3. KEPO AKUT

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa yang dirasakan Kia, sebenarnya sepele. Dia langsung mengambil kesimpulan dari pertemuan mereka di mall beberapa hari lalu. Berebut cokelat dan si cowok tidak sedikitpun mau mengalah, membuat Kia menilainya buruk.

"Bos K, ada apa? Tahan dulu emosinya, deh! Banyak pelanggan, jangan sampai mereka ngerasa nggak nyaman." Ina menghampiri begitu tahu terjadi keributan kecil. Setelah dilihat ternyata bosnya sendiri.

"Gue tahu itu. Justru kalau cowok ini nggak pergi bakal terjadi sesuatu nanti." Kia menatap kesal cowok di depannya. Napasnya memburu.

Gawat! Bukan kebiasaan Kia mudah terpancing seperti ini. Ina mengambil inisiatif untuk meminta Kia ke ruangannya saja.

"Bos K, biar gue yang tangani cowok itu. Lo ke kantor, aja. Nanti dianter es kopi plus cemilan. Ok?" Ina khawatir keributan kecil itu akan mengundang perhatian pengunjung lain.

Kia berjalan mendekat ke cowok yang bernama Magara di depannya.

"Gue minta lo ke kafe lain, aja! Gue nggak mau ribut."

Magara mendekati Kia dengan posisi lebih berani. Tepat di samping telinganya Magara berbisik.

"Gue cuma pelanggan yang mau ngopi, Mbak Kia."

Kia terhenyak, sontak dia menoleh dan menatap Magara. Tatapan sarat pertanyaan, dari mana cowok ini mendapatkan informasi namanya.

"Lo kaget? Kafe ini terkenal, loh!" Magara melangkah ke meja kosong tak jauh dari tempatnya.

Namun, baru dua langkah Magara berbalik. "Gue sudah tahu nama lo, biar adil lo juga harus tahu nama gue. Magara, panggil aja, Gara." Magara mengulurkan tangannya.

"Gue nggak nanya!?" Kia berbalik tanpa menyambut uluran tangan yang masih bertahan di tempatnya.

Dia menyesal tidak langsung menuruti saran Ina tadi. Sekarang kekesalannya bertambah tanpa alasan yang jelas.

Di tempat duduknya, Magara mengamati diam-diam kepergian Kia. Kehadirannya mencuri perhatian sejak datang ke warung pecel ayam waktu itu. Dia pikir tidak akan ketemu lagi, rupanya dugaannya meleset. Kejadian di mall sungguh memalukan kalau diingat.

Magara buru-buru harus pergi waktu itu. Kebetulan temennya nitip buat pacarnya yang lagi ngambek. Aargh, bakalan panjang kalau dirunut. Perlahan Magara sadar sosok Kia telah mengisi ruang kosong di hatinya.

"Satu americano dan cake green tea. Selamat menikmati." Pesanannya datang dan tampak menggiurkan.

"Makasih," respon Magara lalu menyesap minumannya. Lumayan tapi entah apa yang salah. Magara mencoba cake satu suap, sontak keningnya berkerut. Bagaimana bisa menu seperti ini dijual dengan harga lumayan premium.

Niatnya datang sebenarnya bukan karena mau me-revieu menu. Murni karena dia ingin minum kopi dan memenuhi rasa penasaran akan sosok Kia. Seharusnya dia juga tidak peduli dengan menu yang kurang enak itu. Tetapi hati dan otak berlawan keinginan.

Satu-persatu pelanggan pergi. Semua aman terkendali sampai dengungan salah seorang pelanggan dan temannya, terdengar di telinga Magara.

Desas-desus itu bukan isapan jempol, ternyata. Menu di sini bukannya tidak enak. Bisa dimakan, tapi terlalu mahal.

Tiba-tiba saja muncul rasa peduli entah apa alasannya. Magara ingin membantu, tapi apa orangnya bersedia dibantu, dia meragukan hal itu. Meskipun kurang enak, Magara menghabiskan semua pesanannya. Prinsipnya sejak dulu, pantang membuang makanan atau minuman, selama tidak berbahaya. Ada racun, misalnya. Setelah membayar tagihan, Magara meninggalkan kafe.

***

Dua jam lagi kafe akan tutup. Ina sudah pulang sore tadi, dan posisi kasir digantikan oleh pegawai lain. Sudah lama tidak menyentuh kanvas dan cat, membuat Kia merindukan tempat rahasianya.

Kia keluar untuk melihat suasana kafe. Seharusnya makin malam pengunjung akan makin banyak. Seperti banyak kafe yang pernah Kia kunjungi, nyaris sama seperti itu. Sayang, kondisi kafe bertolak belakang dengan harapan yang baru ditanamnya.

"Selamat datang, Kak! Mau pesan apa?"

Mendengar ada pengunjung Kia berbalik dan berniat ikut melayani. Tetapi saat melihat siapa yang datang, kakinya terhenti.

"Tunggu!" Magara langsung bereaksi sebelum Kia pergi dari hadapannya. "Mbak, saya pesan hot chocolate satu, ya. Makasih," lanjutnya lalu menghampiri sang pemilik kafe.

"Ada apa? Kali ini gue nggak mau berantem. Lo silakan menikmati pesanan dengan tenang."

"Gue mau ditemenin sama lo." Magara benar-benar hilang akal. Semoga dia tak menyesali tindakannya ini nanti.

"Kafe ini nggak ada menu teman ngopi. Sebelumnya juga lo ngopi sendiri."

"Sekarang kafenya sepi. Ada apa? Apa ada masalah?" Magara tidak peduli apa pun. Dia hanya mengikuti kata hati yang penasaran akut tentang Kia dan kafenya.

Kia tersenyum miring. Sinis sekali ekspresinya begitu mendengar orang lain lancang berkomentar.

"Lo nggak berhak ngomongin soal kafe gue. Namanya juga rejeki adakalanya rame, adakalanya juga sepi. Biasa, kali."

Magara hendak membuka mulutnya, tapi diinterupsi pesanannya datang.

"Kia, oh maaf, boleh gue panggil nama lo, aja?"

"Terserah!" Kia menyandarkan punggungnya di salah satu pilar. Terlintas keanehan kenapa dirinya masih bertahan di sana. Kalau dia ingin, bisa kan langsung pergi dari sana. Tetapi ini tidak, ada hal yang menahannya di sana. Ada sesuatu yang menginginkan untuk terus mendengarkan apa yang akan dikatakan Magara setelah ini.

"Kia, gue bisa bantu bikin kafe lo rame."

Kia tertawa. Saking kerasnya sampai membuat karyawan bagian kitchen keluar. Mereka sebenarnya juga penasaran dengan apa yang bosnya bahas. Tetapi mana berani ikutan nimbrung. Kalau bersedia langsung dikasih pesangon sih, silakan, aja. Alias dipecat.

"Gue nggak butuh bantuan lo. Lagian aneh, pertemuan kita di mall waktu itu beda banget sama lo yang sekarang. Apa dia kembaran lo?"

"Hahaha, lucu juga, meski garing." Skakmat!

Beberapa hari Magara kepo dengan perempuan bernama Kia itu. Dia single dan punya kafe. Sayang, kafenya sepi pelanggan. Pengunjung akan ramai di awal-awal promosi saja. Saat konsep dan menu baru diunggah, pengunjung akan berdatangan. Tetapi beberapa hari setelahnya akan sepi lagi.

Tidak banyak perubahan yang sepertinya dilakukan Kia. Itu asumsi awal Magara. Bertahun-tahun bekerja di dunia kopi membuat Magara tahu, banyak yang salah dengan menu minuman yang ditawarkan. Termasuk menu snack-nya. Entahlah, mungkin juga di manajemennya.

"Gue beneran mau bantu, Kia."

"Lo bukannya udah kerja di warung pecel ayam itu. Lagian tahu apa lo soal kafe?" Kia mengabaikan fakta kalau dia sempat melihat Magara juga meracik kopi malam itu.

"Gue nggak kerja di sana. Malam itu kebetulan aja, gue gantiin saudara temen gue si pemilik warung." Magara melirik ke cangkir minuman cokelatnya. "Kita bisa sambil duduk nggak sih, ngobrolnya? Cokelat gue hampir dingin," lanjut Magara dengan nada sedikit memohon.

Kia bergeming di tempatnya. Dia masih tidak bisa percaya dengan Magara. Kalau dilihat dari penampilan, dia ini masih bocah. Mungkin beberapa tahun dibawahnya. Tetapi Magara dengan santainya ngomong santai dan pakai lo-gue.

"Lo kelihatan masih bocah. Belum tahu apa-apa soal kafe, mungkin lulus kuliah juga belum."

Bersambung

Nah, lo. Magara kesel nggak, ya. Kalimatnya Kia masih pedes, aja.

Thank you for reading. Jumpa lagi di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro