19

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Menjelang kepulangan Rian, Arin menjadi sangat sibuk untuk mengurus data-data pria itu sehingga dia meninggalkan Rian dan Angga bersamaan di dalam kamar rawat tersebut.

Angga yang duduk di sisi Rian menatap lurus ke depan tanpa tau harus melakukan apa. Berbeda dengan Angga, Rian malah melirik ke arahnya beberapa kali. Dia pikir, Angga tidak menyadarinya. Namun ternyata salah, Angga tiba-tiba menegur pria itu. "Kenapa? Ada masalah?"

Wajah Angga menoleh ke arah Rian dan membuat pria itu kelimpungan. "Nggak, nggak ada kok."

"Terus, kenapa lo liatin gue gitu?"

Rian mengganti posisi tidurnya menjadi duduk di atas kasur karena dia ingin berbicara serius dengan Angga. "Gue mau nanya sesuatu deh sama lo."

"Nanya apaan?"

"Kok bisa lo suka sama Arin? Maksud gue, dia kan manja banget."

Menanggapi ucapan Rian, Angga tertawa kecil seakan meremehkan pertanyaan Rian. "Apapun yang lo benci tentang dia, gue suka."

Dahi Rian mengerut bingung, ucapan Angga tidak masuk ke dalam otaknya dan tidak bisa dia cerna. "Hah, maksudnya?"

"Iya, gue suka Arin dengan sikap manjanya. Gue suka Arin dengan sikap manisnya. Gue suka Arin karena semua sikapnya. Dia nggak berusaha jadi orang lain, dia selalu ceria walaupun gue tau gimana hidup dia."

Rian tiba-tiba saja terdiam setelah mendengar ucapan Angga, dia menyadari bahwa selama ini Arin menutupi masalahnya terlebih tentang keluarganya.

"Lo tau tentang itu?" tanya Rian dengan hati-hati dan Angga mengangguk pelan.

"Gue tau semuanya dari Bi Lili. Beliau yang cerita semuanya dan gue pengen, jadi orang pertama yang bisa dia cari kalau dia punya masalah."

Mata Rian memerah, menahan tangisnya keluar. Dia sadar bahwa sejak awal Arin mengejarnya karena membutuhkan perhatian pria itu. Namun, Rian terus menutup matanya dan tidak peduli pada Arin.

"Gue titip Arin ya."

Yang dibicangkan sejak awal tiba-tiba datang dan membuat suasana menjadi canggung. Arin yang baru saja datang terlihat bingung karena Angga dan Rian sama-sama kompak terdiam juga membuang pandangannya.

"Kalian kenapa?" tanya Arin dengan mata yang menatap Angga dan Rian secara bergantian.

Angga terlebih dahulu menoleh dan tersenyum tipis ke arah Arin yang perlahan mendekat. "Nggak pa-pa kok, udah selesai urusan kamu?"

"Iya, udah nih." Arin mengangkat beberapa lembar kertas di tangannya seakan menunjukkan bahwa kertas-kertas itu yang dia urus sejak beberapa jam yang lalu. "Yaudah. Yuk, kita balik."

Arin memimpin perjalanan dengan membawa sebuah tas jinjing di tangan kanannya, tas tersebut kemudian dirampas dari belakang dan membuatnya terkejut.

"Biar aku yang bawa," ucap Angga yang berusaha mengambil tas tersebut. Namun, Arin menahannya.

"Nggak usah, aku bisa bawa sendiri kok. Mending kamu bantuin Mas Rian."

Wajah Angga menoleh menatap Rian yang masih berada di kasurnya. Sebuah kursi roda sudah ada di sisi pria itu untuk dia gunakan pulang.

"Sini lo! Bantuin gue!" panggil Rian yang mau tak mau membuat Angga mendekat ke arahnya. Pria itu membantu Rian hingga dia bisa berpindah tempat dan langsung mendorongnya hingga sampai di depan rumah sakit.

"Tunggu di sini ya, aku ambil mobil dulu," ucap Angga sebelum meninggalkan Rian dan Arin.

Kursi roda Rian kini Arin yang pegangi, dia takut terjadi hal buruk jika tidak dipegang walau kursi roda itu sudah dikunci oleh Angga di bagian bawah.

Tak lama kemudian, mobil putih milik Angga datang dan berhenti di depan Arin dan Rian. Pria itu dengan cepat keluar dan membantu Rian untuk naik ke dalam mobil, setelahnya membantu Arin untuk memasukkan kursi roda juga tas jinjing yang perempuan itu bawa.

"Abis anter Rian, kamu mau aku anter pulang?" tanya Angga di sela kegiatan menyetirnya. Pria itu tetap menatap lurus ke depan karena jalanan cukup ramai. Namun, dia ingin tetap berbicara dengan Arin yang duduk di sisinya.

"Nggak usah, aku nginep di rumah Mas Rian kok. Jadi anter ke sana aja."

Angga cukup terkejut dengan jawaban perempuan itu. Namun, dia menyadari bahwa Arin lebih nyaman jika berada di rumah yang ramai seperti rumah Rian.

"Lo nggak usah cemburu, gue nggak cuman beduaan sama dia," ucap Rian di sela keheningan di dalam mobil mewah tersebut.

Decihan pelan keluar dari mulut Angga, dia dan Rian memang susah untuk bisa bersama layaknya teman. "Iya, iya, gue tau kok."

Sesampai di rumah Rian, Angga kembali membantu pria itu untuk masuk ke dalam rumahnya hingga mengantarnya ke kamar.

Setelah selesai, Arin mengantar Angga hingga sampai di depan rumah Rian. "Makasih ya, Ngga. Udah mau anter kami."

"Iya, sama-sama."

"Hati-hati di jalan, jangan ngebut!" pengingat Arin setelah Angga melangkah pergi meninggalkannya. Perempuan itu terus melambaikan tangannya sampai Angga membalas.

Semu di wajah Arin sudah menjelaskan bagaimana dia jatuh hati pada Angga, pria yang bisa mengerti dirinya.

Saat masih berada di depan rumah Rian, Arin mendengar suara teriakan dari dalam rumah pria tersebut. "Arin!"

Arin yang tau siapa pelakunya hanya dapat menghela napas dan kembali masuk ke dalam rumah Rian. Pria itu memanggilnya dengan suara yang cukup keras. "Apaan sih!" tanya Arin dengan wajah kesal.

"Lama banget sih lo di depan."

"Ya emang kenapa? Aku kan lagi anter Angga."

"Halah, bilang aja lo mau pacaran!"

"Enggak! Aku nggak, eh maksudnya belum pacaran sama Angga," bantah Arin dengan cepat. Dia dan Angga memang belum memiliki hubungan apapun, terlebih lagi mereka sangat sibuk belakangan ini dan mengabaikan hal-hal yang sekiranya tidak terlalu penting.

Setelah sebulan lamanya melakukan terapi, Rian akhirnya bisa berjalan seperti biasanya dan tidak membutuhkan bantuan apapun lagi termasuk Arin yang setia menemaninya selama melakukan terapi.

"Udah sembuh aja, nggak peduli sama aku," sindir Arin setelah Rian memutuskan untuk pergi ke sekolah menggunakan motor padahal dia sudah menjemput dengan sopir yang menunggu di mobilnya.

"Bukannya nggak peduli, gue cuman pengen naik motor lagi," bantah Rian sembari memasang tas ranselnya. Pria itu kemudian mendekat ke arah Arin yang tengah makan dan melayangkan kecupan di kepala perempuan itu. "Gue duluan ya."

"Iya, hati-hati," jawab Arin sembari kembali memakan sarapannya.

Tak lama kemudian, Bela datang dan sedikit terkejut karena hanya ada Arin di meja makan. "Loh, Rian mana?"

"Dia turun duluan, Tan. Naik motor, katanya udah lama nggak naik motor," jelas Arin singkat.

Bela menaruh bawaannya ke hadapan Arin dan duduk di sisi perempuan itu. "Astaga itu anak, baru aja sembuh, sudah mau cari masalah lagi," omel Bela yang diabaikan oleh Arin, perempuan itu fokus pada makanan yang Bela bawa sebelumnya.

"Ini apaan, Tan?"

"Oh itu, itu makaroni keju. Kamu pasti suka. Makan ya."

"Ih, kayanya enak. Makasih, Tan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro