya teman lama.

"Tim berburu?"

"Kau akan menjadi umpannya," sahut Dillon yang membuatku langsung merinding ngeri. "Tenang, akan kupastikan kau tidak kehabisan napas. Aku juga sudah ditandai oleh mereka, tapi mereka tidak pernah bisa menenggelamkanku walaupun sudah menarikku."

"Jadi apa yang harus kulakukan nanti?" tanyaku.

"Kau cukup tunggu ada yang datang dan menarikmu ke air, lalu kami akan--"

Aku menginterupsi, "Sekedar informasi, aku sangat payah dalam menahan napas."

"Sepayah apa?"

"Rekorku hanya semenit lebih 13 detik dan itu baru sekali. Kalau dirata-ratakan, aku hanya bisa menahan napas selama 49 detik."

"Wah, kau payah," kata Dillon yang membuatku menekuk alisku. "Bagaimana bisa seorang gadis kecil 49 detik bisa lolos dari maut? Kau hebat."

Mengabaikan ejekan dan pujiannya, aku bertanya dengan nada menantang, "Memangnya kau bisa berapa lama?"

Dillon tampak berpikir sejenak, "Dalam keadaan sambil berenang tenang, aku bisa menahan napas lebih dari tujuh menit. Kalau menahan napas langsung, aku belum pernah menghitungnya."

Dan berkat Dillon, rekor muri-ku terasa tidak ada artinya sama sekali.

"Jangan-jangan kau ini bukan manusia, ya?" tuduhku tidak terima.

"Mataku tidak biru, darahku merah, dan lagipula makhluk air kan tidak bisa naik ke daratan."

"Eh?" Aku langsung menoleh cepat ke arah Dillon.

"Iya, mereka mungkin sangat lincah dan cepat di dalam air, tetapi mereka akan langsung mati jika dibawa ke daratan. Mereka tidak bisa menghirup oksigen," terang Dillon yang membuat sekujur tubuhku langsung terasa kaku.

Tapi, Ath ....

"Itu yang akan kita lakukan malam ini, membawa mereka keluar dari air dan membiarkan mereka mati kehabisan napas, seperti yang mereka lakukan pada kaum kita."

Apakah dia sudah mati karena aku?

Tetapi, terakhir aku melihatnya mengatakan sampai jumpa, dia tampak baik-baik saja. Lalu aku tidak pernah melihatnya lagi.

Perasaan bersalah yang kurasakan pada penyelamat hidupku, membuatku tidak mampu memikirkan apapun saat ini.

*

Hari mulai sore di kota Waterfloatt. Nael, Yyil, Zuo dan juga Bryon telah kembali dari trip mereka mengelilingi kota Apung.

Aku agak terkejut saat melihat Bryon dengan penampilan muda-nya. Semua bulu-bulu halus di dagunya telah bersih dipangkasnya, dan sekarang dia memang terlihat seperti pemuda sembilan belas tahun.

Mereka bertiga asyik membahas hal-hal yang mereka lihat. Melihat mereka yang membahas hal yang tidak kumengerti membuatku ingin menyalahkan Dillon. Jadi, selama pembahasan seru mereka, aku hanya diam dan menyimak.

"Aku baru tahu kalau ada alat semacam itu untuk menangkap ikan!" seru Yyil dengan senang.

"Sepertinya bagian jalur rantai lebih mudah memasang umpan daripada tali tambang. Mengapa kalian malah memasangnya di tali tambang?" tanya Zuo yang dibalas langsung oleh Bryon.

"Itu karena rantai lebih berat. Butuh waktu untuk mengangkatnya ke atas. Semua ikannya sudah lebih dulu kabur," terangnya sambil memotong kepala ikan dengan pisau pemberian Nael.

Perbincangan seru mereka pun terhenti selama beberapa saat karena pemandangan sadis itu. Mungkin hanya kami berempat yang bereaksi lebih berlebihan, karena anak-anak yang berlarian sana-sini juga tidak terlihat bereaksi ngeri seperti kami.

"Kalian anak kota yang belum pernah melihat langsung hal begini, ya?" tanya Dillon saat menyadari bahwa kami berempat sebenarnya saling berpandangan bingung dan ketakutan. "Jangan-jangan, kalian belum pernah makan ikan?"

"Aku pernah." Yyil angkat suara, yang membuat kami bertiga menoleh ke arahnya, "tapi tidak enak."

"Mungkin chef di kota kalian terlalu payah untuk membuat ikanmu tidak enak."

Mereka semua tidak tahu kalau kami bukan berasal dari kota yang sama, dan kupikir itu bukanlah hal yang perlu dijelaskan.

Bryon tertawa sambil melanjutkan aktivitasnya mengeluarkan sesuatu berwarna merah yang masih berdenyut dan membuat organ-organ lainnya ... uh ... aku mual.

"Sedaritadi aku ingin menanyakan ini," sahut Nael dengan suara agak kecil. "Aku belum pernah dengar sedikit pun tentang kota Waterfloatt."

"Tentu saja Waterfloatt tidak akan ada di globe yang biasa kalian pelajari."

Kali ini Dillon yang memotong kepala ikan lain, membuat Zuo yang saat itu berjongkok di sampingnya langsung mundur teratur menjauhinya. Dia memeriksa tangan dan kakinya, memastikan bahwa tidak ada darah yang tersemprot ke arahnya.

Bicara tentang bola dunia, aku bisa membacanya asalkan ada garis petunjuk dan koordinat, karena semuanya biru. Hanya gunung-gunung tinggi yang mendapat porsi hijau, itupun sangat sedikit.

"Waterfloatt itu kota yang tidak diakui pemerintah, karena dulu petuah Waterfloatt menolak untuk ikut ke Mars."

"Eh?"

Kami berempat langsung mendongak dan menatap ke arah Bryon yang baru saja menjelaskan. Dia ikut menatap kami dengan pandangan terheran-heran.

"Lho. Kenapa?"

"Kukira semua orang yang di Mars saat ini adalah orang-orang terpilih ," gumam Nael sambil melirik ke arahku dan dua temannya bergantian, meminta konfirmasi bahwa hal yang didengarnya dari orangtua kami adalah hal yang sama.

"Petuah Waterfloatt memang orang yang terpilih. Beliau memutuskan untuk tetap berada di bumi setelah dia tidak sengaja melihat seseorang bermata biru di dalam air saat sedang naik kapal. Baru hendak membantunya naik kapal, dia sudah menghilang," terang Bryon. "Karena Petuah menolak, maka namanya masuk blacklist dan dia tidak bisa diterima di kota manapun. Sama halnya dengan orang-orang terpilih yang menolak untuk pindah ke Planet Mars. Terbentuklah Kota Apung, Waterfloatt."

Suasana berubah menjadi mencekam. Dillon dan aku saling bertatapan, seolah saling bertanya apakah pembicaraan ini perlu dilanjutkan atau tidak. Dillon bilang, Bryon tidak tahu tentang aku yang telah ditandai oleh makhluk air dan aku sedaritadi dalam pemikiranku tentang bagaimana kabar Ath dan mengapa Ath menandaiku untuk ditargetkan.

"Tunggu. Soal orang bermata biru itu. Apakah dia mati?" tanya Zuo yang membuat keadaan di sana tiba-tiba berubah sunyi.

"Tentu saja dia tidak mati," ucap Bryon sambil melipat pisau itu dan menyimpannya dalam saku, lalu naik sambil membawa sekeranjang ikan yang telah dipenggal kepalanya. "Mereka memang hidup di dalam air, justru membawanya keluar dari air akan membunuh mereka."

Dan selamat untuk diriku sendiri, karena aku kembali teringat dengan Ath lagi!

Bryon mulai bercerita tentang makhluk air itu secara garis besar, terkadang disela oleh Dillon, terkadang disambung oleh warga Waterfloatt lain yang lewat. Belum ada yang pernah tahu apa niat mereka menenggelamkan manusia. Tidak ada yang pernah berinteraksi langsung dengan mereka—dan sepertinya hanya aku yang pernah berinteraksi dengan salah satu dari mereka, dan aku tidak berani memberitahu.

Bagi mereka, menghirup oksigen sama seperti manusia yang kehabisan napas di dalam air. Hidup di dunia yang kontra seperti itu biasanya memang membuat perselisihan, dan tampaknya kasus ini tak bisa dihindarkan, mengingat hampir semua jalur menuju tempat lain diakses melewati air.

Selain bermata biru, berkulit putih dan bersuhu dingin, makhluk air sangat gemar menjalankan aksinya saat malam, hal ini dikarenakan mereka memiliki kelebihan untuk bisa melihat dalam gelap.

"Aku berbaik hati mengingatkan kalian kalau sebaiknya kalian tidak pernah masuk ke dalam air malam-malam. Melihat sesuatu yang bercahaya dalam air jelas berbahaya. Segera melapor." Dillon menambahkan sambil menaruh lempengan besi persegi panjang yang sangat besar di atas papan angin. Kami berempat mengangguk.

"Ngomong-ngomong, kau sedang apa?" tanya Nael saat melihat Dillon mengetuk-ngetuk sesuatu yang asing.

"Membuat api," jawab Dillon. "Sebentar lagi sudah mau makan malam."

Kami berempat refleks menatap horor ke arah ikan-ikan yang sudah tidak berkepala. Seharusnya kami sudah memprediksikan ini. Mereka adalah kota illegal yang tidak tunduk pada pemerintah dan bahkan tidak tercatat dalam list kota. Itu artinya, mereka tidak memiliki pil kenyang, dan itu artinya ...

"Kalian karnivor?"

Dillon menaikkan sebelah alis, "Jadi, menurut kalian apa yang kalian makan kalau bukan hal yang ada di sekitar kami?"

Dia tidak mengiyakan, tapi Dillon, Bryon dan semua warga di sini jelas adalah karnivor! Pemakan daging!

"Tolong jangan berlebihan begitu," gumam Dillon saat melihat kami berempat diam tanpa suara. "Kalian seperti belum pernah melihat manusia yang makan daging saja."

Aku pernah, tentu saja. Yang kuingat, salah satu teman sekelasku mengaku bahwa ikan itu enak, lalu sekelas histeris menjauhinya—termasuk aku. Hari-hari seterusnya, dia tidak lagi terlihat berjalan bersama teman-teman yang biasanya bergaul bersamanya. Dan bulan berikutnya, dia sudah tidak bersekolah di sana.

"K-kurasa aku akan makan pil kenyang saja malam ini," ucap Zuo sambil berjalan menjauhi lempengan besi yang dipastikan akan menjadi tempat mereka akan membakar ikan-ikan malang itu.

"A-aku juga." Yyil membuntuti Zuo.

Aku baru saja hendak melarikan diri, namun lebih dulu ditahan dengan sangat ramahnya oleh Dillon.

"Skye, kau makan ya! Kalau kau seperti jelmaan tengkorak hidup begitu, tidak akan ada laki-laki yang tertarik denganmu," ucapnya yang terdengar seperti mengejek, untukku.

"Bukan bermaksud untuk menolak tawaranmu, tapi kalau kami memakan daging tiba-tiba, perut kami bisa sakit." Nael, si Pahlawan datang membelaku.

Dillon memiringkan kepalanya, "Bukankah itu berarti kalian seharusnya menyesuaikan diri lebih cepat? Memangnya apa yang akan kalian lakukan kalau pil kalian sudah habis? Makan rumput laut?"

Aku seperti melihat ada kilatan tidak mau kalah berargumen dari mata Nael dan Dillon. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku berharap ada seseorang yang datang mengatakan padaku bahwa aku tidak terlibat di perdebatan ini sama sekali.

"Dillon, Nael, sudahlah, jangan bertengkar. Kalau kalian bertengkar di depan makanan—"

"Kami tidak bertengkar," jawab keduanya bersamaan.

Bryon hanya menatap keduanya dengan tatapan datar, lalu menghampiriku dan mengatakan, "Sayang sekali kalian tidak bisa bergabung. Hari ini kalian makan saja seperti biasa. Kalau kalian butuh bantuan nanti, tidak perlu sungkan-sungkan untuk mengatakannya kepada kami."

Aku mengangguk, "Baiklah."

Api sudah mereka buat tanpa bantuan pemantik. Aku dan Nael menyingkir dari papan angin di mana mereka memanggang ikan—kalau kata Bryon. Tidak lagi melihat keberadaan Yyil dan Zuo yang menghilang entah ke mana, aku dan Nael duduk di tempat yang agak jauh dari sana.

Matahari sudah tenggelam sepenuhnya dan hanya ada hamparan air yang gelap di depan kami. Bryon bilang, kami tidak boleh merasa takut kegelapan, karena jika kami melihat dua cahaya biru yang memikat, itulah ancaman sebenarnya.

"Apa yang kau bicarakan dengan Dillon tadi?" tanya Nael sembari mengeluarkan kotak pil kenyang, mengambil satu butir dan memakannya.

Aku tidak yakin bahwa ini hal yang layak dipublikasikan, sekali pun kepada Nael yang notabene-nya adalah teman seperjuanganku yang berhasil mencapai tempat ini bersama.

"Bukan apa-apa," balasku, ikut melahap sebutir pil.

"Kurasa kita harus tetap di kota ini sampai ada pesawat yang menemukan kita," ucap Nael sambil mendongak menatap langit.

Ada banyak bintang di atas sana. Berkat kegelapan yang menguasai separuh bumi, bintang-bintang itu terlihat semakin jelas saja. Kebetulan, api yang dibuat oleh Dillon dan yang lainnya memang tidak besar. Mereka semua berpencar membuat api dan makanan, bukan membuat satu api besar untuk makanan semua orang di sana. Kupikir itu akan lebih seru daripada harus mengurus perut sendiri. Tapi, memang itulah yang mereka lakukan.

"Memangnya kau seyakin itu kalau mereka akan kembali untuk satu orang?" tanyaku sembari mengingat satelit mirip kunang-kunang milik pemerintah yang mengerubungiku dan telah mempelajariku, bahwa masih ada satu nyawa yang bertahan, di atas lautan tanpa ujung ini.

"Mungkin tidak, tapi ayo optimis," ucapnya.

Dalam keadaan yang gelap, aku samar-samar melihat Nael tersenyum sambil melihat ke arahku. Dia melihatku terlalu lama, sampai-sampai aku mulai berpikir bahwa ada kepala ikan yang tersangkut di rambutku.

Hiiii, jangan sampai.

"Skye," panggilnya dengan suara kecil.

"Hm?"

"Apa kau sudah memiliki seseora—"

Jeritan seseorang terdengar dari kejauhan, membuat ucapan Nael terhenti seketika. Kami berbalik ke belakang dan menemukan semua orang yang sedang menikmati makan malam mereka, juga menatap ke arah sumber suara.

Jantungku berdebar kencang. Aku segera bangkit dari dudukku, disusul Nael. Dillon, Bryon, dan beberapa orang yang sepertinya baru ingin memulai makan juga ikut bangkit dari duduk mereka.

"Suaranya dari arah sudut ikatan rantai," gumam Dillon sambil mulai melangkah ke satu arah.

Kami semua segera mengikuti Dillon. Jantungku masih belum bisa berhenti meloncat-loncat saat kusadari bahwa ...

"Nael," panggilku yang membuat Nael yang melangkah cepat, menoleh ke arahku.

"Ya, Skye?"

"Tolong katakan padaku kalau itu bukan suara Yyil."

Nael beralih pandang ke depan, sambil melanjutkan langkah cepatnya dengan hati-hati agar tidak menyenggol orang di depannya dan membuat mereka malah terjatuh ke dalam laut gelap. Lautan pada malam hari yang berbahaya.

"Sebenarnya, aku juga berharap kalau itu bukan Yyil."

***TBC***

11 Juni 2018, Senin

[A/N]

Wah! 2700 kata! Sugoi.

Oke, aku rasa aku perlu mengaku sedikit kepada kalian, berhubung kalian adalah orang yang nantinya akan membaca cerita ini sampai selesai.

Jadi, aku tidak sengaja membuat cerita ini menjadi panjang. Prediksiku, mungkin tamat di chapter 40 atau malah lebih (semoga saja kurang dari 40, aku mau menangis).

Bagaimana chapter Aqua kita hari ini? Apakah kalian suka?

Ngomong-ngomong, aku mau promosi, berhubung kalian baca sampai di sini.

Aku membuat seri baru di lapakku dengan judul seri ANOTHER DIMENSION KINGDOM. ADK 1 yang berjudul MIZAPH sudah tamat di Wattpad, jadi kalian buruan baca yaaa sebelum aku berubah pikiran buat hapus (karena itu worknya agak hancur wkakaka).

ADK 2 juga sedang on-going dan sebenarnya setelah update ini, aku harus melanjutkan. Haha. Iya, harus-update-setiap-hari.

Mata= 294k
Bintang= 38.1k

Wuah. Bintang Aqua udah mau 40k! Sasuga kalian memang hebat wkwkwk.

Cindyana

(Ikon paus menyusul)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro