1. DOUBLE NGESELIN!!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kia gusar setelah menerima telepon dari papanya-Ryan Sudirja. Benar-benar tidak ada ruang sedikitpun baginya. Lulus kuliah bisnis dengan waktu lebih cepat, rupanya belum memuaskan Ryan. Kia diberi mandat langsung mengelola kafe yang dibeli dari temannya. Alasannya sih, pemiliknya pindah ke luar negeri dan kafenya akan ditutup. Itulah kenapa Ryan langsung membeli tanpa pikir panjang.

"Ada apa, Bos K?" Ina sang asisten merangkap kasir mendekati bos yang tampangnya berubah murung.

"Biasalah, Papa mau datang mengecek kafe seperti biasa. Gue bingung, Na, ilmu sekolah bisnis gue kayak nggak ada gunanya. Kafe malah makin sepi. Menurut lo?"

Ina sendiri sudah mencoba promosi dengan berbagai cara. Bahkan konsep kafe pun pernah dia coba ubah. Tetapi belum berhasil. Pengunjung seperti mudah bosan dan tidak datang lagi.

"Gimana ya, Bos, saya sih sudah coba usaha. Tahu sendiri kan, sosial media udah, bahkan nyebar brosur juga."

Kia tahu asistennya itu bisa diandalkan. Tetapi mereka sama-sama sadar kalau dunia kopi belum sepenuhnya mereka kuasai.

"Bos, ada pelanggan yang datang. Nanti kita lanjut lagi, ya." Ina segera menuju kasir untuk menemui pelanggan.

Kia menyadari dia memang tidak suka bisnis. Kalaupun harus punya usaha dan mencari keuntungan, dia memilih dunia seni lukis.

"Jadi, owner kafe kerjanya cuma melamun di ruangan." Suara Ryan Sudirja mengagetkan Kia. Nadanya seperti biasa meremehkan dan tak menganggap usaha yang sudah dilakukan Kia.

Di belakang Ryan menyusul Ina dengan wajah menyesal dan merasa bersalah. Kia mengangguk dan tersenyum tipis. Ina menutup pintu dan kembali ke depan.

"Kebetulan saja, Pa." Kia hendak mempersilakan Ryan duduk. Tetapi sebelum dia lakukan Ryan sudah duduk dengan angkuhnya.

Bisa ditebak Kia selanjutnya apa yang terjadi. Serentetan komplain diutarakan tanpa bisa dijeda. Kia tidak tertarik juga mau melakukan pembelaan. Toh, kenaikan omset saja masih dinilai kurang, karena target Ryan terlalu muluk-muluk bagi Kia.

"Kamu kuliah berapa tahun, Kia? Dipake dong, ilmunya. Adain perubahan supaya bisa menarik minat banyak orang."

"Iya, Pa. Kia akan ubah konsepnya lagi."

"Jangan cuma niat, kalo kamu nggak gerak buat apa?"

Bla bla bla dan menyusul kalimat-kalimat yang makin memojokkan. Satu kalimat dari Kia dibalas dengan berpuluh halaman kalimat. Isinya apa lagi kalau tidak masa lalu yang membuat perempuan itu harus mengingat semua kebaikan Ryan.

Kalau sudah begitu Kia harus tahu diri. Dia tidak berhak bahagia, hidupnya harus dihabiskan untuk membalas budi dan berterima kasih pada orang tua angkatnya itu.

"Papa nggak akan kasih kamu batas waktu atau apa pun itu. Sudah cukup, mungkin sekarang kamu yang harus pasang target sendiri kapan kafe ini harus menghasilkan rupiah yang banyak. Ingat, Papa nggak mau rugi."

Kia cemas, Ryan bukan memberi kelonggaran, melainkan ancaman tersembunyi. Kalau sampai belum ada pergerakan, Ryan bisa lakukan apa saja. Termasuk perjodohan, dan menyisir semua lukisan di galeri lalu membuangnya ke laut.

Kia takkan sanggup menerima fakta kalau anak-anak kanvasnya dibuang. Lukisan itu seperti nyawa keduanya. Rumah tempatnya pulang.

***

Kafe sudah tutup, dan seperti biasa Kia jadi orang terakhir yang meninggalkan tempat. Langkahnya sedikit gontai, hari ini berlalu dengan membosankan sekaligus lelah. Malam itu dia hanya ingin sampai di apartemen dengan cepat dan selamat.

Mobil melaju dan seketika membaur dengan lalu lintas kota yang cukup padat. Sampai di area pujasera tak jauh dari gedung apartemen, mengingatkan Kia kalau perutnya masih kosong. Dia melewatkan makan siang, dan cuma minum kopi. Pantas saja perutnya protes keras.

Setelah parkir mobil aman, Kia memilih warung tenda penjual pecel ayam. Sudah lama dia tidak makan menu itu. Kalau Ryan melihatnya saat ini, pasti disuruh keluar dan pindah tempat makan.

"Mas, pesan ayam paha bawah dua, sama nasinya satu porsi, ya."

"Siap, Mbak! Silakan ditunggu!" Warung tenda itu dikelola dua orang pria muda. Mungkin usianya tiga atau empat tahun di bawah Kia.

"Mbak, mau minum apa?"

Kia menoleh dan sempat terdiam sejenak. Cowok ini tampan juga, mentalnya keren, ganteng-ganteng mau jualan di tenda pinggir jalan.

"Mbak?" Ulang cowok tadi.

"Oh, minta air mineral dingin, aja!" Kia merutuk dirinya. Berani-beraninya bengong dan kelihatan banget pasti, kalau dia memperhatikan.

Cowok itu langsung berlalu ke bagian meja khusus untuk membuat minum. Tapi pesanan Kia tidak harus dibuat, pesanannya hanya air mineral dingin. Tetapi siapa sangka, setelah memberikan pesanan, cowok itu meracik sesuatu.

Kia terheran-heran, warung tenda kecil menu pecel ayam, lalapan, dan teman-temannya, ternyata jual kopi juga. Dilihat dari cara meracik dan menyajikan dia bukan pelayan biasa. Saat itu juga dia berhenti makan, tapi malah memperhatikan cowok tampan, muda, sedang beraksi meracik kopi.

Didesak rasa penasaran, Kia memesan es kopi untuk dibawa pulang. Makanannya sudah tandas, dan tak lama kopinya siap.

"Es kopinya, Mbak. Makasih banyak. Silakan datang kembali."

Kia reflek ikut tersenyum melihat keramahannya. "Makasih."

Kia melihat lagi warung tenda itu. Ternyata memang tidak hanya menu pecel ayam, tapi ada menu kopi dan menu makanan manis. Sayang mereka hanya sedia roti bakar saja. Warung sederhana bernama "Pecel feat Kafe". Unik dan cukup mengundang penasaran orang.

Kia melupakan cowok tampan itu dan segera kembali ke dunianya. Dia butuh istirahat, besok ada bahan kafe yang harus dibeli. Biasanya Ina yang belanja, tapi kali ini Kia ingin melakukannya. Inaa dia minta untuk langsung ke kafe saja.

Sampai di supermarket, Kia langsung menuju rak bahan-bahan yang harus dibeli. Setelah semua catatan dari Ina ada di keranjang, Kia menuju ke rak makanan ringan. Stok di kulkasnya sudah menipis. Sekalian saja dia belanja sekarang. Akan sangat merepotkan kalau dia bolak-balik dari apartemen ke toko.

Perhatian Kia tertuju pada cokelat merek Queen yang menjadi favoritnya. Tangannya terulur bersamaan dengan tangan seseorang dari arah belakangnya. Orang itu tidak mau melepas batang cokelat, begitupun Kia. Kia menoleh, dan betapa kagetnya saat tahu siapa orang yang sedang berebut cokelat dengannya.

"Kamu?" Ternyata dia cowok peracik kopi di warung pecel ayam.

"Kenapa? Kenal gue? Wajar sih, banyak yang kenal. Cokelatnya buat gue, lo ambil merek lain."

Nada memerintah ini langsung memancing emosi Kia.
"Eh, tunggu! Enak aja, itu punya gue. Gue yang lihat duluan." Kia tidak mau kalah begitu saja. Cokelat itu tinggal satu di rak.

"Udahlah, ambil yang lain aja, deh!"

"Dih, ogah, lo aja!"

Suara pertengkaran itu terdengar pramuniaga supermarket dan langsung mendekat.

"Maaf, Mas dan Mbak. Ada apa, ya?"

Masih juga belum ada yang mau mengalah. Setelah tahu masalahnya, pramuniaga tadi memanggil sales produk yang kebetulan datang.

"Mohon maaf sebelumnya, stok cokelatnya masih ada, kok! Saya baru saja mau mengisi raknya lagi." Sales itu merasa bersalah karena harus membereskan surat-surat di baagian ekspedisi dulu.

"Tuh, bakal diisi lagi, kan. Udah sih, tungguin, aja!"

"Nggak bisa, lo aja yang nunggu di sini." Kia merebut cokelat di keranjang milik cowok itu.

Si mbak sales ikut bingung melihat orang dewasa berebut cokelat seperti anak kecil. Dia bergegas ke gudang dan mengambil lima batang cokelat, dan bergegas kembali.

"Stop! Ini cokelatnya, silakan dibayar ke kasir ya, Mbak, Mas! Masnya ngalah sama pacarnya nggak ada ruginya, loh!"

Kedua orang itu dengan cepat menoleh dan menjawab bersamaan.

"Kami nggak pacaran, Mbak!"

Hening. Kia langsung meninggalkan tempat itu. Sengaja mengambil arah lain supaya tidak ketemu cowok ganteng tapi minus akhlak.

Namun, sepertinya Tuhan memang inginkan ini terjadi. Mereka masuk ke lorong kasir yang sama. Suasana panas lagi, Sodara-sodara!

Bersambung

Halo, aku update cerita baru. Kali ini barengan sama sahabat-sahabat penulis juga. So, selamat mengikuti kisah Kia dan Magara.

Omong-omong, cowok ini Magara kah? Kita cari tahu, ya.

Thank you for reading, and see you on the next part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro