18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Jadi, dia siapa?"

Interogasi Ayah Angga yang bernama Gavin pada sang anak sehingga membuatnya terlihat begitu gugup. Arin menunggu Angga menjawab pertanyaan ayahnya dengan mata berbinar tetapi, pria itu terus bungkam dan membuatnya kesal.

Mengambil alih tugas Angga, Arin menyodorkan tangannya dengan semangat kepada Gavin untuk memperkenalkan dirinya. "Halo, Om. Saya Arin, gebetannya Angga."

Ucapan Arin membuat Angga langsung menoleh ke arahnya, pria itu jelas terkejut dengan apa yang Arin katakan. Berbeda dengan sang anak, Gavin malah tertawa geli saat mendengar ucapan Arin yang begitu bersemangat.

"Hahaha, kamu lucu banget sih. Jadi beneran kamu gebetan anak saya?" tanya Gavin yang langsung dibalas anggukan oleh Arin. "Syukurlah, ada yang mau sama anak saya."

Mendengar ucapan yang ambigu itu, dahi Arin mengerut bingung. "Maksudnya Om apa?"

"Angga itu sejak kecil sangat pendiam, sukanya sendirian, nggak punya temen apalagi pacar. Tapi sekarang, tiba-tiba udah punya gebetan aja."

Arin tersenyum malu mendengar penjelasan Gavin. Perempuan itu akhirnya tau bahwa dia adalah perempuan pertama yang dekat dengan Angga dan mungkin akan menjadi perempuan terakhirnya.

Bukan hanya Arin yang malu mendengar ucapan Gavin, sang anak juga merasakan hal yang sama. "Udah ah, Pa. Nggak usah dibongkar gitu. Aku jadi malu."

"Hahaha. Ngapain malu sih, Nak? Lagian, Arin juga perlu tau kan?"

Yang ditanya langsung terkejut dan hanya menanggapi singkat pertanyaan dari Gavin. "Hehe. Iya, Om."

Ketiga orang itu kemudian sibuk berbincang tentang banyak hal. Di sisi mereka, Mila terus memperhatikan walau tidak bisa berbuat apa-apa.

"Besok, Papa mau bawa Mama ke Singapura buat berobat," ucap Gavin di tengah pembicaraannya dengan Angga dan Arin.

"Kok cepet banget sih, Pa," balas Angga seperti tidak rela jika harus berjauhan dengan ibunya.

"Lebih cepet lebih baik, Nak. Papa mau Mama cepet sembuh. Pengobatan di sana juga lebih bagus, kan? Papa yakin, Mama bisa cepet pulih."

Pengertian yang Gavin berikan membuat Angga terdiam dengan tatapan kosong, dia sudah berjanji untuk tidak ikut ke Singapura dan kini dia menyesali janjinya itu.

Keesokkan harinya, Arin ikut bersama Angga untuk mengantar kepergian kedua orang tua pria itu. Angga lebih banyak diam selama diperjalanan dan membuat Arin khawatir. "Kamu nggak pa-pa kan?"

Tangan mungil Arin menangkap kedua pipi Angga sehingga menatap matanya. Di sana, dia bisa melihat seberapa sedih Angga ketika harus mengantar kepergian ibunya untuk berobat.

Mobil ambulan di depan mobil mereka berhenti setelah berada di depan bandara, mobil yang dinaiki Arin dan Angga juga melakukan hal yang sama. Kedua orang itu kemudian keluar dari mobil dan pergi menuju ambulan yang sudah terlihat sibuk untuk mengeluarkan Mila dari sana.

Mata Angga dan Arin terus memperhatikan gerak cepat pihak ambulan yang langsung membawa kasur rawat Mila menuju area dimana perempuan paruh baya itu melakukan check in.

Setelah selesai, Mila terlebih dulu dimasukkan ke dalam pesawat dan Gavin, suaminya menemui Angga juga Arin yang mengantar kepergian mereka.

"Papa sama Mama pergi dulu ya," ucap Gavin setelah menepuk pundak Angga dengan pelan. Mata pria paruh baya itu kemudian beralih pada Arin yang tengah sibuk memperhatikannya. "Om titip Angga ya, kalau dia macem-macem kamu langsung hubungin Om ya. Kamu simpen nomor Om kan?"

Arin segera menganggukkan kepalanya dan membuat Angga menatap heran ke arah kedua orang tersebut. "Kapan kalian tukaran nomor hape?" tanya Angga sembari menunjuk keduanya.

Arin dan Gavin tidak menjawab dan malah tertawa bersamaan. Mereka senang menggoda Angga yang jelas terlihat kesal dengan interaksi mereka. "Kepo banget sih!"

Saat perjalanan pulang, Arin dan Angga sama-sama terdiam di dalam mobil. Keheningan tentu membuat Arin merasa tidak nyaman dan terus memperhatikan Angga yang begitu fokus pada jalanan.

Namun, tiba-tiba pria itu berkata. "Ngapain sih liat-liat."

Arin dibuat cemberut dengan ucapan Angga, setelah mereka kembali bersama sikap pria itu berbeda.

Karena tidak ada tanggapan dari Arin, Angga menoleh ke arah perempuan itu. Ternyata Arin tengah melempar jauh tatapannya ke luar jendela.

Tangan Angga terulur mengusap kepala Arin yang langsung membuatnya menoleh. Mata keduanya bertemu dan Angga tersenyum tipis ke arah perempuan itu. "Nggak usah ngambek gitu dong."

"Lagian, dari tadi diemin aku mulu."

"Ya terus, kamu mau aku ngapain?"

"Ajak aku ngomong!" Arin begitu bersemangat mengungkapkan isi hatinya, dia tidak bisa berlama-lama seperti itu dan Angga tidak mengerti apa yang dia inginkan.

"Ya udah, mau ngomong apa?"

Yang diberi pertanyaan malah terdiam sembari berpikir, dia sendiri bingung ingin berbicara apa. Namun, tetap ingin diajak berbicara dengan Angga.

"Kok lama mikirnya?" tanya Angga lagi yang kembali membuat Arin cemberut.

"Aku nggak tau mau ngomong apa."

"Ya udah deh, kita bicaranya di kamar Rian aja ya. Nih kita udah sampe di rumah sakit."

Arin cukup terkejut karena mereka sudah sampai di tempat tujuan, Rian masih harus dirawat beberapa hari untuk melihat kondisi kakinya. Sebenarnya perempuan itu merasa tidak enak pada Angga. Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang.

"Oke deh."

Dengan tangan yang saling menggenggam, Arin dan Angga berjalan masuk ke dalam rumah sakit hingga sampai di kamar rawat Rian. Saat keduanya masuk, pria itu memberikan tatapan tajam dan Arin langsung menyindirnya. "Tuh mata tajam bener sih, Mas!"

Rian memutar bola matanya malas setelah mendengar ucapan Arin. Perempuan itu sudah tidak takut padanya dan membuat Rian sedikit kesal. "Lo mau buat gue jadi nyamuk di sini?" tanya Rian yang membuat Arin tertawa pelan.

"Kalau Mas jadi nyamuk, pasti Mas cepet matinya."

"Hah, maksudnya?"

"Iya, kan kaki Mas lagi sakit nggak bisa jalan cepet."

Raut wajah Rian berubah masam menanggapi candaan Arin yang sebenarnya tidak lucu. "Nyamuk itu terbang, pake sayap. Bukan pake kaki!"

Menyadari kebodohannya, Arin langsung menepuk dahinya sembari tertawa sendiri. "Eh iya ya. Hahaha."

Angga yang memperhatikan interaksi kedua orang tersebut hanya bisa tersenyum tipis. Dia tau Rian sudah menganggap Arin sebagai adiknya sendiri, tetapi masih ada rasa cemburu di benak pria itu.

"Lo, kenapa nggak langsung balik!" Rian menunjuk ke arah Angga yang langsung terkejut mendengar suara tinggi dari Rian.

Arin yang juga ikut terkejut langsung berdiri di hadapan Angga. "Apaan sih, Mas. Kenapa ngusir Angga!"

"Ya ngapain dia di sini!"

"Dia mau jengukin Mas tau!"

Tangan Angga menyingkirkan tubuh Arin secara perlahan. Pria itu kemudian melangkah maju hingga sampai di sisi kasur Rian. "Sorry kalau selama ini sudah bikin lo kesel. Tapi, gue juga khawatir sama lo. Jadi, tolong izinin gue buat ikut jaga lo ya. Sekalian gue jaga Arin selama di sini."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro