6. Duel Kak Tiara dan Ume

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tantangannya.

Buat cermin min 700 max 1000 word, tentang arti sebuah teleportasi.

- genre fantasy
- pov 3

Syarat umum :
- no typo
- tanda baca perhatikan.

--------

Author : umenosekai
Judul : Jalan Kematian

KAAA----BOOOMMM

Asap hitam membumbung tinggi dari pinggir tebing, bertepatan dengan suara ledakan yang memekakkan telinga. Dari tengah kepulan hitam tersebut, tampak sesosok manusia sebuah boneka kelinci, dan seorang peri terlempar jauh.

"AYAAAAAA KERTAS MANTRANYAAAA, SOBEK KERTAS MANTRANYAAAAAAAAAAAA!!!" Kelinci tersebut berteriak seraya menggenggam erat tali yang terikat di lehernya. Tali tersebut berlanjut hingga melingkar di pinggang seroang gadis berhijab biru yang sedang sibuk mengacak-ngacak lembaran kertas di tangannya.

"Yang manaaaaa???? Yang mana mantra buat terbaaanngg???!!!"

"YANG POJOK, dodol!!!"

Tanpa menunda sedetikpun gadis menarik kertas yang terletak paling belakang dari tumpukan kertas mantra lainnya, tetapi...

SHUUUU~~~

Mereka hanya dapat menatap ngeri begitu hembusan angin menebangkan kertas di tangan Aya. Tubuh mereka berhenti sesaat, sebelum akhirnya gravitasi menarik mereka kearah danau yang terletak 300 meter di bawah mereka.

"YUKIMON LAKUKAN SESUATUUUUU!!!!"

"AKU GA BISA TERBAAANGGGG!!!"

"LILIIKKKK!" tanpa berpikir dua kali, tangan gadis berjilbab itu langsung menyambar sosok bersinar yang terbang di dekat mereka. Sang peri, Lili, langsung tercekat begitu beban yang 30 kali lebih berat darinya menarik tubuh malangnya kebawah.

"HNNGHHHH!!!"

"LILIII, TERBAAAANGG!!"

"HENGGGGHHHH!"

Namun apa daya, bahkan usaha keras sang peri tidak dapat memperlambat laju terjun bebas mereka. Melihat permukaan air yang makin dekat, Aya segera menarik tali yang melingkar di punggungnya dan menggunakan boneka putih di ujungnya untuk melindungi wajahnya. Beberapa detik kemudian, bunyi dentuman dan cipratan air menggema di tebing itu.

***

Aya menyeret tubuh basahnya ke tepi danau. Ingin rasanya ia menangis mendapati badannya dipenuhi lumut. Tidak pernah sedikitpun terpikirkan oleh gadis itu bahwa ia harus menjalani petualangan "menyenangkan" ini. Ia hanya gadis biasa yang bahagia dengan kehidupannya bersama keluarga dan kekasihnya tersayang.

"Semua ini gara-gara kelinci sial ini!" batinnya.

Semua ini di mulai saat Aya menemukan sebuah boneka lusuh yang tersangkut di balik lemari pusaka neneknya. Karena iba, Aya memutuskan untuk mencuci boneka kelinci itu. Ternyata pilihannya tepat sekali. Senyum gadis itu merekah begitu menatap boneka itu menjadi bersih dan sangat lembut. Alhasil, boneka itu sukses  menjadi teman tidur favoritnya.

Tapi siapa sangka boneka itu bukan boneka biasa dan ingin 'membalas' budi baik Aya. Boneka putih itu muncul dalam mimpi Aya, membukakan sebuah pintu merah yang mengantarkan gadis itu ke dunia ajaib. Awalnya itu hal yang menyenangkan, setiap kali Aya merasa lelah, ia akan berdoa agar bisa bertemu dengan boneka bernama Yuki itu di mimpinya dan bermain sepuasnya.

"KUNCINYA HILANG??"

Namun satu kesalahan kecil mengacaukan segalanya. Aya masih ingat betapa murkanya  ia ketika tahu Yuki menghilangkan kunci pintu merah tersebut, mengakibatkan gadis itu terjebak di dunia ajaib. Gadis itu sudah mencoba bermacam cara untuk membuka pintu itu, dari mendobraknya, melempari batu, hingga menggunakan boneka bodoh itu untuk merubuhkannya. Akan tetapi semua sia-sia. Mau tidak mau ia harus membantu kelinci bodoh itu mencari kuncinya.

Sialnya, kunci itu ternyata jatuh ketangan Ratu ChaCha, Ratu jahat yang ingin menguasai dunia. Namun dengan bantuan kertas mantra yang ia dapatkan (baca: rampas) dari elf bernama Snow, ia berhasil merebut kunci itu dari tangan Ratu ChaCha

Atau begitulah seharusnya.

"Woy, Yukimon! Bangun, Yukimon!" Gadis itu menggoyangkan boneka lusuh yang terbaring di sampingnya sekuat tenaga.

"Sakit..." setelah serentetan rintihan dan hujatan, Yuki akhrinya menggeliat dan bangun perlahan. Aya menghela lega begitu melihat dua temannya masih bersamanya, ia membuka tas kecil tempat ia menyimpan kertas mantra dan berdecih mendapati sebagian kertas tersebut luntur.

"Dasar elf pelit! Awas kalau aku ketemu dia lagi!" Dengan kasar ia meremas dan membuang gumpalan kertas itu ke danau di dekatnya.

"Hei kelinci, katakan padaku kau berhasil meraih kuncinya."

"Ha? Kalau kau melakukan pekerjaanmu dengan baik, kunci itu pasti sudah di tanganku!" bentak Yuki.

"Halooo!!! Kalau kau bisa melakukan pekerjaanMU dengan benar, kita tidak perlu berusah payah begini!" Gadis itu menarik telinga kelinci itu dengan murka. Jika saja ia tidak membutuhkan Yuki itu untuk membuka pintu merah, ia pasti sudah membakar boneka itu.

Aya berdiri dan menatap danau di hadapannya. Benar adanya ia telah berhasil merebut kunci tersebut dari Ratu Chacha, tapi karena hempasan ledakan barusan, kunci tersebut terlepas dari tangannya dan terjun indah ke danau.

Aya melirik ke arah peri kecil yang masih gemetaran di dekatnya. Dengan hati-hati ia memasukkan peri itu ke dalam kantung bajunya. Ia meraih selembar kertas mantra lalu menyelipkan kertas itu di antara bibirnya.

Tanpa ragu ia menyobek kertas itu dan kata "mermaid" bercahaya sesaat di hadapannya, lalu hilang. Dengan mantap, gadis itu meloncat kedalam danau.

***

"Berhasil berhasil berhasil yey! We did it!" Aya mengangkat kunci di tangannya dengan bangga. Langkahnya menuju pintu merah begitu riang, berbeda sekali dengan pria tamvan yang berjalan gontai di belakangnya. Pria tersebut tidak lain adalah Yuki. Karena Aya tega menjadikannya umpan untuk mengusir monster danau, ia terpaksa kembali ke wujud aslinya untuk mempertahankan diri.

"Nah, Tuan penjaga pintu yang terhormat, silahkan lakukan tugas anda!" Gadis itu menyibakkan hijab birunya dan menyerahkan kunci tersebut ke Yuki.

Pria itu berjalan mendekati pintu merah di hadapannya. Namun begitu ia memasukkan kunci tersebut ke lubangnya, gerakannya terhenti sesaat.

"Aya, kau yakin kau akan pulang?" Pria itu mengatakannya tanpa menghadap Aya.

"Tentu saja! Aku mau kencan sama abang! Cepat buka pintunya!" Tanpa berpikir dua kali, gadis itu menjawab dengan mantap.

"Kau ingat apa yang terjadi sebelum kau k esini tiga hari yang lalu?" Dengan berat hati Yuki memutar kunci emas di tangannya. Bunyi klik menggema di tengah keheningan.

"Aku ketiduran di kelas! Puas? Sini aku buka sendiri!" Tidak sabar, gadis itu mendorong tubuh pria berjubah putih itu hingga terjungkal ke samping.

"Aya, tung--"

Dengan satu dorongan kecil, pintu itu terbuka. Namun yang menyambut Aya adalah kegelapan dan tangan-tangan hitam yang menyeruak untuk meraihnya.

"A... apa-apaan ini? Yukimon! Apa-apaan ini? Lepaskan!" Yuki hanya bisa terdiam melihat Aya meronta melawan tangan-tangan yang menariknya jatuh kedalam kegelapan.

"Jika saja kau tetap tinggal di sini.... " Hanya itu kata yang bisa keluar dari mulut Yuki. Pria itu tahu ia tidak akan bisa melakukan apa pun untuk menyelamatkan gadis itu lagi. Tanpa memedulikan terikan miris gadis itu, pintu merah itu tertutup.

"Padahal kau sudah membangun dimensi ini untuk menyembunyikannya dari kematian. Kau bahkan sampai pura-pura menghilangkan kuncinya. Pada akhirnya, tidak ada yang bisa mengindar dari kematiannya sendiri." Pria itu mengabaikan bisikan manis dari wanita yamg sedari tadi hanya berdiri di sampingnya tanpa melakukan apapun.

Sosok peri itu bersinar sesaat, lalu berubah menjadi wanita cantik berbalut gaun hitam, begitu juga Yuki, baju putihnya perlahan menghitam. Dan dunia di sekitarnya mulai kehilangan warna-warninya, langit biru di atasnya retak dan rubuh perlahan bagai cermin yang terhantam batu.

"Aku hanya ingin membalas budinya," bisik Yuki.

"Kasih sayang hanya akan menyiksamu, Tuan Malaikat Maut." Wanita cantik itu menepuk pundak pria di sampingnya, lalu menghilang dalam kegelapan, meninggalkan Yuki yang bahkan tak mampu terisak.

***

Salah satu sudut pemakaman umum tersebut tampak ramai. Puluhan orang berbaju hitam berjejer mengelilingi sebuah gundukan tanah yang masih tampak segar. Seorang wanita tampak terisiak, sisanya berusaha menenangkan wanita itu.

"Kasihan sekali anak itu, padahal masih muda, cantik lagi."

"Katanya dia kepeleset di tangga sekolah."

"Gimana sih sekolahnya, gak becus banget."

-End-

***********

Author : TiaraWales
Judul : Amulet

"Apa itu? Sebuah jimat?"

Yuri tercenung, tak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Rico. Gadis enam belas tahun itu masih terpaku menatap sebuah benda berbentuk liontin bulat kecil di tangannya. Warna pelangi yang melingkari permukaannya seakan membuatnya tersedot masuk ke dalam pusaran. Untuk sesaat, Yuri merasa kehilangan orientasi.

"Yuri? Kamu baik-baik saja?" Tepukan lembut Rico di bahunya membuat Yuri tersadar.

"Eh? Y-ya ... ya. Ng, kamu bilang apa tadi?" Yuri mengusap wajahnya lalu berpaling menatap Rico, teman akrabnya sejak SMP.

Mereka cocok dalam hampir segala hal. Basket, Matematika, Fisika, dan tentu saja petualangan bak detektif yang mereka lakukan tanpa sepengetahuan orang tua. Dan kali ini sepertinya mereka akan menangani sebuah kasus tak biasa.

"Benda di tanganmu itu, sebuah jimat?" Rico mengulangi pertanyaannya sambil bersedekap di sebelah Yuri.

"Entahlah. Seperti yang kau dengar, nenek tua itu bilang benda ini adalah petunjuk jalan menuju Tyropia, tempat cucunya berada. Tapi aku yakin tidak ada kota atau negara bernama Tyropia di peta. Aku rasa nenek itu hanya berhalusinasi." Yuri mengedikkan bahunya kemudian memasukkan liontin itu ke sebuah kantung berwarna hitam. "Kita kembalikan ini besok padanya."

Laki-laki itu membalas kata-kata sahabatnya dengan anggukan. Meski penasaran, mau tak mau Rico sependapat dengan Yuri. Mereka seharusnya tak perlu menanggapi permintaan tolong yang diajukan nenek tua aneh itu kemarin. Dia adalah penghuni rumah besar di ujung kompleks perumahan mereka. Tinggal seorang diri selama bertahun-tahun setelah cucunya menghilang tanpa jejak. Suatu kebetulan saat kedua remaja itu melewati rumahnya sebagai jalan pintas menuju jalan raya. Dan imbasnya, mereka disodori benda aneh yang sama sekali tak bisa dikatakan sebagai petunjuk untuk mencari keberadaan cucunya.

Hanya saja mengembalikan benda itu tak semudah saat mereka menerimanya. Nenek itu bersikeras bahwa Tyropia ada di suatu tempat. Dan hanya mereka berdua yang bisa masuk ke sana.

"Maafkan kami, Nek. Tapi ... kami bahkan tak tahu di mana itu. Kami sudah memeriksa liontin ini dan tak menemukan peta atau sejenisnya." Yuri mengulurkan kantung berisi liontin pelangi ke arah si nenek tua. Dia dan Rico baru saja tiba di rumah wanita itu.

"Ah, aku melupakan sesuatu," ucapnya pelan tanpa melirik kantung di hadapannya. Perlahan tapi pasti, si nenek tua berjalan menuju lemari penyimpanan di sudut ruang tamunya. Sesuatu seperti sebuah kotak persegi yang berdebu dikeluarkan dari sana.

Yuri dan Rico berpandangan. Mereka lalu mengamati dengan teliti saat si nenek tua membuka kotak dan mengeluarkan sebuah bola kaca seukuran bola basket. Di dalamnya terdapat miniatur sebuah kota yang terlihat asri karena diapit pepohonan serta bunga yang bermekaran. Kota yang indah, seindah di negeri dongeng.

"Maafkan aku yang pikun ini. Aku melupakan sesuatu yang penting, Tyropia. Inilah dia. Cucuku ada di dalam sini. Dan dia masuk tanpa membawa Amuletnya."

Yuri dan Rico kembali berpandangan. Jika saja tertawa terbahak-bahak tidak akan membuat orang tua di hadapan mereka ini tersinggung, mereka pasti sudah meledakkannya saat ini.

"Amulet?" Rico bertanya.

"Liontin pelangi yang aku berikan. Itu adalah Amulet, salah satu dari jimat kembar Pembawa. Pasangannya ada di tangan cucuku. Amulet ini bisa membawa manusia ke Tyropia. Dunia peri yang indah dan akan membuat siapa saja yang masuk enggan untuk pulang. Aku pernah masuk ke sana, dulu. Saat aku seusia kalian, saat aku seusia cucuku. Manusia dewasa tidak diperkenankan di sana. Jadi aku tidak bisa masuk dan membawa pulang cucuku.
Seperti yang kukatakan, dia masuk tanpa membawa pasangan Amuletnya. Dan tanpa itu dia akan terjebak selamanya. Kumohon, masuklah ke sana dan bawa cucuku kembali." Nenek tua menatap kedua remaja di hadapannya penuh harap.

Mereka tak bisa memutuskan apakah harus memercayai cerita tersebut atau mengabaikannya. Mereka bahkan tak tahu harus bereaksi bagaimana.

"Aku tahu kalian tak memercayaiku. Tapi aku akan tunjukkan bahwa yang kukatakan adalah benar. Kemarilah, berikan Amulet itu padaku." Tangan renta itu terjulur lemah.

Yuri menyerahkan kantung di tangannya dan menanti dengan tak yakin apa yang akan terjadi selanjutnya. Gadis itu berharap bisa segera pergi dan terbebas dari cerita karangan si wanita tua. Dia lalu melirik Rico yang sepertinya juga memikirkan hal yang sama.

Sebuah cahaya berkilau membuat Yuri melepaskan pandangan dari wajah sahabatnya. Pendar warna-warni yang ternyata berasal dari liontin pelangi di tangan si nenek tua membuat Yuri dan Rico terpana.

"Bagaimana ...?" Yuri tercekat.

"Mendekatlah ...." Si nenek tua meletakkan Amulet tersebut di atas bola kaca.

Seakan tersihir, mereka berdua berjalan mendekati Amulet yang bersinar terang. Sedikitpun tak merasa silau meski cahayanya seolah mampu membutakan.

"Kalian telah melihat Tyropia melalui bola ini. Bayangkanlah keindahannya di dalam pikiran kalian. Sentuhlah Amulet ini dan dia akan membawa kalian ke sana. Cahayanya akan menuntun kalian. Bersiaplah. Satu ... dua ... tiga!"

Yuri dan Rico serentak menjulurkan tangan dan menyentuh Amulet bercahaya sembari membayangkan miniatur Tyropia di pikiran mereka. Lalu sensasi aneh melingkupi keduanya. Mereka merasakan dunia di sekeliling berputar seketika, membawa mereka mengitari cahaya pelangi yang telah membuat pusaran dalam. Putaran itu kini tak terkendali, seakan mampu menghancurkan raga. Semakin cepat ... bertambah kencang ... kemudian ... tsap!

Putaran berhenti mendadak tanpa aba-aba. Menyisakan gejolak di perut Yuri dan Rico hingga membuat keduanya memuntahkan isi perut di atas rerumputan hijau bak permadani.

"Manusia! Ada manusia yang datang! Theo! Kaummu menjemput! Kemarilah!" Suara teriakan menggema aneh. Saling susul-menyusul membuat keriuhan.

Yuri dan Rico menengadah dan keduanya terkesima. Puluhan bahkan mungkin ratusan peri bersayap melayang di atas mereka. Belum sempat mereka mengerjap, satu-satunya sosok yang kakinya menapak di atas rumput berlari ke arah mereka. Seorang remaja laki-laki sebaya mereka, mendekat dengan wajah berbinar-binar bercampur lega.

Yuri dan Rico masih belum mampu menguasai diri dari keterkejutan. Akan tetapi laki-laki bernama Theo itu telah mengeluarkan sebuah benda yang mirip dengan Amulet di tangan keduanya dan menyatukan jimat-jimat tersebut hingga mengeluarkan cahaya yang jauh lebih terang dari sebelumnya.

"Oh, tidak!" keluh Yuri dan Rico bersamaan, merasa belum sanggup berada di dalam pusaran sekali lagi.
Namun, mau tak mau mereka harus menyentuh gabungan Amulet kembar yang telah berputar kencang, bersama Theo di sisi mereka. Lalu mereka mulai membayangkan ruang tamu si nenek tua sebelum akhirnya terseret dalam pusaran memabukkan.

FIN











Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro