10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gimana? Seneng ditemenin sama cowok seharian?"

Sarkas sekali ucapan Rian pada Arin yang tengah sakit. Bukan pertanyaan mengenai kondisi perempuan itu yang dia dengar, tetapi malah hal lain yang membuat Arin sedikit kesal.

"Kenapa? Kok nggak jawab?" tanya Rian lagi karena Arin tak kunjung menjawabnya.

Sebenarnya Arin tidak ingin bertemu dengan Rian lagi setelah tau bahwa namanya dipakai oleh pria itu untuk berbohong, Arin lebih menyukai bersama Angga. Namun, jika Rian dan Angga bersatu di ruangannya pasti akan terjadi sesuatu yang tidak bisa dia tahan.

"Mas, ngapain ke sini?" tanya Arin balik dengan wajah datarnya sembari merapikan poninya yang sudah cukup panjang.

"Lo masih nanya gue ngapain ke sini? Ya gue mau jengukin lo lah."

Nada suara Rian meninggi entah karena apa dan menyita perhatian Arin juga Lili yang tengah sibuk merapikan pakaian anak majikannya itu.

"Oh, masih inget aku toh. Kirain, Mas cuman inget sama temen-temen Mas doang."

Dahi Rian mengerut setelah mendengar ucapan Arin yang tidak dia pahami. "Maksudnya?"

"Mas, bisa nggak sih. Mas nggak bawa-bawa nama aku kalau kamu mau bohong sama mamanya Mas. Aku tau, Mas ngelakuin itu biar dibolehin pergi kan?"

Kini, Rian tau maksud ucapan Arin. Dia memang salah memakai nama perempuan itu. Namun, dia tidak tau jika Arin tidak suka dia melakukannya.

"Oke, gue minta maaf."

"Ya udah, aku maafin."

Arin yang ingin menyelesaikan masalah kemudian membaringkan tubuhnya miring agar tidak melihat sosok Rian yang masih berdiri menatapnya.

Untuk pertama kalinya, Arin bersikap dingin padanya dan membuat perasaan Rian menjadi tidak karuan.

"Mas," panggil Arin lagi dengan pelan. Namun, tubuh perempuan itu tak kunjung berbalik dan Rian hanya bisa menatap punggungnya. "Mas pernah nyuruh aku buat jauhin Mas, kan?"

Setelah cukup lama berpikir, Rian akhirnya menjawab pertanyaan Arin dengan anggukan walaupun perempuan itu tidak dapat melihatnya. Walau begitu, Rian tetap mematung dan menunggu Arin kembali berbicara.

"Aku nyerah, Mas. Aku bakal jauhin Mas mulai sekarang."

Menutup ucapannya, Arin menyelimuti penuh tubuh kecilnya dan yang tersisa hanya wajahnya untuk bernafas. Perlahan, perempuan itu menutup matanya untuk beristirahat. Meninggalkan Rian yang tidak tau harus berbuat apa.

Lili yang tidak tega pada pria itu kemudian mendekatinya. "Mari duduk, Mas," ajak Lili yang membuat Rian sadar. Pria itu tersenyum tipis menanggapi ajakan pembantu Arin itu.

"Hmm, saya balik aja, Bi."

Iya, Rian memutuskan untuk pergi dan menenangkan diri.

Saat pria itu keluar, Angga tak sengaja melihatnya dari kejauhan dengan dahi mengerut. Kenapa dia keluar?

Setelah Rian pergi, Arin menangis dalam diam. Ditahannya suara tangis agar Lili tidak mendengarnya. Namun sayang, perempuan paruh baya itu tidak bisa Arin bohongi.

Lili beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Arin dengan sekotak tisu di tangannya. "Mbak kenapa sih? Kok ngusir Mas Rian begitu?" tanya Lili dengan begitu pelan. Dia takut menyakiti perasaan Arin yang sepertinya masih terguncang.

"Aku capek, Bi. Aku capek sama dia, udah bertahun-tahun aku ngejar dia. Tapi apa? Nggak ada hasilnya kan?"

Arin melampiaskan kekesalannya dengan sedikit berteriak. Hal itu membuat Angga yang tengah menguping di luar mendengar apa yang perempuan itu katakan. Jadi, itu alasan Rian pergi?

Ingin rasanya Angga masuk ke dalam ruangan Arin dan menenangkan perempuan itu. Namun, saat tangannya sudah berada di ganggang pintu tersebut ponselnya berbunyi dan Angga segera pergi dari depan kamar rawat Arin.

Jarak antara pintu dan kasur rawat Arin memang cukup jauh sehingga suara ponsel Angga yang berbunyi tidak dapat perempuan itu dengar dan juga tidak mengganggu kedua perempuan yang kini tengah berpelukan itu.

Saat malam tiba, Arin sibuk mengompres matanya yang bengkak. Lili yang berada di sisinya tersenyum tipis memperhatikan anak majikannya itu. "Biar saya bantu, Mbak," ucap Lili berusaha mengambil alih kompres di tangan Arin.

Arin yang sadar kemudian menjauhkan kompresnya agar tidak direbut. "Nggak usah, aku bisa sendiri kok."

Lagi-lagi, Lili hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan Arin yang selalu tidak bisa dibantah.

Saat pukul sembilan malam, Arin yang masih terjaga begitu bosan karena tidak ada yang dia lakukan dan Lili sudah tertidur pulas di sofa. Dia ingin berbincang, tetapi entah dengan siapa.

Setelah berpikir panjang, Arin mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan yang kemudian dia kirim kepada Angga.

Angga
Malem, Ngga.
Udah tidur belum?

Belum sempat Arin menutup ruang chatnya bersama Angga, tiba-tiba keterangan pesan yang baru dia kirim berubah warna. Angga membaca pesannya dan terlihat tengah mengetik sesuatu.

Arin begitu antusias menunggu balasan Angga yang dengan cepat meresponnya.

Angga
Belum kok, Rin
Kenapa?

Senyum tipis terlukis di wajah Arin saat ini, dengan jari yang lincah perempuan itu kembali mengirim pesan.

Angga
Nggak pa-pa.
Aku cuman bosen aja
di RS soalnya Bi Lili
sudah tidur duluan

Tatapan Arin beralih pada sosok Lili yang menyelimuti penuh tubuhnya di atas sofa. Arin jelas tau bagaimana pembantunya itu tidak tahan dengan udara dingin yang ada di kamarnya, tetapi Arin tidak bisa mematikan AC yang menyala terus menerus itu karena tidak tahan dengan udara panas.

Di tengah lamunannya, tiba-tiba ponsel Arin berbunyi dan mengejutkan pemiliknya. Arin menatap layar ponselnya yang tertulis nama Angga di sana. Loh, kenapa dia nelepon?

Walau sedikit bingung, Arin tetap mengangkat telepon Angga dengan suara yang sengaja dipelankan agar tidak mengganggu tidur Lili.

"Halo, Ngga. Kenapa nelepon?"

"Halo juga, hehe. Nggak pa-pa sih, pengen denger suara kamu aja sekalian nemenin kamu begadang."

Semu merah jelas terlihat di wajah putih Arin, sekarang dia benar-benar malu dengan godaan Angga yang sebenarnya biasa saja.

"Halo, Rin. Kamu masih bangun kan?" tanya Angga karena Arin tidak merespon ucapan sebelumnya.

"Eh, iya. Aku masih bangun kok."

Percakapan mereka berlangsung hingga larut malam bahkan sampai Arin tertidur pulas. Untungnya, besok adalah hari libur sehingga Angga tidak perlu takut telat turun sekolah.

Sebelum penutup panggilan telepon, Angga berbisik pelan yang tentunya tidak akan di dengar oleh Arin. "Good night, Rin."

Keesokan harinya, Arin dikejutkan dengan kedatangan Angga. Pria itu membawa beberapa makanan di tangannya dan membuat Arin tersenyum lebar.

"Makasih ya," ucap Arin setelah Angga menaruh semua bawaannya di atas kasur perempuan itu.

Mata Arin membulat sempurna saat memperhatikan kotak makanan yang Angga bawa, semua berisikan makanan rumahan. "Siapa yang masak?" tanya Arin dengan penuh penasaran.

"Mama aku," jawab Angga singkat yang membuat Arin sedikit terkejut. Hal itu tentu membuat Angga cukup bingung. "Kenapa? Nggak suka?"

Arin menggeleng dengan cepat. "Nggak kok, aku suka."

"Terus, kenapa muka kamu begitu?" tanya Angga yang membuat Arin terdiam sejenak.

Dengan pelan, tangan Angga terangkat dan mengusap rambut lurus Arin. "Kenapa? Ada masalah?"

"Nggak kok, aku cuman kangen sama orang tua aku," jawab Arin dengan senyum kecut di wajahnya. Sudah cukup lama kedua orang tua perempuan itu tidak pulang ke rumah, mereka juga tidak menghubungin Arin belakangan ini.

Merasa tidak enak karena sudah membuat Arin sedih, Angga menarik tubuh perempuan itu masuk ke dalam pelukannya. "Maaf ya, sudah buat kamu sedih."

Sebagai balasan, Arin menggeleng pelan. "Nggak kok, semua ini bukan salah kamu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro