2. IKATAN HATI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Begitu keluar dari lift Kia segera membawa tas belanjaan yang lumayan berat. Kulkasnya sudah kosong dan dia butuh memasak sesuatu untuk makan. Tadi pagi saja dia baru sadar stok telurnya habis. Itu jenis bahan yang biasanya masih ada di detik-detik terakhir jadwal Kia belanja.

Beberapa hari ini pun kesialan sedang gemar mendekatinya. Pertama kafe yang menyebalkan karena income-nya menurun terus. Kedua, omelan Ryan yang berujung ancaman halusnya. Lalu belum lama ketemu cowok nyebelin. Gara-gara cokelat dia harus berantem mulut di supermarket. Kalau dipikir lagi, biasanya cowok malas ribut sama cewek gegara hal sepele. Mungkin dia punya pacar galak, dan cokelat itu titipan si pacar.

Aaargh!! Kia mengacak rambutnya lalu menjatuhkan diri ke kasur yang dirindukan.

"Hh, ngapain juga mikirin cowok labil itu. Bodo amat dia mau punya pacar galak atau setan sekalian. Bodo amat!!" racau Kia lalu memeluk gulingnya. Dia ingin rebahan barang sebentar saja.

Kebiasaan buruk jangan ditiru, tuh! Baru pulang, langsung tidur. Ganti baju tidak, bersih-bersih badan juga tidak. Hari itu Kia terlalu lelah untuk sekadar melepas bajunya. Meeting dan berunding dengan karyawan kafe lumayan memeras energi dan otaknya. Apalagi barista yang baru bekerja tiga bulan minta resign. Alasannya dia dapat tawaran kerja dengan upah lebih tinggi.

Hampir saja Kia terlelap, tapi diinterupsi suara bel pintu. Matanya beralih ke jam dinding, sudah jam sebelas. Baginya sudah terlalu malam untuk seseorang bertamu, kecuali ada yang penting. Tetapi sepenting apa?

"Mama?" Kia terkejut. Tidak biasanya Ratih berkunjung di jam orang seharusnya sudah santai di rumah.

Ekspresi Ratih tidak bisa ditebak. Dan Kia tidak bisa langsung mencecar dengan pertanyaan. Itu sama saja memancing kemarahan perempuan anggun itu.

"Kamu baru belanja?" Tatapan Ratih jatuh pada tote bag yang Kia taruh di meja makan.

Apartemen Kia tidak besar. Meja makan dan kursi untuk 2 orang merangkap sebagai meja kerjanya juga. Tak jauh di belakangnya ada dapur mini yang hanya ada beberapa barang . Kulkas sengaja Kia beli yang satu pintu saja. Hidup sendiri membuatnya lebih bisa mengatur hidup dan aktifitas.

"Iya, Ma. Tadi sepulang dari kafe Kia ke supermarket. Mama mau minum apa?" Kia beranjak ke dapur untuk membuat sesuatu. Beruntung dia sempat membeli beberapa kue kering untuk diisi ke toples.

"Nggak perlu repot, Ki," cegah Ratih lalu duduk di sofa satu-satunya yang Ratih punya.

Kia mengganti cangkir dengan mengambil gelas dan menuangnya dengan air mineral.

"Ada apa, Ma? Semalem ini Mama datang nggak mungkin kalau cuma ngecek doang, kan?" Kia menghabiskan air mineral di gelasnya. Tenggorokannya mendadak kering, entah berita apa yang akan didengarnya.

"Papa datang ke kafe?" Ratih meminum air minumnya sedikit.

"Ya, beberapa hari lalu. Sudah biasa kan, Ma, nggak ada yang aneh."

"Yang nggak biasa Papa sudah mulai mengancam, kan? Sebenarnya Mama nggak suka kamu akan dijodohkan dengan anak dari relasinya."

"Tapi Mama juga nggak bisa lakukan apa pun untuk mencegahnya. Benar begitu, kan?" potong Kia sebelum Ratih melanjutkan kalimatnya.

Wanita paruh baya tapi masih tampak muda itu menghela napas. Rasa cinta dan pengabdian pada suami membuat Ratih terbatas ruang geraknya. Dia tidak setuju tapi tidak mampu melawan Ryan.

"Nggak apa-apa, Ma. Nggak usah dipikirin. Aku akan perjuangin hidup dan cita-cita yang aku mau."

"Kamu masih melukis?" Ratih menatap Kia seolah ingin mencari sesuatu dari mata putri angkatnya.

"Tidak. Dan itu menyiksaku." Kia menunduk, tidak ingin kebohongannya terbaca oleh Ratih.

"Mama benci melakukan ini, tapi harus. Sebaiknya kamu penuhi saja maunya Papa."

Kia sontak menoleh. "Maksud Mama apa?"

"Kamu terima perjodohan itu."

"Enggak!!" Kia bangkit dari duduknya. Terang saja dia gusar. Banyak hal yang masih ingin dicapainya. Kalau dia menikah, semuanya akan gagal total.

"Mama takut kamu akan kewalahan mengelola kafe itu, Kia."

"Mama meragukanku? Aku masih belum nyerah, Ma. Aku akan lakukan apa pun asal tidak dijodohkan."

Ratih memang tidak terlalu dekat dengan Kia. Apalagi setelah putrinya itu tahu kalau dirinya bukan ibu biologisnya.

"Ok, Mama sudah dapat jawaban. Mama tahu tidak banyak yang bisa Mama lakukan untuk bantu kamu. Tapi Mama akan bantu kalau kamu minta."

"Thankʼs, Ma. Aku akan hubungi Mama kalau waktunya tiba. Untuk sekarang cukup dukung aku saja."

Ratih mengambil tasnya dan memberikan kartu kredit pada Kia.

"Ini apa, Ma? Aku masih punya cukup uang kok!"

"Simpan saja dulu. Papa tidak tahu soal kartu itu. Mama punya pemasukan sendiri tanpa Papa tahu. Mama mohon, simpan kartu ini." Ratih beranjak ke pintu. Sebelum membuka pintu dia berbalik lalu tersenyum tipis.

Kia terpaku di tempatnya. Dia sadar belum bilang terima kasih. Segera dia ke pintu dan berlari menuju lift. Beruntung Ratih baru memasuki kotak persegi itu. Tangan Kia menahan pintu lift sehingga tertahan.

"Kia cuma mau bilang makasih. Mama nggak mau nginep, aja? Sudah terlalu malam juga."

Ratih tersenyum tulus kali ini. Dia mengusap rambut Kia dengan lembut. "Sama-sama, Kia. Tapi maaf, mungkin lain waktu Mama menginap. Kamu jaga diri, dan kabari Mama saat kamu butuh."

Kia melepas tangan dan pintu lift menutup perlahan. Selama ini Kia sadar hubungannya tidak terlalu baik dengan Ratih. Terhitung sejak dirinya tahu kalau Ratih bukanlah orang tua biologisnya. Entah kenapa sejak itu dia merasa Ryan berubah, begitu pula Ratih. Beberapa tahun ikatan itu merenggang.

Malam ini, kedatangan Ratih membawa perbedaan. Kia merasa mamanya masih sama seperti dulu. Kia baru menyadari begitu dia merindukan kasih sayang mamanya. Usapan lembut tadi terasa hangat dan menentramkan. Bahkan Kia masih merasakannya hingga terlelap.

***

Kafe dibuka seperti biasa. Barista yang baru didapat Ina dari rekomendasi temannya mulai bekerja hari ini. Baiklah, dengan adanya barista baru semoga membawa keberuntungan. Kia juga sempat menata ulang posisi kursi dan meja tadi pagi, dibantu beberapa karyawan cowok. Suasana terluhat berbeda dan lebih segar.

"Bos K, senyum dikit, jangan tegang gitu, kali." Ina menyenggol lengan Kia sambil memberi contoh cengirannya.

"Itu lo sebut senyum?" Tentu saja Kia jadi tertawa melihat senyum absurd-nya Ina.

Promosi menu baru dan suasana kafe sudah disebar. Tak lama pelanggan datang satu persatu. Kia senang suasana yang biasanya hanya suara musik yang terdengar, sekarang berpadu dengan suara obrolan dan tawa dari pelanggan yang datang.

"Ok, Kia ini baru awal. Jangan jemawa dulu." Batin Kia mengingatkan dirinya.

Kebahagiaan itu rupanya harus terganggu dengan kedatangan orang yang tidak diharapkan.

"Lo mau apa ke sini?" desis Kia setelah posisi keduanya cukup dekat. Kia tidak mau ada keributan, makanya dia ingin cowok itu keluar dari kafenya.

"Gue pelanggan, loh! Yakin begini sambutannya?"

Bersambung

Ketemu lagi mereka, nih. Udeh kenalan aja, napa? Ribut mulu, ih!

Wkwkwk.
Thanks for reading, Guys. See you, soon.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro