Kesalahan Pagi Hari

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam digitalku berbunyi.

"Diit diit diiit diiit," katanya.

Tanganku pun menyembul keluar dari selimut, meraba ke sana ke sini dengan sembarang. Mengikuti insting liar tubuh yang malas bangun. Hingga akhirnya aku menemukannya di nakas samping kasurku.

Kupencet sembarang pula tombol yang menonjol di bagian atas jam kotak itu. Setelah suara "Diit diit diiit," nya berhenti, tanganku pun langsung refleks lemas. Kubiarkan bergelantungan di atas lantai, malas menariknya kembali masuk ke selimut.

Hingga akhirnya aku tersadar.

Jika aku terus seperti ini, aku akan terlambat pergi ke upacara penting pagi ini!

Tubuhku langsung tersentak bangun. Mengambil jam digital di samping nakas untuk memastikan sekali lagi.

"Gawat, nenek bisa marah padaku!"

Ya, sekarang sudah pukul lima lewat. Aku akan terlambat tiba di upacara suciku yang pertama bagiku, jika aku tak segera bersiap. Kunyalakan lampu kamar, kemudian segera menyiapkan diri. Hingga sampai pada titik aku sudah siap, tinggal membawa barang kesukaanku untuk upacara peresmianku menjadi penyihir dan pemanggilan servant pertamaku.

Pita rambut berwarna merah muda kesukaanku yang tengah kugenggam ini membuatku tercenung sejenak. Pita rambut ini, mengingatkanku pada seseorang yang telah mencampakkanku beberapa hari lalu. Ada rasa perih dan sesak ketika melihat pita rambut ini. Akhirnya kuputuskan membawa yang lain, boneka berbentuk bintang pemberian orang tuaku sewaktu kecil. Memang boneka ini cukup berdebu--karena kutaruh di atas rak buku sihir yang jarang kubersihkan--tapi boneka ini pernah menjadi kesukaanku dulu.

Berbicara tentang penyihir, sebenarnya aku hanya seorang manusia biasa seperti yang lain. Keluargaku pun juga begitu, tetapi pada saat tertentu para anak muda yang ditunjuk di keluarga kami diangkat menjadi penyihir untuk meneruskan keturunan generasi penyihir yang sudah langka. Dan aku-lah ditunjuk pada dasawarsa ini.

Aku mengayuh sepeda sekuat tenaga, karena harus sampai di puncak bukit dekat tempatku tinggal sebelum matahari terbit. Jika aku sampai di sana dan matahari sudah terbit. Tamatlah sudah riwayatku, aku akan menerima hukuman karena terlambat ini oleh nenekku yang mengerikan. Kalian bisa membayangkan wajahnya seperti di buku-buku dongeng tentang nenek penyihir. Sudah mengerti bukan seberapa mengerikannya beliau?

***

"Kupikir, kau sudah siap dengan hukuman cambuk jika terlambat,cucuku."

Api unggun kecil di depan nenekku itu menjilat-jilat, menambah suasana horor wajah nenek yang tengah tersenyum, aku hanya bisa meringis melihatnya kemudian memberikan tongkat yang kusiapkan untuk pengangkatanku sebagai penyihir pagi ini.

"Cukup bagus." Nenek kemudian menyerahkannya kembali kepadaku setelah melihat-lihat. Lantas ia memintaku untuk mengemarikan tangan kananku.

Aku merintih kecil, karena nenek sedang mengiris permukaan telapak tanganku. "Jangan biarkan darahnya jatuh ke tanah, selain pada tongkatmu dan api suci."

Aku mengangguk dan memegang tongkat yang tadinya kutaruh. Kemudian kuangkat tongkay itu ke atas api suci. Kuikuti mantera-mantera sihir nenek yang diucapkan atas perintahnya. Jilatan api perlahan terurai, terbang ke atas. Kuamati terbangnya api-api yang melayang pergi ke angkasa biru. Ya, angkasa sedang biru tak lagi hitam karena matahari sebentar lagi akan terbit. Aku dapat melihat kilau api yang menembus ke awan abu-abu dan kemudian lenyap di sana.

Kualihkan pandanganku pada Nenek, ia tengah terpejam. Kuikuti pula dirinya. Aku terpejam dan merasakan sesuatu mengalir ke dalam darah-darah di tubuhku. Aku tidak tahu apa itu, semuanya mengalir begitu saja.

Ketika aku membuka mata lagi. Nenek sudah hilang di hadapanku. Hanya menyisakan aku, tongkatku dan boneka bintangku di bukit yang cukup dingin ini. Sepedaku pun juga hilang, mungkin nenek pergi menaiki sepedaku. Namun, setelah kupikir ulang tidak mungkin. Karena aku memejamkan mata hanya beberapa detik.

"Cucuku, sekarang kau sudah resmi menjadi penyihir. Sekarang buatlah perjanjian hidup dan mati dengan Servant yang kau pilih."

Suaranya menggema begitu saja. Lantas segera saja kupatuhi perintahnya dengan mengalihkan pandangan ke boneka bintang berdebu yang tergeletak di sampingku. Semoga keputusanku memilih benda ini tidaklah salah. Walaupun ada sebagian diriku yang mengatakan kalau ini salah. Terlebih mengingat mimpi anehku semalam yang diikuti anjing menyebalkan. Namun, tak ada pilihan lain bukan? Jika aku menjadikan pita rambut kesukaanku menjadi servant lalu muncul seorang servant wanita atau laki-laki yang mengingatkanku pada pria yang mencampakkanku, aku pasti akan sangat membencinya. Itu hal yang tidak baik, pikirku.

Kuletakkan boneka bintang di depanku yang menghadap arah timur. Karena ini sihir perjanjian aku harus menyesuaikan timing-nya dengan matahari terbit. Sihir perjanjian seperti ini melambangkan awal baru jadi memerlukan sinar pertama matahari.

Aku berkomat-kamit mengucapkan mantera yang diajarkan nenekku sebelumnya. Melukai tanganku lagi dan meneteskannya ke arah bonekaku. Lalu menunggu sebentar dan mengarahkan tongkatku. Untuk sesaat tak ada yang terjadi. Kupadangi sekitarku. Langit biru mulai terkontaminasi semburat kekuningan muda. Awan-awan di langit juga mulai kelihatan ikut terkontaminasi seperti warna langit. Aku melihat ke arah depan, kulihat matahari mulai terbit, warnanya oranye kekuningan dengan bentuk bundar kelereng.

Dari sana entah kenapa aku juga melihat kilau cahaya datang dari bonekaku. Bonekaku melayang dan berpendar mengeluarkan cahaya yang menyilaukan seperti matahari yang tiba-tiba sudah terlihat berwarna kuning cerah dan langit yang sudah berubah menjadi biru muda dengan campuran sedikit kuning.

"Nona...."
Aku mendengar suara lelaki di hadapanku. Namun, aku belum membuka mata karena cahayanya masih silau.

Kali ini aku tahu, kalau aku sedang dipeluk oleh suara itu. Aku menduga kalau dia adalah pelayanku. Namun, tunggu sebentar.

Aku dapat menyentuh bahu dan punggungnya yang tak berpakaian.

"Nona... Nanti jangan pernah menangis lagi. Aku akan membuat nona bahagia. Aku berjanji,"janjinya. Namun, tanpa menjawabnya aku mendorongnya hingga ia jatuh. Oh, tidak tebakan pikiran negatifku benar.

Ada lelaki seusiaku yang sedang telanjang bulat di depanku. Ini memalukan, segera saja kubalikkan badan.

Akh sial, aku tak tahu kalau pelayanku ketika baru saja melakukan perjanjian telanjang seperti ini.

"No-nona, membenciku?" suaranya terlihat bergetar dan bernada sedih. Sekali lagi entah kenapa aku berpikir memang ini pilihan yang salah.

Demi langit pagi yang berwarna biru mudah cerah diiringi kapas-kapas putih lembut yang berenang gembira di langit. Mengapa aku harus sial di pagi yang seharusnya menggembirakan ini?

Wahai angin sepoi-sepoi yang juga sedang menari berbahagia, memainkan rambutku yang tak sekusut hatiku. Mengapa ketika melihat wajah pelayanku ini, ingin sekali aku menampar atau menjitaknya.

Wajahnya ..., benar-benar seperti pinang yang dibelah dua dengan lelaki yang menyampakkanku....

End~

[A/N]
Cerita ini berkaitan sedikit dengan puisi sebelumnya. Walaupun masih sama tak jelasnya seperti kemarin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro