15. Alasan, tidak dapat diterima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

___HAPPY READING___

"Kamu gak ada foto atau apa pun tentang ibu kamu, Vi?" tanya Naila lelah, mereka sudah berputar-putar menyusuri jalan, tapi tetap tidak menemukan tanda-tanda keberadaan ibu Vivi. Apa lagi, mereka sama-sama tidak pernah melihat wajah seseorang yang sedang dicari.

Vivi menggeleng pelan. "Aku gak pernah minta foto ibu."

'Tuhan, bagaimana cara kami bisa menemukannya?' batin Naila bersedih.

"Kalo gitu, kita pulang dulu, yuk ... ke rumah sakit, jenguk kak Arhan, gimana?" Vivi menjawab dengan anggukan pelan. Mereka kembali berjalan menuju rumah Naila.

Tapi....

Belum sampai rumahnya, Naila melihat Darel terduduk lemah di tengah jalan. Ia mempercepat langkahnya, memegang lengan Vivi agar mengikuti.

"Arel, kamu ngapain di sini?"

Darel menghiraukan suara yang tertangkap telinganya. Matanya kembali mengeluarkan air mata dengan deras.

"Kamu kenapa?" tanya Naila yak menyerah.

Lagi-lagi tidak ada jawaban yang menyahut.

Naila melepas genggaman tangannya pada Vivi, berpaling mengangkat tubuh mungil Darel agar bangkit dari duduknya.

"Kenapa, Darel?" Kali ini suaranya lembut, tapi terdengar tak terbantahkan, seperti menuntut jawaban.

Hening sejenak, sebelum akhirnya, suara Darel terdengar. "K-kak C-caca, K-kak ... kak Caca d-ditangkep p-po-lisi!" Tangisan Darel semakin keras di ujung kalimatnya.

"Apa?!" tanya Naila kaget, memastikan pendengarannya tidak salah. Darel hanya membalas dengan anggukan kecil.

"Kenapa bisa? Kamila mana?"

Keheningan tercipta, layaknya Naila kemarin, mulut Darel kelu, suaranya sulit untuk keluar. Naila yang melihat reaksi dari pria kecil di hadapannya, langsung mengambil tubuhnya, memeluk dalam diam.

Air mata si kecil kembali tumpah, membasahi pakaian Naila yang menutup wajahnya. Walau tak terlalu keras karena tangisannya berada di dalam dekapan, tapi Naila dapat merasakan sesakit apa perasaan Darel.

Adegan sedih ini berlangsung lama, bahkan Vivi yang tidak dapat melihat pun ikut menjatuhkan air mata.

"Kak, bebasin Kak Caca...." Darel berujar lirih setelah merasa lebih tenang.

Naila hanya diam membisu, tetap memeluk erat tubuh Darel.

"Kak, bangunin Kak Arhan ... Kak Arhan pasti bakal bebasin Kak Caca...."

Akhirnya, air mata yang dari tadi berusaha Naila tahan, luntur seketika, membasahi wajahnya yang putih bersih.

"Mau ke rumah sakit, atau ke kantor polisi?" tanya Naila setelah menghapus jejak air matanya. Ia melepas pelukan, dan menatap Darel lekat.

💔💔💔

Ruangan yang dipenuhi meja, dengan orang-orang yang mayoritas berseragam cokelat di dalamnya terlihat. Mereka mengabaikan tiga insan berwajah sendu yang memohon berkali-kali agar Caca dibebaskan.

"Pak, anak sekecil dia gak mungkin menculik!" Naila berkata geram.

"Buktinya sudah jelas, Mbak, kami tidak bisa membebaskannya--"

"Kecuali penuntut membebaskannya?!" potong Naila, menitukan perkataan yang sudah diucapkan polisi berulang kali sejak tadi. "Kenapa ribet banget, sih, Pak! Bapak gak kasihan sama adiknya?!"

Polisi di sana hanya diam melihat Naila yang kesal.

"Pak, tolong bebasin kakak aku, kenapa kakak aku masuk penjara?" Darel membuka suara dengan isakan di dalamnya.

"Adek, kakakmu itu menculik anak orang--"

"Kakak aku gak nyulik orang, Pak!" bantah Darel.

"Dia nyulik anak yang bernama Kamila," balas polisi itu.

"Gak! Kamila sendiri yang mau sama kita, bukan kakak aku yang nyulik!"

Lagi-lagi polisi hanya diam, sama seperti Vivi yang hanya bisa mendengarkan.

"Pak--" Naila kembali bersuara, tapi ucapannya langsung dipotong begitu saja.

"Gak bisa, Mbak. Lebih baik, kalian pulang sekarang. Udah mau gelap."

"Pak...."

"Silakan pergi!"

"Kalau gak bisa, izinkan kami bertemu dengan Caca."

Polisi itu terdiam sejenak, kemudian mengangguk perlahan. "Sepuluh menit," ucapnya kemudian, berjalan menuntun ketiga insan yang menolak pergi.

Tak lama, polisi itu berhenti, membiarkan Naila, Darel, dan Vivi masuk sendiri saat Caca sudah terlihat di balik jeruji besi.

Naila langsung berjalan cepat, diikuti Vivi yang sedari tadi digenggamnya. Darel pun juga mempercepat langkahnya.

"Kamu gak papa?" Naila memulai percakapan.

"Aku gak papa, Kak," ujar Caca berusaha tegar.

"Kak, Arel bakalan bebasin Kakak dari sini ... Kakak tunggu sebentar, ya."

Caca tersenyum, mengangguk pelan.

"Kak Caca harus tetep semangat, semua pasti akan ada jalannya." Vivi menyahut, walau tidak terlalu paham situasinya.

"Kalian jangan sedih cuman gara-gara Kakak, ya. Kak Caca baik-baik aja di sini." Caca menatap lekat Darel dan Vivi bergantian. "Maafin Caca, udah buat Kakak khawatir," ujar Caca lagi, kali ini menatap Naila. Naila hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Sudah sepuluh menit," ujar salah satu polisi merusak suasana.

"Kalian pulang gih, jengukin Kak Arhan di rumah sakit. Kasihan, gak ada yang jagain Kak Arhan."

"Kak Caca, tungguin Arel, ya.... Arel pasti bisa bebasin Kakak."

Mereka akhirnya pasrah, pergi meninggalkan kantor polisi tanpa membawa Caca.

Dengan langkah lemah, mereka mencari angkutan umum, menuju rumah sakit.

💔💔💔

Matahari sudah sempurna tenggelam. Naila, Darel, dan Vivi sekarang berada di rumah sakit, memilih untuk bermalam di sana.

Tidak ada percakapan sama sekali, semua sibuk dengan lamunannya masing-masing. Mungkin, mood berbicara mereka sudah luntur, karena beradu mulut dengan para polisi.

"Kalian laper, gak?" tanya Naila memecah keheningan. Sayangnya, tidak ada jawaban yang terdengar. Darel dan Vivi masih sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Kakak keluar dulu, ya, cari makan. Kalian tunggu di sini."

Setelahnya, Naila keluar. Vivi yang tersadar suara pintu dibuka dan ditutup menoleh kanan kiri. "Kak Naila?" panggilnya yang juga tak ada jawaban.

Vivi berjalan, ke arah suara pintu tadi. Sayangnya, belum mencapai pintu, dia tersandung kakinya sendiri, jatuh menyentuh lantai.

"Mau ke mana?" Lirih Darel tanpa menoleh ke arah Vivi yang pasti berada di belakangnya, karena sekarang Darel sedang menghadap Arhan yang terbaring.

Vivi diam saja, berusaha bangkit dari jatuhnya. Dia kembali melangkah ke arah pintu, kemudian pergi dari sana.

Ya, Vivi sedang memikirkan ibunya sejak tadi. Mendengar suara pintu, membuat dia berpikir untuk keluar, kembali mencari sang ibu. Vivi merasa tidak enak harus bersama orang yang bukan siapa-siapanya. Walau Vivi tau mereka baik, tapi Vivi tidak mau menyusahkan. Vivi mengerti, kalau keadaan orang yang bersamanya juga sedang sulit, maka dari itu, dia memilih pergi.

💔💔💔

*

*

*

*

*

Arhan update...

Gimana part ini? Kesel? Sedih? Emosi? Dapet gak feelnya?

Semoga kalian selalu suka sama cerita ini....

Dukung cerita ini, ya, dengan vote, komen, and sharee....

Menerima krisar juga, yaa... Silakan....

Semoga kita semua selalu dalam kesuksesan....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro