9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Layaknya tengah menunggu sesuatu yang membahagiakan, Angga terus tersenyum di depan kamar kecil dan sesekali menggoda Arin dengan menanyakan tentang perempuan itu. "Udah belum?"

"Belum, bentar lagi," jawab Arin dengan sedikit berteriak. Di dalam, perempuan itu tengah sibuk memperbaiki pakaiannya. Infus di tangannya membuat gerak perempuan itu terbatas.

Selang beberapa menit, pintu kamar kecil itu terbuka dan membuat Angga terkejut. "Loh, kok nggak manggil aku sih?" tanya Angga dengan dahi mengerut.

"Udah aku bilang, aku bisa jalan kok."

"Iya aku tau, tapi kan kamu masih sakit." Suasana di antara keduanya terasa begitu panas, Arin yang keras kepala terlihat tidak ingin merepotkan Angga. Namun sebaliknya, Angga malah senang jika harus direpotkan oleh perempuan itu.

"Yuk, aku gendong lagi ke atas kasur," tawar Angga yang langsung ditolak oleh Arin dengan menahan tangan pria itu.

"Nggak usah, aku bisa sendiri kok. Bantuin naik aja nanti."

Dengan langkah pelan, Arin berjalan menuju kasurnya. Saat sampai, Angga langsung membantu perempuan itu naik dengan mengangkat tubuh Arin perlahan.

Setelah selesai, Arin segera membaringkan kembali tubuhnya dan melempar senyum ke arah Angga. "Makasih ya."

"Iya, sama-sama."

Untuk waktu yang singkat, Arin dan Angga bisa cepat akrab. Mereka ternyata memiliki sama-sama menyukai kucing sebagai hewan yang menggemaskan.

"Nih, aku punya dua kucing di rumah," jelas Angga sembari menyodorkan ponselnya, memperlihatkan foto kucingnya kepada Arin.

"Ih, gemes banget," ucap Arin sembari merampas ponsel Angga dari tangan pemiliknya. Setelah sadar dengan apa yang dia lakukan, perempuan itu sedikit malu. "Eh, maaf. Ini hape kamu."

Arin mengembalikan ponsel Angga yang membuat pemiliknya tersenyum manis. "Nggak pa-pa, pake aja. Di situ ada banyak foto kucing aku kalau kamu mau liat."

Kini, Arin menjadi ragu setelah diberi izin oleh Angga untuk memegang ponselnya. Namun, setelah menatap kembali wajah pria di sisinya itu. Arin akhirnya memberanikan diri untuk membuka beberapa foto kucing yang ada di sana.

Di tengah keseriusan Arin melihat kumpulan foto kucing milik Angga, pria itu tiba-tiba melempar sebuah pertanyaan pada Arin yang kemudian menyita perhatiannya. "Kamu nggak punya kucing di rumah?"

Arin menggeleng pelan, untuk menyentuh kucing saja dia tidak berani bagaimana bisa dia memelihara hewan menggemaskan itu. "Enggak, aku cuman seneng liat kucing tapi takut megangnya."

Angga terkejut mendengar ucapan Arin karena untuk pertama kalinya, dia bertemu dengan orang yang tidak berani memegang kucing tetapi menyukainya. "Kenapa takut?" tanya Angga dengan penuh penasaran, pasti ada alasan kenapa Arin takut untuk memegang kucing.

"Hmm gimana ya jelasinnya," jawab Arin sembari bangun dari tidurnya dan membuat Angga terkejut.

"Tiduran aja, Rin."

Arin menggeleng pelan dan tersenyum ke arah Angga. "Aku capek tidur terus."

Angga menghela napas setelah mendengar jawaban Arin, perempuan keras kepala itu tidak mau mendengar keinginannya. "Ya udah, tapi senderan ya. Biar aku atur tempat tidurnya."

Sebagai balasan, Arin mengangguk pelan dan memperhatikan Angga yang kini berpindah tempat ke belakang tubuhnya. Mengatur posisi kasurnya hingga bisa Arin senderi.

"Makasih ya," ucap Arin setelah Angga selesai dengan pekerjaannya. Pria itu hanya tersenyum sebagai balasan dan kembali duduk untuk mendengar penjelasan Arin.

"Jadi gimana? Kok bisa kamu takut megang kucing?"

Kembali ke topik, Angga terlihat begitu antusias menunggu Arin mengeluarkan suaranya dan membuat perempuan itu tertawa kecil. "Hmm, jadi dulu banget. Rian punya kucing," jelas Arin yang langsung dipotong oleh Angga karena mendengar nama Rian diucapkan perempuan itu.

"Hah, kok jadi Rian sih?"

"Iya, ini ada hubungannya sama dia. Kamu dengerin dulu dong."

Sebenarnya, Angga sangat malas jika mendengar nama Rian disebut oleh Arin. Namun, pria itu tetap harus tenang sampai Arin selesai menjelaskan. "Ya udah, lanjut deh."

"Kucingnya Rian itu agak nakal, dia suka lari-lari gitu kan. Nah, pas aku lagi di rumah Rian. Lagi main, eh kucing itu lari ke arah aku terus nyakar aku."

"Nyakar? Nyakar dimana?" tanya Angga dengan panik. Dia jelas tau bagaimana traumanya Arin saat itu karena dicakar oleh kucing milik Rian.

"Nih di sini." Arin menunjuk lengan sebelah kirinya yang terdapat bekas luka di sana, bukan luka yang baru. Namun, tetap terlihat dengan jelas.

Tangan Angga terangkat dan memegang lengan Arin dengan perlahan. "Pasti sakit banget, kan? Ini aja bekas lukanya keliatan dalam."

Arin mengangguk pelan. "Iya, tapi udah lama banget sih. Sekitar lima tahun yang lalu."

"Lama juga ya."

"Iya."

Setelah penjelasan singkat mengenai ketakutan Arin kepada kucing, Angga kemudian memberanikan diri untuk melempar sebuah pertanyaan kepada perempuan itu. "Hmm, Rin. Aku boleh nanya sesuatu?"

Arin yang sebelumnya sibuk memperhatikan layar ponsel Angga langsung menoleh dengan kedua alis terangkat. "Boleh kok. Nanya apa?"

"Kamu sama Rian ada hubungan apa?"

Sebenarnya Angga sedikit ragu untuk bertanya hal tersebut kepada Arin. Dia takut jawaban perempuan itu dapat melukainya. Namun, dia lebih takut tidak memiliki kesempatan untuk bersama Arin dilain waktu.

Arin tersenyum setelah mendengar pertanyaan Angga. Memang, kedekatannya dengan Rian berhasil membuat orang-orang penasaran dengan hubungan mereka dan sepertinya Angga juga perlu tau akan hal itu. "Hmm, aku sama Rian cuman temen kok."

"Cuman temen?" tanya Angga lagi karena dia tidak percaya dengan ucapan perempuan di sisinya itu.

"Iya, tapi aku suka sama dia dari kecil."

Kebingungan jelas terlihat di wajah Angga setelah mendengar penjelasan Arin. Perempuan itu sangat suka menggantung ucapannya dan membuat pertanyaan baru muncul di benaknya. Namun sebelum pria itu kembali berucap, tiba-tiba pintu kamar rawat Arin terbuka.

Arin dan Angga sontak menoleh secara bersama-sama ke arah pintu tersebut. Mereka cukup terkejut saat melihat sosok Rian masuk bersama dengan Lili.

Membalas tatapan bingung kedua orang itu, Rian mengangkat salah satu alisnya dan bertanya, "kenapa? Kalian kaget gue bisa di sini?"

Lili yang tengah berada di depan Rian langsung menoleh saat mendengar suara berat pria itu menyindir Arin. Namun karena tidak ingin ikut campur, Lili segera mengambil tas yang Rian pegang dan membawanya ke sofa.

Berbanding terbalik dengan sikap Lili, Rian berjalan pelan menuju kasur rawat Arin dan membuat perempuan itu menegakkan tubuhnya. "Mas Rian," cicit Arin pelan.

Tatapan tajam Rian beralih pada Angga yang terlihat tak suka dengan kedatangannya. "Lo bisa balik, sekarang ada gue yang jagain Arin."

Angga tersentak kaget mendengar ucapan Rian. Tatapannya beralih pada Arin yang ternyata juga menatap ke arahnya. Dengan wajah melas, Arin berkata, "makasih ya, Ngga. Udah nemenin aku seharian."

Bukannya menahan kepergian Angga, Arin malah mengusir pria itu secara halus dan membuatnya sedikit sedih.

Angga bangun dari duduknya dan mengelus rambut panjang milik Arin dengan perlahan. "Ya udah, aku balik ya. Kalau ada apa-apa kamu hubungin aku aja."

Arin mengangguk pelan sembari tersenyum tipis. Sikap Rian dan Angga memang begitu berbeda. "Iya, kamu hati-hati di jalan ya."

Kali ini Angga yang menganggukkan kepalanya dan perlahan berjalan keluar dari kamar rawat Arin. Saat berselisihan dengan Rian, pria itu tiba-tiba berbicara dan membuatnya sempat berganti sejenak. Gue peringatin ya. Jangan coba-coba deketin Arin. Atau lo bakal tau akibatnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro