3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dengan badan yang belum sepenuhnya pulih, Arin pulang ke rumahnya. Tubuh kurus itu dipapah oleh Lili sampai ke dalam kamarnya dan berbaring di atas kasur.

"Mbak butuh apa?" tanya Lili yang langsung dibalas gelengan oleh Arin.

"Aku nggak butuh apa-apa, Bi. Aku pengen langsung tidur aja."

"Ya udah kalau gitu, saya tinggal ya."

"Iya, Bi."

Sepeninggal Lili, Arin sibuk membuka ponselnya. Berharap Rian menghubunginya karena mereka belum juga saling berkomunikasi sejak pulang sekolah tadi.

Sayangnya, tak ada satu pesan pun masuk ke dalam ponsel Arin sehingga membuat perempuan cantik itu menghela napas pelan.

Walau terus-terusan dikecewakan oleh Rian, nyatanya Arin tetap menyukai pria tersebut.

Dengan perlahan Arin mengetik sebuah pesan dan mengirimnya kepada Rian. Berharap agar pria itu mau memperhatikannya walau hal tersebut agaknya susah untuk terjadi.

Rian💖
Mas Rian, aku sakit loh. Mas nggak khawatir gitu sama aku?

Tanpa peduli akan respon yang Rian berikan nantinya, Arin tetap mengirim pesan tersebut dan menunggu balasan dari Rian.

Sayangnya, sampai pukul 12 malam, tidak ada balasan yang Arin terima sehingga membuat perempuan cantik itu merasa kantuk.

"Ngantuk banget ih," omel Arin sembari mengusap matanya yang mengeluarkan air mata setelah menguap beberapa kali.

Perlahan, Arin memperbaiki posisi tidurnya agar merasa nyaman. Namun, tangannya tetap memegang erat ponsel berharap jika nanti Rian membalas pesannya, perempuan itu dapat merespon dengan cepat.

Pagi harinya, bukan pesan yang Arin dapat dari Rian. Melainkan suhu tubuhnya yang terasa panas sehingga membuatnya begitu lemah.

Untungnya, Lili dengan cepat memberikan kompres di dahi perempuan tersebut karena Arin terus mengigau. Matanya enggan terbuka padahal Lili berkali-kali memanggil namanya.

"Mbak, Mbak Arin," ucap Lili sembari menggoyang pelan tubuh anak majikannya itu.

Setelah nyaris satu jam dan panas tubuh Arin tak kunjung turun, Lili langsung menghubungi dokter pribadi keluarga Arin dan untungnya dokter tersebut dapat dengan cepat datang.

"Arin kenapa?" tanya dokter pribadi keluarga Arin yang bernama Fatir. Dokter muda tersebut kemudian memeriksa tubuh Arin, mulai dari detak jantungnya, suhu tubuhnya hingga pupil matanya.

"Kemarin Mbak Arin sempet masuk rumah sakit, Dok," jelas singkat Lili yang langsung disela oleh Fatir.

"Loh, kok nggak ada laporan ke saya kalau dia sakit?"

Lili terdiam sembari menunduk takut. "Maaf, Dok. Mbak Arin minta kami untuk rahasiain ini semua."

"Kalian gimana sih, ini semua menyangkut kesehatan Arin. Kalau dia kenapa-kenapa gimana?"

Fatir tidak bisa menahan rasa kesalnya pada Lili, kondisi Arin sekarang sangat membutuhkan pertolongan dan kemungkinan perempuan itu akan kembali masuk ke rumah sakit untuk di rawat.

"Maaf, Dok."

"Nggak usah minta maaf, sekarang kamu siapin baju Arin. Kita bawa dia ke rumah sakit lagi."

Seisi rumah kemudian kembali sibuk karena Arin harus pergi ke rumah sakit. Lili menjadi salah satunya karena harus mengemas beberapa pakaian Arin dan membawanya ke rumah sakit. Hanya perempuan paruh baya itu yang ikut karena memang tugasnya menjaga Arin sejak kecil.

Sesampai di rumah sakit, Arin kembali masuk di sebuah ruangan dan Lili menunggu di luar dengan terus berdoa agar anak majikannya itu tidak kenapa-kenapa.

Butuh waktu sekitar satu jam untuk Dokter Fatir keluar dari ruangan Arin dan selesai memeriksanya. Perempuan cantik itu ternyata terkena penyakit tipes.

"Sudah saya bilang, Arin jangan bersekolah di sana," ucap Dokter Fatir sembari membuka lembaran kertas di tangannya.

Lili yang mendengar hal itu hanya terdiam karena tau maksud dari pria di hadapannya. Arin yang keras kepala memilih untuk sekolah yang Rian masuki, sekolah biasa yang menurut Dokter Fatir tidak sehat sehingga membuat Arin mengalami penyakit seperti ini.

"Saya akan bilang ke orang tua Arin tentang hal ini," ucap Dokter Fatir lagi sebelum pergi. Namun, Lili menahan langkah pria muda tersebut.

"Tapi, Arin suka sekolah di sana."

"Walaupun dia suka, tapi ini menyangkut kesehatan dia," balas Dokter Fatir dengan tegas. Mata tajamnya berhasil membuat Lili terdiam dan melepaskan cengkeraman tangannya.

Fatir menghilang dari pandangan Lili dan membuat perempuan tersebut sedikit kecewa. Dia tau bagaimana Arin begitu berusaha untuk bisa satu sekolah dengan Rian. Namun kini, keinginannya itu bisa hancur dalam sekejap.

Perlahan Lili membuka pintu rawat Arin dan masuk ke dalamnya. Perempuan cantik yang juga anak majikannya tersebut tengah tertidur dengan salah satu tangan yang terpasang infus.

Lili datang dan duduk di sisi kasur Arin. Tangan perempuan itu perlahan mengusap rambut Arin seraya berkata, "semoga cepat sembuh ya, Mbak."

Setelah tiga hari di rumah sakit, Arin akhirnya diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Tubuh perempuan itu masih begitu lemah dan harus terus dijaga setiap saat sehingga Lili memutuskan untuk ikut tinggal di kamar anak majikannya tersebut.

"Bi, Bi Lili," panggil Arin dengan sedikit pelan.

Lili yang tidur di lantai kemudian bangun dan duduk di sisi ranjang, tempat Arin tidur. "Kenapa, Mbak?"

"Mama sama Papa sudah tau masalah kemarin?" tanya Arin yang membuat Lili terdiam. Wajah perempuan paruh baya itu menunduk seakan menjelaskan apa yang tengah dia pikirkan. "Mereka marah nggak?"

Lili mengangguk kecil yang membuat Arin tersenyum kecut. "Jadi, aku bakal dipindahin sekolah?"

Pertanyaan kali ini membuat Lili tiba-tiba mengangkat wajahnya. "Enggak, Mbak. Saya sudah nego dengan orang tua Mbak. Mbak masih boleh sekolah di sana, dengan persyaratan tidak boleh makan dan minum sembaran. Semua akan saya siapkan setiap hari."

Wajah cemberut Arin kini hilang entah kemana setelah mendengar ucapan Lili. Dia benar-benar takut karena akan dipindahkan oleh kedua orang tuanya. Namun kini, Lili kembali menjadi penyelamat baginya. "Makasih ya, Bi."

"Iya, Mbak. Sama-sama."

Beberapa hari tidak masuk sekolah membuat Arin menjadi berita hangat sehingga mendapat tatapan kurang mengenakan. Kini perempuan cantik itu sudah tidak berseragam SMP dan mulai bersekolah karena waktu MOS sudah selesai sejak kemarin.

"Tuh, liat tuh, dia yang kemarin nggak masuk. Pura-pura sakit biar nggak ikut MOS," bisik seorang siswi yang dapat didengar oleh Arin.

Sepertinya mereka sengaja berbicara saat Arin lewat sehingga perempuan itu dapat mendengarnya dan berhasil, Arin merasa sedih saat mendengar gosip tentang dirinya.

Di tengah perjalannya menuju kelas, Arin bertemu dengan Rian yang membuatnya begitu bersemangat. Arin berlari dan memeluk Rian dari samping guna menjelaskan bagaimana perasaan rindunya yang teramat besar. "Mas Rian."

Rian yang terkejut langsung menoleh dan melepaskan pelukan Arin. "Lo ngapain sih!" bentaknya yang membuat Arin terkejut.

"Arin kangen sama Mas Rian," cicit perempuan itu dengan perasaan takut jika Rian kembali membentaknya.

"Apaan sih lebay banget!"

Setelah ucapannya yang terakhir, Rian meninggalkan Arin begitu saja. Namun, perempuan itu langsung mengejarnya walau baru sembuh dari sakit. "Mas kemana tadi pagi, aku jemput kok nggak ada di rumah."

Arin berusaha mengimbangi langkah Rian yang begitu panjang karena memang tinggi badan mereka cukup jauh.

"Bukan urusan Lo."

"Ihh, Mas Rian jahat. Aku kan cuman nanya."

Rian berhenti melangkah yang membuat Arin ikut melakukan hal yang sama. Perempuan itu kemudian berdiri di hadapan Rian dengan wajah mendongak, menunggu Rian mengeluarkan suaranya.

"Mulai sekarang, lo nggak usah jemput gue lagi. Gue bisa turun sekolah sendiri."

"Tapi kan, Mas ... ."

"Nggak ada tapi-tapian, gue bilang nggak usah. Ya nggak usah!"

Arin perlahan menunduk karena bentakan Rian. Dia hanya mau bersama pria tersebut. Namun, Rian sepertinya tidak ingin melakukan hal itu.

"Mending sekarang lo pergi ke kelas lo, gue udah sampe ke kelas gue."

Rian kembali melangkah menuju sebuah ruangan dan kepala Arin bergerak mengikuti langkah pria tersebut sampai tidak dapat terlihat lagi. Kelas mereka hanya bersebelahan. Namun, entah kenapa Arin merasa begitu jauh dengan Rian.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro