dua.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seberapa kalipun dirinya melihat kegaduhan dan kesenjangan yang datang dan pergi di belantara Distrik 18, Eir tidak merasa terbiasa.

Walau termasuk dalam beberapa distrik yang kembali dibangun setelah Perang Arkana Terakhir, Distrik 18 bisa dibilang terlalu ramai bagi Distrik yang dalam masa pulih. Daerah ini memang dulu adalah ruang hijau sekaligus kompleks perdangangan bebas yang aktif terdekat dari daerah kumuh nun di bawah sana (yang lebih Eir akrabi dibandingkan suasana ini). Ada beberapa komplek gedung pencakar langit yang belum selesai di Distrik 18, tetapi itu jauh di belakang, jauh dari hiruk-pikuk pasar, pertokoan, maupun lalu lintas orang yang masuk dari dan keluar pelabuhan maupun stasiun.

Umumnya, para masyarakat menengah ke atas akan menghindari kegiatan di Distrik masa berkembang. Akan tetapi, Eir bisa melihat beberapa orang yang mengenakan topi tinggi atau brokat mewah dengan lambang bunga Iris emas tersemat di dada. Mungkin mereka memang punya urusan disini, entah berdagang atau apalah, bukan urusan Eir. Hanya saja, mengetahui bahwa mereka ada disekitarnya membuatnya cukup muak.

"Ada apa, XII?"

Seperti merasakan keresahannya, Regina berhenti sejenak, menoleh ke arah Eir. Sebelah matanya tertutup oleh poni merahnya yang urakan. Mata cokelat keemasannya melembut, sedikit naik dengan atensi.

"Ah, tidak. Aku merasa hari ini jalanan begitu ramai."

"Ini sudah akhir musim panas, mereka mencari teh murah untuk persiapan musim gugur, mungkin? Kau tahu seberapa mahal teh di daerah yang bernama."

"Aku tidak tahu kalau mereka mau berdesakan dengan masyarakat kelas bawah."

"Begitulah ekonomi, XII. Apa saja akan dilakukan ketika seseorang mengejar harga murah."

Regina terus mengarahkan langkah mereka di tengah kerumunan orang-orang yang tengah sibuk berniaga di tanah gravel tersebut, mencari celah untuk menuju pelabuhan udara.

Jalan besar ini, Gang Meridian, sengaja ditutup dari jangkauan kendaraan karena lokasinya dekat dengan pelabuhan udara dan stasiun kereta api. Setapak tanah gravel tersebut belum sempat dibeton sejak dahulu, tetapi beberapa pedagang sudah sibuk membuka kios mereka dan berjualan dari pagi hingga malam. Lapak mereka berupa kedai gelar di atas tanah menggunakan tikar, maupun kios beratap kayu atau asbes.

Setiap sore akan ada potongan harga untuk bahan-bahan makanan—sayuran, buah-buahan, dan tentu saja roti. Andai mereka sedang tidak dalam misi, mungkin Eir sudah pergi untuk mencari diskon roti hari ini. Tapi, hei! Nanti Regina akan mulai nyengir lebar dan berkata: 'Tuh 'kan, aku benar', dengan nadanya yang sengaja diayun.

Ada yang pernah bilang bahwa pedagang disana menolak tanah tersebut dibeton, atau paling tidak dilapis dengan konblok; tapi Eir tidak tahu alasan jelas mengapa mereka menolak hal tersebut. Mungkin ada aliran kepercayaan di sana yang mengatakan perdagangan lebih bagus di tanah gravel, langsung beralaskan bumi, atau entahlah, mungkin hanya Eir yang berpikir terlalu aneh.

Dia menyamakan irama langkah dengan Regina, sedikit mengutuk mengapa kakinya lebih pendek atau si agen santai itu jalannya cepat. Awalnya, Eir berjalan lebih dahulu, mengetahui kalau Regina pasti akan menyusul dan di detik berikutnya dia akan mendahului Eir. Regina selalu, selalu terlihat santai dan lunglai, tetapi dia akan melangkah lebih cepat, bergerak lebih cepat, memutuskan sesuatu lebih cepat – sebagai junior dan partner, Eir harus bisa mengikuti, atau ia akan tertinggal. Dan tertinggal merupakan sesuatu yang ia benci.

Sesampainya di pelataran pelabuhan udara, sang senior menuju salah satu konter tiket yang buka dan menunjukkan kartu identitas di dadanya. Wanita di belakang kaca segera mengarahkan mereka ke akses terminal 3 - zepelin khusus milik kepolisian untuk transportasi cepat.

Mereka segera naik ke kabin penumpang dan kapal melesat pergi.

"Severa, ya? Bar bernama Hologram."

Regina mengulang, Eir mengiyakan dengan anggukan cepat.

Severa merupakan salah satu daerah bernama, namun tidak terlalu jauh dari Distrik 18. 'Beda setingkat', kalau menurut orang-orang perkapalan, Severa sudah hampir dekat dengan perbukitan tambang mineral terkenal di kontinen Medea. Sekitar lima belas menit dengan zepelin, bisa satu jam dengan kereta.

Mereka memutuskan tidak ikut duduk di kursi penumpang bersama polisi-polisi lain, cukup bertengger di pagar dekat pintu untuk menunggu waktu. Toh, Eir juga tidak suka pandangan sinis para polisi saat melihat agen Arkana. Tidak banyak tempat kosong tersedia di zepelin milik polisi karena zepelin ini dikhususkan untuk transportasi cepat polisi dan agen atau senjata dalam jumlah tertentu. Hanya ada satu kabin penumpang dan area kokpit, terpisah dengan sebuah sekat alumunium.

"Kita mendapat laporan dari agen di sana bahwa ada perdagangan ilegal sebuah artifak," tukasnya. "Karena disinyalir ini adalah barang yang mengandung unsur magis berbahaya, penyelidikan jatuh ke ranah Arkana."

"Padahal polisi biasa juga bisa menangkap mereka," ungkap Regina datar.

"Mereka ini kelompok mafia di Severa, IX."

"Ohh, Borscht!" Regina menyimpulkan dengan sedikit ketertarikan di wajahnya. Sangat sedikit. Cuma sedikit seringai di ujung bibir, kemudian turun, kembali ke mukanya yang selalu lesu.

"Tidak sekedar 'oh', mereka cukup aktif di Severa-"

"Ya, kelas teri."

"IX, ingat kalau kita tidak ingin mengundang masalah?"

"Tenang Eir, kita cuma sekedar menguping~"

Sekedar ndasmu. Kita berjalan ke tengah-tengah sarang mafia, tahu.

Regina menepuk bahunya sekali, telunjuk kanannya mencocok ke arah dahinya. "Dari kerutan di dahimu, tampak kamu tengah berkata kasar, nona."

"Tolong jangan baca pikiranku, Hermit."

Si wanita yang lebih tua terkekeh. "Maaf, tapi itu bagian dari CV-ku."

Terkadang, Eir bingung kenapa respeknya untuk sang senior muncul, terutama ketika dia sedang bercanda, malas, atau jahil. Pengalaman bertarung dan piawainya memang tidak dapat dipungkiri, ya, andai saja Regina bisa lebih serius sedikit.

Tapi, eh, Eir tidak keberatan menghadapi seseorang seperti Regina.

[Senyumnya terkembang sedikit seraya ia membuang pandang ke arah jendela di belakangnya, Severa sudah di ujung mata.]



Ini bukan kali pertama Eir datang ke bar saat sore temaram, tapi terkadang Eir sedikit menyesalkan bahwa dia tidak bisa datang ke sana untuk memesan minuman selain air putih atau jus jeruk. Eir sama sekali tidak suka dengan keberadaan alkohol. Hanya, para bartender bisa dengan mudah menebak umurnya, dan Eir tidak menyukai hal tersebut.

Ia tidak penasaran dengan rasa alkohol atau apa yang terjadi setelah seseorang minum terlalu banyak; ia tahu banyak orang-orang pengangguran dan bodoh di Slum-A yang sering mabuk-mabukan dan tidak kenal waktu. Mereka bisa saja mencuri dari anak-anak yatim-piatu, memaksa mereka untuk memberi uang untuk membeli lebih banyak bir. Tidak semua anak di Slum-A mudah mendapat pekerjaan, walau mungkin ada beberapa orang yang berbelas kasih untuk memberikan sepotong roti. Tidak sedikit juga dari mereka yang hidup dengan jalur mencuri.

Bukan saatnya untuk berpikir soal itu, kamu harus fokus, Eir. Ucapnya dalam hati.

Bar Hologram merupakan salah satu diantara banyak bar di daerah tersebut. Dekat dengan pelabuhan udara, Hologram menarik banyak pendatang untuk menikmati minuman seraya beristirahat sejenak dari suasana kehidupan kota yang dinamis. Tidak ada suara absen antara dentingan gelas yang digantung di meja bartender, begitu juga dengan botol-botol langsung yang selalu bergulir sesuai pesanan. Citra bar itu tampak berkelas dengan pernak-pernik kaca sebagai pemanis meja. Tong-tong wine kosong dipajang di dinding sebagai pembatas antara meja standar dan ruang VIP. Hologram tidak memiliki lantai dansa atau bola disko, menjadikannya mirip dengan restoran bintang lima secara umum, walau harga yang ditawarkan untuk minuman di sana adalah level menengah.

Target mereka duduk di kolom VIP tepat di sebelah konter utama bar, empat kubikel dengan kursi berupa sofa panjang yang jauh dari keramaian meja-meja kecil atau musik dari pengeras suara di dekat pintu masuk.

Regina menyuruh mereka untuk berpencar, karena walaupun bar tersebut cukup kecil, ruangan satu lantai itu terbagi atas sisi barat dan sisi timur, dengan meja utama bar di sebelah utara. Ada dua pelayan yang mengantarkan minuman ke meja-meja di hamparan ruangan, dan mereka akan bergilir menanyakan untuk tambahan minuman ke para patron setiap sepuluh menit sekali. Regina akan mengamati sisi utara dan timur, sementara Eir dipercaya untuk mengawasi barat dan pintu masuk di selatan.

Kelompok mafia Borscht merupakan keluarga kecil yang cukup berpengaruh di Severa. Menurut informasi yang Eir sempat cari sebelum misi berlangsung, bar Hologram ini adalah salah satu bagian dari daerah kekuasaan mereka. Walau kecil, Borscht diakui karena memiliki deretan penembak jitu yang handal. Eir menemukan nama mereka aneh karena Borscht tidak mengandung unsur mafia tapi rasanya itu aneh untuk diangkat sebagai sebuah topik.

Memang, dengan segala perlakuan eksklusif itu, Eir maupun Regina tidak dapat mendekati kubikel tersebut, namun mereka bisa memasang alat penyadap di troli sampanye yang digunakan para pelayan. Kembali lagi Eir harus mengingatkan mereka berdua sebelum masuk ke bar bahwa mereka hanya menguping. Tidak akan ada baku tembak, tidak akan ada apa-apa. Sekitar dua jam apabila tidak ada pembicaraan soal artifak, mereka akan pergi.

Regina bisa bilang mereka kelas teri, entah karena wanita berambut merah itu punya pengalaman dengan mereka sebelumnya atau sekedar mendengar dari mulut ke mulut. Eir berusaha untuk tidak terlalu tegang karena mereka berhadapan dengan 'mafia' yang dengan legal (atau bahkan tidak?) dibekali senjata, bukan masyarakat sipil biasa yang melanggar aturan hukum.

"—kami membawa gelang ini sebagai bagian dari negosiasi, bos." Eir segera terkesiap di tempat duduknya. Jemarinya mulai mengetik di layar ponsel poin-poin penting yang akan terucap. "Gelang ini kudapat dari Lelang, harganya-"

"Sebentar. Jaga mulutmu." Suara laki-laki yang lebih berat menghentikannya. "Ada penyusup di bar ini. Anjing polisi."

Matanya membulat, secara refleks Eir mencuri pandang ke arah punggungnya, melirik kubikel yang tak terlihat dari sudut pandangnya. Para mafia itu berbisik, ramai, hampir tidak terdengar pembicaraan yang tengah mereka bagi saat ini.

Saat itulah suara tembakan melesat ke arah atap. Para pengunjung yang semula menikmati minuman mereka segera berhamburan mencari pintu keluar. Beberapa mafia berkemeja merah segera mengamankan pintu, melarang semua yang berusaha untuk pergi tetap di tempat. Tembakan berikutnya juga bersarang ke atap: peringatan, atau gertakan asap untuk memancing mereka keluar dari persembunyian.

Empat orang menjaga satu-satunya pintu keluar. Lima orang keluar dari kubikel dengan pistol di tangan. Tidak ada senapan. Ruangan sekecil ini dengan jumlah jendela yang sedikit tidak akan memungkinkan campur tangan penembak jitu. Para patron yang terpaku di meja mereka masing-masing hanya bisa mengangkat tangan dengan pasrah, begitu juga dengan kerumunan yang memenuhi arah pintu keluar.

"Keluar kalian, anjing!" sahut si pemilik suara serak. Topi fedoranya dinaikkan sesaat dia mengedarkan kontak matanya ke arah pelataran bar. Dari titik tengah ruangan itu, ia bisa dengan mudah menembak siapa saja yang bergerak. "Atau akan ada orang yang tidak berdosa terpaksa mati karena ulah kalian!"

Trik sandera, sangat efektif untuk mengeliminasi pilihan mereka untuk kabur. Eir mendecih sebelum ia berdiri, Regina telah berjalan ke arah mereka dengan kedua tangan diangkat. Pria tegap yang lebih tinggi dari Regina dengan fedora putih maju, ia menenteng sepuntung rokoknya dengan sebelah tangan. Seringai puasnya saat ia bertemu mata dengan Regina membuat Eir mual.

"Nona-nona, ini bukan tempat anak kemarin sore bersantai." Alih-alih kata-kata tersebut adalah candaan, pria lain tertawa terbahak-bahak. "Tidak kusangka kalian ini anggota kepolisian. Heh, kalian terlalu muda untuk ini."

Alis Eir mulai berkedut, tidak ada aba-aba dari Regina selain tetap menaikkan tangan dan memperhatikan gerak-gerik kelima orang di hadapan mereka, mencari celah. Di belakang mereka, para bartender tampak bersembunyi di balik meja bar, sesekali melirik ke arah mereka berdua, meminta pertolongan.

Si fedora putih menunjuk ke arah Eir, pria yang ada di sampingnya mendekat dan mengarahkan moncong pistolnya di bawah dagunya. Manik Eir menyipit sinis, sayang itu hanya membuat si mafia tertawa. Ada keinginan di benaknya untuk meludah di wajah pria itu, tapi itu tidak akan bagus nanti bila masuk ke laporan tugas.

"XII."

Regina memanggil namanya dengan tegas. Salah satu kroco juga mengarahkan pistol tepat di dahi Regina sesaat dia berbicara kode itu. Eir melihat dari sudut matanya bahwa Regina sama sekali tidak terdampak dari gertakan itu, maupun dalam hitungan detik bisa saja si mafia menekan pelatuk.

Perintah dari Regina selalu sederhana; kabur bila mereka tidak punya pilihan, dan hajar ketika mereka punya pilihan.

Di saat seperti ini, mereka punya banyak pilihan: dan mereka tidak akan membiarkan barang bukti di hadapan mata lenyap begitu saja.

Kaki Eir mengayun kencang, keras menendang mafia di hadapannya tepat di sela selangkangan, titik buta yang sangat mudah dijangkau. Pria tersebut mengerang, jatuh ke pangkuannya dan Eir dengan mudah mengambil pistolnya dari genggaman sebelum pria tersebut pingsan. Pistol tersebut dia tidak gunakan untuk mengambil satu tembakan, melainkan ia melemparnya ke wajah 'bos' mereka, dengan efektif membuat cengiran pria tersebut memudar. Paling tidak itu cukup mematahkan batang hidungnya.

"Cewek sialan!"

Eir tidak perlu menghawatirkan Regina, karena partnernya itu selalu selangkah di depan. Pria yang tidak mengurus bosnya yang tumbang itu berlari ke arah Eir, namun Regina sudah di sana untuk memelintir tangannya. Satu lagi pistol mereka hancur beserta dengan tulang pemegangnya. Eir tidak perlu memeriksa dua kali apakah pria yang tadi menekan Regina sudah diatasi atau belum; mereka sudah menumpas empat dari lima.

"XII, pintu masuk. Biar aku ambil barang bukti dan bereskan si bos."

"Roger."

Pemilik surai biru itu meraih tongkat yang ia semat di samping 'tabung' kesayangannya. Jantungnya berdegup, adrenalinnya memuncak. Waktunya telah tiba.

"Jangan kasar-kasar, ya. Selena tidak akan senang kalau ada banyak tagihan penggantian kerusakan."

"Kuusahakan, IX."

Keempat pria yang tadi menjaga pintu masuk segera mengerumuni Eir, para pengunjung yang sempat tertahan kini melimpah ruah untuk pergi, meninggalkan masalah di bar hanya untuk ia dan Regina.

Polisi akan datang dalam waktu dekat, mungkin, apabila bartender dan karyawan akhirnya mampu untuk menekan tombol darurat atau menelpon nomor pengaduan. Akan tetapi, masalah di tempat ini harus diselesaikan terlebih dahulu.

Empat pria ini punya pistol, Eir harus berhati-hati agar peluru itu tidak mengenai dirinya saat dia memangkas jarak. Tentu, mereka tidak akan menembak sekaligus karena dapat membahayakan rekan mereka di sampingnya, atau mereka berprinsip berani mati.

Eir melompat, menerjang mafia yang paling tengah, tendangannya ia arahkan ke dada. Menggunakan pria tadi sebagai pijakan, ia mengedarkan tongkat apinya untuk menolak tiga pria lain yang mendekat, satu peluru yang ditembak ke arahnya hangus karena api.

"Monster! Dia monster!"

Gadis itu tidak perduli. Memanfaatkan tingginya dan lantai bar yang licin, ia menjegal kaki mafia di kanannya, membuatnya terjatuh dengan keras menuju lantai. Pria di kanan menembak, hanya untuk menjadi lubang di lantai kayu sesaat dia bertolak untuk melayangkan apinya ke pria ketiga. Topinya yang terbakar membuatnya panik, kesempatan bagi Eir untuk melayangkan pukulan ke arah dagu, membuat sang pria sukses terjungkal.

Tembakan berikutnya dari pria terakhir melucuti tongkatnya dari pegangan. Pria itu tersenyum penuh kemenangan sesaat dia bersiap untuk melayangkan peluru berikutnya, kini ke arah kepala si gadis kecil. Naas, Eir dengan mudah menangkap peluru tersebut, dengan kepalan tangannya yang diselimuti api. Hal terakhir yang dilihat pria itu sesaat peluru yang semula utuh tertinggal menjadi abu di genggaman jemari kecil itu adalah genggaman yang sama melesat cepat dan tepat di wajahnya. Mafia terakhir yang di lawan Eir tersungkur ke arah rak berisi tong-tong anggur.

"Kau kira aku butuh tongkat untuk melayangkan apiku? Pemikiran naif." Eir menghela nafas seraya meraih kembali tongkatnya dari lantai.

Sementara, Regina sudah kembali duduk di pelataran bar, seonggok bos mafia dan kroconya ada di sebelah kakinya. Bar utama agak berantakan, lebih berantakan dari terakhir tadi Eir memerhatikan. Banyak sekali pecahan kaca di sekitar konter. Gelas cocktail di tangan kanan dan sebuah kotak dengan sampul kulit yang tampak mahal di tangan kirinya. Eir tak pelak menaikkan alis, namun ia mengikuti Regina untuk duduk di kursi tinggi. Sang senior kemudian menyerahkan kotak itu untuk Eir simpan.

"Cocktail  itu gratis?"

"Ini cuma air putih. Tapi mereka kehabisan gelas karena si bos tadi terbang ke arah rak gelas."

"Oh." Eir membetulkan jaketnya. "Jadi, kita tetap harus menunggu polisi datang untuk memberi kesaksian?"

Regina tersenyum simpul, jaket hitamnya menggantung santai di bahunya. Ia menyisir surai merahnya dari menutupi dahi dan matanya. "Tentu, atau mereka bisa saja mengira kita menghancurkan bar orang untuk senang-senang."

Eir melihat sekeliling mereka; rak gelas hancur, lantai berlubang, tembok berupa tong-tong wine ambrol, sembilan pria dewasa tidak sadarkan diri dengan berbagai luka yang terdiri dari patah tulang, mungkin dislokasi otot, dan lain-lain. Habis sudah harapannya untuk tugas ini sebatas menguping dan pergi; Eir menyandarkan kepalanya diatas kedua tangannya yang melipat di meja, ia tidak tahu harus senang bahwa tebakannya lagi-lagi benar atau sedih bahwa tebakannya memang benar.

Tampak telah membaca pikirannya, IX menepuk bahunya beberapa kali.

"Yang sabar, ya. Selena juga pasti akan menggeleng-gelengkan kepala mendengar hal ini di laporan kita."

"Sudahlah, IX." dengusnya.



Ketika mereka kembali ke Distrik 18, waktu telah menunjukkan pukul 1931. Telat satu jam dari janji mereka untuk 'kembali sebelum petang'.

Interogasi polisi berlangsung alot dan lama, seperti biasa. Menjadi agen Arkana bukan berarti mereka dengan enak berstatus sama dengan polisi atau agen-agen keamanan rahasia lain. Perlu hampir lima belas menit untuk kru polisi memeriksa tanda pengenal mereka. Untung saja ia membawa surat perintah yang dicap dari Selena untuk jaga-jaga, atau mungkin mereka akan tertahan di sana hingga tengah malam karena menunggu.

Arbitrasi dengan polisi untuk urusan magis berlangsung lambat, belum lagi kalau polisi-polisi tersebut tidak percaya dengan keberadaan agen ekstra pemerintah seperti mereka. Zaman memang sudah canggih dengan perputaran informasi yang dapat berangsur dalam hitungan detik, tapi mungkin itu juga-lah yang membuat unsur-unsur 'mejik' terasa sangat ketinggalan. Rata-rata dokumen yang ada hanyalah rekaman-rekaman lama yang tidak pernah diperbaharui selama lebih dari tiga dekade, berbeda dengan kalau mereka mencari tentang esper, kejahatan siber, atau perkembangan pesawat ulang-alik terkini.

Pengawalan yang remeh soal benda-benda magis yang terbilang tua dan ketinggalan zaman memang mengundang tingkat kejahatan tinggi. Siapa sih, yang tidak mau memiliki kekuatan besar dengan cara-cara mudah dan hampir tanpa biaya seperti sihir?

Distrik 18 ketika malam adalah saat di mana orang-orang yang sibuk bekerja di siang hari mulai berpesta. Memang bukan seperti 'pesta' bergelimang makanan dan hal-hal indah lainnya layak kalangan menengah atas, sekedar merayakan keberhasilan kerja hari ini dengan minum bersama atau berdansa di lapangan utama. Tidak ada hal-hal eksesif. Hanya bersenang-senang. Distrik ini bukanlah Slum-A yang memasuki jam malam dan jalanan mulai dipenuhi dengan copet, pemabuk, dan hal-hal tidak menyenangkan lainnya.

Eir merogoh kedua saku jaketnya seraya ia mengikuti Regina, menikmati kedamaian malam selepas misi untuk sedikit menepis rasa lelahnya. Lampu kerlap-kerlip menghiasi pohon ke pohon, lampu tinggi nan temaram, plang dengan lampu neon menyala garang, gang-gang sempit di jalanan konblok yang diisi riuh-ramai kota.

Seperti sengaja menunggunya untuk mencairkan suasana kepala, langkah Regina memelan. Kini, mereka berjalan beriringan sambil mata memandang kanan dan kiri. Hanya distrik yang damai, tidak ada selintas haru-biru melekat, tidak ada bahaya yang mengikuti mereka dari bayang-bayang kota.

Mereka sampai kembali di depan pintu kantor cabang SPADE setelah menaiki elevator. Lantai teratas di sana adalah lantai empat, masih ada tangga selusur di sisi belakang bila mereka mau naik untuk menikmati angin malam di atap. Selena kadang ada di sana untuk merokok, si bos adalah satu-satunya yang merokok di ruangan itu. Eir juga kadang mencari angin segar di sana, bersyukur belum banyak gedung bertingkat selesai dibangun di Distrik 18. Ia masih bisa melihat lautan cahaya dari daerah pemukiman yang berada di sekitaran bukit, atau melihat mobil melaju kencang di jalan tol layang, pemandangan yang cukup indah buatnya.

"Selamat datang. Kalian datang tepat waktu."

Yang menyambut mereka sesaat Regina mengetuk pintu kantor cabang SPADE adalah pemilik surai gelombang coklat karamel sepunggung. Di balik bingkai kacamata hitamnya, manik amber berkilap tertimpa cahaya lampu gantung besar di tengah ruangan. Kursi rodanya berderit sejenak ia minggir untuk mempersilahkan Eir dan Regina masuk.

"Malam, Kellan. Di mana Ann dan Selena?"

"Masih mempersiapkan makan malam,"

Kellan Kiesling menjawab. Ia mendorong kursi rodanya ke arah meja utama, sudah ada empat cangkir dan satu teko teh transparan di sana. Eir tidak hafal tentang jenis-jenis teh, namun wangi teh malam ini sangat menenangkan. Dengan refleks, Eir segera membantu Kellan di kursi rodanya, membawanya pelan menuju sofa. Kellan selalu, selalu akan memberinya senyum tanda terima kasih. "Kami datang agak telat dari jadwal, sehingga kebetulan kami ke pasar di waktu padat."

"Biar aku bantu mereka di dapur-"

"Tidak usah, Eir." Kellan menaikkan tangannya. "Anne sedang lumayan bad mood  hari ini, biarkan dia masak bersama Selena."

"O-Oh."

Regina yang duduk terlebih dahulu di salah satu kursi berlengan segera menuang teh untuk mereka bertiga. Ia menanggalkan jaketnya, melipatnya dengan sembarang di sebelahnya sambil ia menghela nafas panjang, membiarkan dirinya ditelan empuknya sofa. Eir mengambil sisi tengah dari sofa panjang, biasanya partner Kellan akan duduk di sisi pinggir kanan, tepat di samping kursi roda Kellan.

Sebenarnya, acara makan malam ini tidak terjadi setiap saat. Apabila Selena sedang ingin membuat sesuatu sekaligus menyalurkan hobi masaknya, ia akan mengumumkan bahwa siapapun yang sedang tidak sibuk di malam itu dapat ikut untuk makan malam. Segalanya gratis. Rasanya juga terjamin. Plus, menghemat pengeluarannya untuk makan di hari itu dan hari sesudahnya kalau-kalau ada sisa yang masih bisa dihangatkan untuk esok pagi.

Sebuah nikmat untuknya yang numpang tinggal di pelataran kantor.

"IX, jangan tidur sebelum makan malam."

"Heh, siapa juga yang bakal tidur sebelum makan~" Ia nyengir. Kaki kirinya dinaikkan untuk bersilang di atas kaki kanan, seperti bos besar di hadapan muka bawahan. Sangat tidak senonoh mengingat ia mengenakan rok dengan belahan di samping, tapi tentu dengusan Eir tidak dia dengar.

"Kalian kena masalah lagi hari ini, kah?" ujar Kellan. Eir hampir saja menjatuhkan cangkir yang ia berikan ke pemegang Arkana nomor I itu.

"K-Kok bisa tahu, nona!?"

Ia menaikkan kacamatanya, dagunya dinaikkan. "Tentu! Berita daring sore ini ramai karena hal itu!"

Eir melirik ke arah Regina, yang dengan bangganya tertawa puas. Artinya, sang bos sudah tahu akan ada tagihan kerugian materil menyambangi surel kantor. Selena tidak pernah marah; ia cuma akan menegur dengan nada ramah, dan mungkin akan ada angka minus di slip gaji mereka bulan ini.

"Malam ini kita makan Borscht!" sahut Selena dari arah dapur di tenggara, seraya membawa semangkuk besar yang masih mengepul.

Eir tak pelak tertawa kering, untung saja sudah ada Regina yang mewakilinya.

"Kamu senang bercanda, ya, Sel."

"Tentu saja, sayangku. Toh kalian berdua yang memulai candaan dengan menghancurkan sebuah bar." Ia mengedip. "Mengalahkan Borscht dan kemudian makan Borscht, hari kalian telah lengkap."

Tepat di belakang Selena, sesosok wanita muda bersurai abu-abu menghela nafas panjang. Di tangannya ada alat-alat makan, manik toskanya melipir sejenak ke arah meja tengah yang mulai Eir bersihkan dari barang-barang untuk Selena menaruh mangkuk penuh Borscht. Sesuai dengan apa yang Kellan beritahukan baru saja, Eir seperti dapat melihat aura hitam di sekelilingnya.

Eir tidak terlalu mendengar lanjutan Regina dan Selena mulai bertukar sarkasme sambil menikmati teh, ketika Anne Anantika Sfortz menata alat makan dengan rapi di atas meja, kembali menarik nafas teratur, sebelum ia mengambil tempat duduk di sofa yang dekat dengan kursi roda Kellan. Kedua tangannya yang lentik terbungkus oleh sarung tangan separuh, terlipat rapi di pangkuan setelah ia meluruskan bagian gaun terusan panjang berwarna krem miliknya sebelum duduk dengan anggun.

Satu kata meluncur dari bibirnya, kontras dengan matanya yang sayu dan bersahabat, "Keparat."

Eir merasakan ngeri dan dingin mengalir ke ujung-ujung tubuhnya.

"Anne? Eir ketakutan, tuh."

Kellan menepuk pundaknya, dan seakan-akan itu adalah seember air untuk membangunkannya, Anne segera meluruskan punggung. Nadanya yang semula tajam kini melembut. Ia mengulas senyum ke arah wanita di atas kursi roda tersebut—sebuah tanda terima kasih yang tak tersirat, mungkin.

"Oh! Maafkan aku, Eir. Apakah aku sudah lancang?"

"Te, tenang saja N-Nona Anne. Ini bukan yang pertama kali! Tenang saja!" Eir menggeleng cepat. Tapi tetap saja seram, bisa ia menambahkan. Kellan di sebelah Anne sekedar terkekeh.

"Tadi sedang ada masalah di keluarga utamaku, jadi aku-"

"S-Sudah Nona Anne! Aku mengerti kok! A-Aku tidak terlalu ingin dengar cerita-cerita seram tentang pembunuhan di-"

"Tapi kamu penasaran, 'kan, Eir?"

"Ja, jangan sebelum makan, tolong!"

Beberapa agen Arkana memang adalah anggota kaum menengah atas dan yang memang di atas, menganggap keanggotaan Arkana dan menumpas kejahatan adalah bagian dari noblesse oblige. Kaum atas juga memiliki resonansi baik dengan kekuatan Arkana, sehingga banyak dari mereka yang dengan mudah terpilih menjadi agen. Hanya ada satu pemegang kekuatan kartu Arkana major; dan mereka adalah orang-orang yang disebut sebagai 'terpilih'.

Kellan Kiesling, pemegang Arkana nomor satu, Magician, dan partnernya, Anne Anantika Sfortz, pemilik Arkana nomor enam, Lovers; keduanya memang tampak seperti nona-nona golongan kaya yang tinggal di daerah bernama yang tinggal menjentikkan jari untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Akan tetapi, mereka berdua adalah salah satu pasangan agen Arkana yang cukup terpandang di dunia kepolisian.

Kellan dan Anne mungkin merupakan golongan orang-orang borjuis yang Eir benci, akan tetapi mereka adalah pengecualian. Nona Kellan adalah orang 'normal' – ia datang dari daerah netral entah di selatan kontinen Medea atau entah dari mana. Di sana, tidak terlalu banyak aturan mengenai kasta keluarga, walau sesuai hierarki yang sudah ada, para 'normal' tetap dianggap setara dengan keluarga-keluarga kelas atas, terutama dengan para keluarga nigrat yang memiliki tiga kata pada nama mereka.

Dan, ya, Nona Anne adalah golongan tersebut. Dan satu lagi kata ya untuk dinamika mereka yang seakan terlihat seperti Kellan ada di tingkat yang lebih tinggi. Mereka adalah setara. Mereka adalah partner yang memiliki ikatan kuat. Mereka adalah Satu dan Enam yang menjadi sorotan di deretan agen-agen Arkana yang aktif.

"Tolong ambilkan Borscht untukku, Eir." pinta Regina. Sementara dia dan bos sudah mulai bertukar kaleng bir dari kulkas.

"Jangan terlalu mabuk, nanti kantor bau bir—aku nggak bisa tidur tenang."

"Santai, sekaleng aja. Kubuang ke luar nanti saat aku jalan balik." balas Regina ringan.

"Ah iya. Tadi selimutmu yang kamu jemur di dekat balkon sudah kuambil dan kulipat." sambung Anne. Mata Eir membulat. "Sebelum kamu bilang kalau kamu merepotkan, tidak, tidak sama sekali. Kamu sudah bekerja dengan baik hari ini."

"Terimalah kebaikan Anne, Eir." Kellan menambahkan.

Tunggu! Tidak semudah itu! Bisa-bisanya dia (tanpa sengaja) menyerahkan kerjaannya ke seorang konglomerat kaya! Apa ia tidak akan ditangkap polisi sebentar lagi!? - Keringat dingin meluncur di tengkuknya. Walau ini bukan kali pertama itu terjadi, Eir selalu tidak merasa enak hati.

"Ann, dia merasa bersalah tuh."

"Kenapa kamu harus baca pikiranku terus sih, IX!?"

Sungguh, orang-orang yang seharusnya terasa 'jauh' karena status ningrat mereka ini, malahan terasa aneh bin ajaib.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro