5. Duel Aya dan Opi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tantangannya.

Buat cermin min 700 max 1000 word, tentang arti sebuah teleportasi.

- genre fantasy
- pov 3

Syarat umum :
- no typo
- tanda baca perhatikan.

*******

Author : nurul_cahaya
Judul : Secret of Love

“Berapa Mbak?”

“Totalnya satu juta dua puluh lima ribu Mbak,” sahut penjaga kasir tersebut.

Rasa khawatir yang dari tadi menghinggapi pikiran Kala langsung pergi ketika penjaga kasir itu menyebutkan total yang harus dia bayar. Ternyata uangnya tidak kurang, bahkan tabungannya selama satu tahun itu lebih, meskipun hanya lebih lima ribu rupiah. Dengan cepat gadis berambut gelombang itu mengambil uang dalam dompetnya untuk membayar.

Sepanjang perjalanan pulang dari toko ATK, dia tak henti menampilkan senyum sumringah. Bagaimana tidak bahagia, akhirnya Kala bisa membeli Copic sketch Marker set 24 basic colour. Dengan pensil warna itu, gambar-gambar yang dihasilkannya pasti akan lebih indah dan seperti memakai digital. Dan yang pasti hobi mengambarnya akan semakin tersalurkan.

Ketika Kala hendak menyebrang, manik matanya menangkap sesuatu yang sangat dikenalinya. Buru-buru dia hampiri benda itu, setelah dilirik tidak ada orang yang memperhatikan, gadis itu mengambil sketch book. Kala berpikir, mungkinkah ada seseorang yang baru berbelanja ini lalu terjatuh? Tidak, ini sudah kusam, warnanya pun sedikit menguning. Jadi tidak mungkin kalau sketch book ini baru.

Tanpa berpikir panjang, gadis itu membawa sketch book kusam itu pulang.
“Lumayan, dapat sketch book baru.” Kala masih menyungingkan senyumnya.

Sesampai di rumah, dengan cepat gadis berusia 21 tahun itu masuk kamar dan menguncinya. Bisa terjadi perang dunia ketiga kalau sampai ibunya tahu tentang apa yang di belinya.

“Ini namanya durian runtuh, coba gambar ah ....” Kala menguncir rambur panjangnya agar tidak menganggu kegiatan yang akan dilakukannya setelah ini. Gadis itu mulai mengoreskan pensilnya di atas sketch book kusam yang ditemukannya tadi, saat ini yang ada di pikirannya hanya satu, pameran seni lukis. Dengan lincah, jemarinya mengambar sebuah ruangan yang berisi beberapa lukisan dengan beberapa orang di dalamnya.

“Saatnya mencoba mengunakanmu, Nak.” Pelan-pelan dicobanya copic berwarna cream untuk memoles dinding pada gambar tersebut. Secara bergantian dia mengolesan pensil warna itu secara sempurna pada gambarnya kali ini.

“Selesai ....” Kala memperhatikan hasil karyanya. Tidak sia-sia gadis itu menabung hampir setahun untuk membeli copic, hasilnya sungguh luar biasa. Besok, dia harus menunjukannya pada Dira, tetapi pasti adiknya itu akan melapor kepada mamanya kalau tidak mendapat sogokan.

Mengingat mamanya, Kala masih bingung, kenapa mama sangat tidak menyukai kegemarannya dalam hal seni ini. Sampai-sampai kuliah pun mamanya tidak setuju kalau Kala mengambil jurusan Animasi. alhasil gadis itu masuk pada jurusan managemen ekonomi.

Tidak sampai di situ, mamanya pun tak mengizinkan untuk Kala mendatangi pameran seni lukis, banyak sekali antek-antek mamanya yang akan mengadu kalau gadis itu nekat mendatangi pameran itu. Padahal dirinya sangat ingin mendatangi pameran lukisan. “Andai aku bisa ke tempat seperti ini,” ujarnya sembari menatap gambar yang dibuatnya tadi.

Tiba-tiba badannya seakan melayang, padangannya gelap, semua gelap, seperti masuk pada pusaran angin puting beliung. Tangan Kala mendekap erat tubunya sendiri. Untungnya hal itu tak bertahan lama.

“Awww.” Kala mengelus-elus pantanya yang baru saja mendarat dengan mesra di atas gundukan rumput. “Di mana ini? Kok bisa tiba-tiba aku sampai sini? Dan sketch book tadi kenapa tidak ada ditangankuk lagi?”

Belum sempat pertanyaannya terjawab, pendengarannya sudah teralihkan pada satu suara-suara keramaian. Ah ternyata gadis itu berada di taman samping gedung, masih penasaran gadis itu mendekat dan masuk dalam gedung tersebut.

“Aku ti-tidak mimpi kan?” Kala bertanya pada dirinya sendiri lalu menepuk-nepuk pipinya, sakit. Perempuan itu tidak bermimpi, senyumnya mengembang sempurna. Saat ini impiannya untuk mendatangi pameran seni lukis terwujud, dan tempat ini sama persis dengan tempat yang digambarnya tadi.

Perlahan gadis berbaju biru muda itu menyusuri area pameran. Ini sungguh indah, lukisan-lukisannya sangat menyejukan mata. Di pojok kiri terlihat ada sebuah lukisan yang bergambar gunung meletus lalu di bawahnya ada tiga tangan dengan jari-jari besar. Kala berjalan lebih jauh lagi, ada sebuah lukisan dengan wajah lelaki tetapi di dalam wajah itu ada sosok wanita. Dipandanginya lukisan itu.

“Ini seperti ada yang aneh, tapi apa?”
Kala semakin memperhatikan tiap sudut lukisan di depannya. Tidak salah, ini benar-benar aneh, gadis dalam wajah lelaki itu adalah ....

“Aku ... kenapa gadis dalam lukisan ini seperti wajahku, mirip, persis dan benar-benar seperti aku.”

Gadis berperawakan mungil itu langsung menoleh ketika pundaknya di sentuh oleh seseorang. “Siapa kamu?”

“Kenalkan, aku Indra, lengkapnya Kawindra.” Lelaki itu mengulurkan tangannya.

Kala sedikit terkejut dengan nama lengkap lelaki itu hingga dia tak bisa menyembunyikan senyumnya. Sadar bahwa ada tangan di depanya, dengan segera, disambutnya uluran tangan Indra.
“Ehm maaf, aku Kala, Kala Fabricia.” Lelaki di depannya tampak tersenyum. “Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa mendapatkan reaksi seperti itu ketika seseorang tahu nama lengkapku.

Maka dari itu aku mengunakan ‘Windra’ sebagai nama pena.”
“Nama pena?” Kala mengerutkan keningnya tidak mengerti dengan ucapan lelaki di depannya, apa jangan-jangan lelaki itu ....

“Kamu penulis novel?”

“Ha ha ha, bukan Kala, aku sama sekali tidak bisa menulis novel.”

“Lalu?”

“Aku yang melukis lukisan di hadapanmu.”
Dunia meluruh, warna-warna meluntur memperlihatkan sosok lelaki di depannya saat ini. “Jadi, kamu yang melukis lukisan itu?”

“Tidak usah kaget seperti itu.” Indra tersenyum tipis.

“Bagaimana tidak kaget, wanita di dalam lukisanmu itu seperti wajahku.”
Indra mendekati lukisan itu memandangnya lama, dengan kedua tangan saling bersendekap.

“Aku juga tidak menyangka. Kamu tahu, wajah gadis dalam lukisan itu berasal dalam mimpiku, dan aku terpesona olehnya sehingga mengabadikan dalam lukisanku.”

Kala masih ternganga, setengah tak percaya dengan cerita lelaki yang dikenalnya dalam hitungan menit itu.

“Kala, mungkin kamu memang takdirku.”

“Takdir?”

“Iya, sebagai seorang seminan, selama ini aku tidak pernah mencintai apapun selain lukisanku, dan sejak mimpi itu-tujuh bulan yang lalu. Aku mulai mencintai sosok gadis dalam mimpiku.”

Kala memandang lurus mata Indra, satu kata yang ditemuinya, ketulusan. Namun gadis itu masih tidak ingin secepatnya mempercayai begitu saja.

“Kala, kamu menyukai lukisan?”

“Iya, sangat suka, tetapi aku masih tidak berani melukis sehingga hanya mengambar pada sketch book.”

“Pasti sangat indah gambaranmu, kapan-kapan aku boleh lihat?”

Mendengar tentang gambar, gadis itu jadi teringat bahwa tadi selepas dirinya selesai mengambar, mamanya mengetuk pintu dan menyuruhnya membantu membuat kue untuk acara pertemuan keluarga di rumahnya nanti sore.

“Aku harus pulang!” Kala melangkahkan kakinya menjauh dari lelaki itu tetapi tiba-tiba tangannya di cekal oleh seseorang.

“Tapi tentang gambarmu?”

“Kalau kita memang ditakdirkan seperti ucapanmu tadi, pasti kita akan bertemu lagi dan aku akan membawa gambar-gambarku, tolong jangan ikuti aku.” Gadis itu berlari menuju taman.

Tadi dirinya terjatuh di sini, lalu bagaimana dia kembali ke kamarnya. Kala mengamati keadaan sekitar, siapa tahu ada pintu ke mana sajanya film kartun yang dulu sering ditontonnya tetapi nihil. Tidak ada apapun.

“Tuhan, aku harus bagaimana ini, kalau sampai mama melihat aku tidak ada di kamar, bisa kena tausiyah kilat aku,” ucapnya pada dirinya sendiri.

Gadis itu masih berpikir keras bagaimana caranya untuk bisa kembali ke kamar. “Tadi sebelum aku masuk pusaran puting beliung itu aku ngapin ya? Ayolah Kala, kamu harus bisa berpikir cepat.” Kala memukul-mukul kepalanya, siapa tahu otaknya bisa langsung bekerja.

“Ah ya, sebelum itu tadi aku berpikir ingin pergi ke pertunjukan seni seperti gambarku dan ....” Kala memejamkan mata mencoba mengendalikan pikirannya, dia ingin kembali ke kamarnya.

Tiba-tiba badannya melayang lagi, semua yang ada di hadapannya gelap. Tubuhnya seperti masuk pada pusaran angin puting beliung. Namun tak berapa lama pantatnya mendarat di atas benda empuk, kasur. Di depannya sudah ada sketch book kusam. Perlahan-lahan diambilnya buku kecil itu.

“Ini benar-benar seperti mimpi, aku bisa masuk dalam gambarku sendiri yang ada pada buku kecil ini. Dan tadi, Indra, apakah itu juga sosok nyata?” Gadis berbaju biru muda itu tersenyum mengingat Indra, sepertinya dia juga sudah menyukai lelaki itu, menyukai lukisannya pula.

Kala menutup telinganya ketika mamanya berteriak lagi.

“Kala, jangan di kamar terus, bantu mama buat kue.” Kala menutup telinganya ketika mamanya berteriak lagi.

Gadis itu menghela napas. “Kamu aku simpan dulu ya.” Dimasukkannya buku kecil itu dalam laci mejanya. Mungkin dia akan merahasiakan hal ini dari siapapun termasuk adiknya.

_END_

**************
Author : opicepaka
Judul : Perjalanan Terakhir.

Detak jarum jam mengisi  kesunyian, suara konstan yang menambah kegamangan. Derit pintu terbuka disusul isak tertahan makin menyesakkan. Bisik lirih mulai terdengar, meski kata yang terucap tak mampu dirangkai oleh penerimanya.

“Aya, bangun sayang.” Belaian sebuah jemari dingin dan lembab menyapu pipi gadis lima belas tahun itu. Reflek menyatakan seharusnya dia terkinjat oleh sensasi mendadak tersebut, tapi tubuhnya tak bergerak. “Aya,” Suara itu terdengar makin serak, putus asa.

Aya mengenali tangan itu, mengenali aroma manis dan tanah yang menyertainya, hafal tiap lekuk dan kerutnya. Tangan ibunya. Namun, tak peduli seberapa keras pun dia berusaha meraihnya, menggerakkan badannya, membuka matanya, usahanya sia-sia. Dia dikurung oleh tubuhnya sendiri. Tubuh yang hanya membujur kaku di atas ranjang bersprei biru, dengan selang dan kabel yang menjuntai dari tubuh tersambung dengan alat yang mengawasi kehidupannya.

**

Emma melangkah perlahan ke ruangan ICU, wajahnya lelah, rambutnya tergerai tak teratur, pakaian di balik jubah penjenguknya kusut. Namun, senyum masih setia menemani bibirnya.

“Malam sayang.” Wanita 46 tahun itu mengecup dahi anaknya yang masih terbaring dengan mata terpejam. Binar kehidupan tak tampak, kulitnya yang biasa berwarna tembaga karena sering terpapar matahari kini menjadi pucat, rona juga enggan menyemarakkan pipi. Seperti tanpa kehidupan.

“Hari ini kita jalan-jalan ke Prancis, yuk!” seru Emma bersemangat dan mengeluarkan sebuah buku serta botol kecil bergambar lavender dari tasnya.

Emma meneteskan cairan warna keemasan dari dalam botol kecil yang baru saja dia keluarkan sebelum saling menggosokkan ke dua telapak tangannya. Setelah rasa hangat menyelimuti hingga ujung-ujung jemari, dia mengambil telapak tangan Aya yang dingin. Memberikan remasan ringan, menyapukan ujung ibu jari pada buku-buku jemari anaknya.

“Kita ke Provence ya,” ujar wanita itu lembut sambil membuka buku tebal dan meletakkan di samping tubuh Aya, “Aya tahu? Apa yang terkenal di Prancis tenggara itu? Salah satunya adalah lavender.” Emma menatap dalam wajah putrinya yang masih terpejam sebelum melanjutkan, “Aya masih ingat ‘kan, wangi lavender? Seperti ini.” Tangan Emma terangkat, mendekati hidung gadis itu.

Dokter menyarankan Emma untuk merangsang indra anaknya dalam usahanya untuk membangunkan Aya yang telah dua bulan koma. Sekarang itu yang sedang dia lakukan, dengan sentuhan, dengan suaranya ketika bercerita, juga dengan aroma.

**

Telapak kaki telanjang Aya merasakan hangat yang disimpan oleh bebatuan kobalt di sore hari. Batu-batu yang disusun dengan pola geometri rumit tersebut menjadi jalan bagi pejalan kaki. Matahari telah mewarnai langit barat dengan merah dan jingga, sedangkan awan membiaskan cahaya, memberi semburat ungu yang mengingatkannya pada lavender.

Perlahan dia menyaksikan sekitar, bangunan tua berwarna khaki gelap serupa kulit unta berdiri kokoh, anggun, tapi juga memberikan kesan ramah. Tumbuhan merambat menjadi dekorasi alami pada tembok-tembok kuno dengan bunga berwarna-warni yang tengah bermekaran di Provence pada akhir musim semi, jingga, ungu, kuning, merah jambu, hingga merah.

Orang-orang tua berkarakter kaukasoid duduk nyaman di bangku taman. Sebagian membawa rajutan, kopi, koran, maupun remahan kue untuk untuk diberikan kepada burung yang datang. Sementara, lalu lalang berbagai ras dengan kamera mapun peta menunjukkan ini adalah destinasi wisata yang sangat diminati.

Bonjour, Mademoiselle,” sapa seorang pria tua dengan rambut yang telah sempurna putih dan bintik-bintik gelap di tulang pipi yang timbul akibat usia maupun paparan matahari.

Aya tak mengerti  apa yang dikatakan oleh pria itu, dia baru merencanakan untuk mengambil kursus bahasa Perancis tahun depan, tapi ketika Sang Kakek mengambil sepasang sandal dari bawah meja, mata gadis itu berbinar.

Selalu ada keajaiban dalam perjalanannya dua bulan terakhir. Minggu lalu ketika dia ke Quebec seorang wanita memberinya satu jar sirup maple. Sedangkan sebulan sebelumnya, seorang pemuda berambut dan berjenggot merah lebat, yang menurutnya mirip seperti tokoh-tokoh cerita Viking, memberinya tumpangan  dari Stasiun Kereta Salisbury menuju Stongehenge.

Bersegera, Aya mengenakan sandal bertali putih dengan hiasan bunga desi yang sangat pas untuk ukuran kakinya.  “Mercy, monsieur.” Gadis itu memberikan salut dengan menekuk lutut dan menarik kaki kanan  ke belakang sedangkan pria tua membalas dengan mengangkat topi jeraminya.

Kaki-kaki Aya melangkah ringan hingga ketika dia berbole ke salah satu gang sempit suasana di sekitarnya berubah. Tak ada lagi gedung tua, bangku-bangku besi, juga wisatawan. Di hadapannya tersaji rumpun-rumpun bunga lavender yang berjajar, seperti ulat bulu ungu raksasa yang berbaris di ladang bunga. Emma telah membawanya melompat dari pusat kota tua ke tepian desa.

Aroma bunga, yang segar sekaligus manis, sedikit masam dan serupa rempah-rempahan menyerbu indra penciumannya. Memberikan ketenangan, mengusir kegelisahan, menghilangkan ketegangan, dan membuat penghidunya nyaman.

Mengingatkan Aya pada ibunya.

Telapak tangan Aya menyapu mahkota-mahkota kecil, menikmati sensasi geli dari bunga lembut yang tegak di atas ranting kecil fleksibel tapi kuat. Gadis berambut ikal itu berjongkok, menenggelamkan wajahnya di antara bunga, bersama lebah yang terbang terhuyun oleh angin. Sebelum memetik setangkai kecil.

Oleh-oleh untuk Emma, karena ibunyalah yang telah membawanya kemari. Dia penasaran, kapan ibunya akan mengajak ke tempat mendiang Neneknya.

**

Emma kini duduk di ranjang anaknya, ranjang yang sudah tak pernah dihuni selama enam bulan. Siang tadi tim dokter telah memintanya untuk mempertimbangkan pelepasan alat penunjang kehidupan dari Aya, dia perlu berpikir sejenak.

Tangan wanita itu bergetar  saat menggapai sebuah kotak yang terletak di nakas. Dia ingat Aya pernah mengatakan akan membawa kotak itu, jika nanti berkeliling dunia, mengumpulkan cinderamata untuk diberikan kepada Emma.

Ketika kotak itu terbuka, perasaan kaget menohok jantungnya. Sebuah toples berisi cairan kental berwarna coklat keemasan bertuliskan maple syrup, setangkai lavender yang masih menyimpan aromanya meskipun kelopak telah kering, juga foto polaroid Aya bersama lelaki muda berambut dan jenggot merah yang mengingatkan pada tokoh cerita Viking dengan latar Stonehenge, di belakang foto tersebut tertulis sesuatu.

Terima kasih, Ma. Karena Mama, Aya bisa keliling dunia. Aya tak tahu bagaimana caranya, tapi cinta Mama membawa keajaiban, menembus batasan fisik dan waktu. Bolehkah Aya meminta sesuatu? Aya ingin istirahat bersama Nenek, di atas tebing dengan pemandangan pantai.”

**

Aya merasakan tusukan-tusukan kecil di telapak kakinya, juga lembab dan basah. Aroma garam dan suara ombak menyapanya. Pandangan menyapu sekitar, bersama senyum yang perlahan terkembang. Akhirnya, setelah menunggu empat bulan, Emma membawa Aya kemari.

Setelah berkeliling ke berbagai belahan dunia, dia merasakan kerinduan yang besar untuk melakukan perjalanan kemari. Membuatnya tak ingin pergi ke manapun lagi.

Dan lima langkah darinya sang Nenek sedang duduk tenang di atas batu nisan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro