10. CORETAN ISTIMEWA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kenapa, Mbak? Kita baru saja dapet order besar. Bukannya itu kabar bagus buat perkembangan kafe ini?" Magara ingin tegas sekali ini saja. Rasa takut yang muncul wajar karena semua pasti ada resiko. 

Kia sontak menatap tajam Magara, dia kesal tapi sadar sepenuhnya kalau barista-nya berkata benar. 

"Ok! Gue paham maksud lo." Kalau boleh jujur Kia merasa bodoh. Bisa-bisanya hal sepele harus Magara yang mengingatkan. 

Memang kenapa kalo Magara, Kia? Karena dia lebih muda? Telat kalo lo ngerasa gitu, sekarang. Sejak awal, berondong itu jelas lebih dewasa dan punya kemampuan daripada lo. Kia benar-benar benci dengan kata hati yang jarang salah. 

"Mbak Kia?" Panggilan kedua ini baru didengar. 

"Ya?" Kia mengusap wajahnya dan berniat kembali ke kafe. 

"Gue minta maaf. Kata-kata gue tadi keterlaluan." Magara mencekal lengan Kia supaya jangan pergi dulu. 

"Lo ada benernya, kok! Kita balik kerja, sekarang. Ini perintah, Gar!" Kia sengaja mengatakan perintah, saat melihat Magara belum beranjak dari tempatnya.

Sudah sering kesal dan marah Kia umbar sia-sia. Hari ini dia perlu pelampiasan supaya bisa berpikir lebih jernih. 

"Na, gue perlu keluar sebentar. Lo mau nitip apa?"Setelah bicara dengan Gara tadi raut muka bosnya agak berubah. 

Ina sempat melirik ke tempat Magara, tapi tak menemukan petunjuk. Dua orang itu  jelas lagi tidak akur. Hhh, baru juga mau sebulan setengah. Ya, sudah lah, lanjut aktivitas lagi. 

"Gue nggak titip apa-apa, Bos. Makasih."

"Hemm, lo nggak mau nitip, Gar?" Kia tidak mau ada rasa canggung lagi. 

"Apa boleh?" Magara mendekati Kia sambil mengambil uang dari dompetnya. 

"Gue nggak mau ada utang, Mbak. Nitip salam aja, buat Kia Sudirja. Bilang dia harus balik lagi ke kafe. Secepatnya!" Magara lebih dekat dan tepat di samping telinga, dia mengatakan kalimat yang membuat hati Kia gempar. "Gue bakal kangen banget kalo nggak ada  Mbak di sini." Tangan Magara menggenggam jemari Kia dan langsung dilepas lagi. Tak ada satu pun karyawan yang menyadari tindakannya. 

Kia bergegas pergi sebelum wajah meronanya ketahuan. Sampai di mobil dia tenangkan debar yang rusuh di dalam sana. 

"Sebelum jadi gila, sebaiknya gue belanja bahan melukis. Sebentar lagi juga jam makan siang. Ada beberapa hal juga harus dia urus. 

Sebuah kafe yang letaknya si sebelah outlet buku jadi tempat tujuan Kia. Seseorang sudah menunggu di meja paling nyaman posisinya. 

"Lama nunggu, Sat?" sapa Kia ramah. Tepatnya berusaha ramah, ajakan untuk bersalaman Kia tolak. 

Satya mengambil daftar menu dan memberikan pada Kia. "Pesanlah sesuatu, kamu butuh makan untuk mengurus kafe, kan." 

"Langsung saja, Sat. Kalo enggak karena paksaan Papa, gue nggak bakal datang ke sini." 

Tiba-tiba saja dalam perjalanan Ryan menelepon dan menyuruhnya menemui Satya. Hanya sekali perintah, mengirim lokasi dan harus jalan. Menolak? Artinya perjodohan dan kehilangan karya lukisnya. 

"Niat aku baik."

"Tapi gue nggak butuh bantuan lo, Sat. Kita baru kenal dan ketemu, kita urus hidup kita masing-masing, deh!" 

Satya menatap tajam gadis didepannya. Anak dari bos besar yang harus bisa dia miliki. Karirnya akan lebih bagus dan tentu saja uangnya juga bagus. Baiklah, Satya memang harus balik ke Surabaya. Ini baru awal, dia tidak akan memaksa. 

"Ok, Kia. Aku ikut kamu, aja! Tetapi beneran, saat kamu telepon dan datang, aku langsung terbang ke kafe kamu." 

Kia terdiam. Mengalahnya Satya sudah cukup untuk sekarang. Kia bergegas pergi meninggalkan kafe dan menjauh ke lantai atas. Jangan sampai Satya menemukannya lagi dengan alasan kebetulan. 

Hari itu menjadi keberuntungan. Bisa dibilang seperti itu, terhindar dari Satya dan dapat apa yang dia mau. Sampai kafe sudah menjelang tutup. Di sana tampak Magara sedang membersihkan areanya membuat pesanan kopi. 

"Mbak Kia! Gue kira langsung balik ke apartemen. Kenapa ke sini?" Magara tidak menduga, Kia bakal ke kafe lebih dulu. 

"Gue memang kayak gini, Gar. Males kalo ke apartemen tapi belum memastikan keadaan kafe, gimana." 

Magara mengangguk. Dia hampir lupa kalau Kia adalah pemilik. Dia bebas mau ke manapun pulang dan menginap. 

"Gue lanjutin beresin ini dulu, Mbak!" 

"Hmm." Kia meletakkan alat tulis dan buku gambar di salah satu lemari ruangannya. 

"Mbak, mau kopi, nggak?" Magara berdiri di pintu sambil menawarkan kopi yang baru saja dia buat. 

"Lo nggak pulang?" Kia mempersilakan masuk dengan melebarkan pintu. 

"Mau mastiin semua baik-baik, aja. Mbak emangnya nggak pulang?" 

Kia tersenyum. Semua alat gambar yang tadi dia beli, langsung dipakai. Malam-malam begini kantor kafe dirasa Kia paling aman setelah apartemennya. 

Magara baru melihat Kia menggambar. Wajahnya makin cantik dan menarik saat fokus seperti itu. Sayang rambutnya masih tergerai dan menghalangi untuk menatap wajah yang dicinta diam-diam. 

"Kira-kira gue bisa jadi model, nggak?" 

"Lo jadi model? Bisa, aja. Tapi bukan gue yang lukis." 

"Kenapa?" Padahal Magara ingin lebih dekat lagi. Siapa tahu kalau jadi model, membuatnya bisa lebih banyak waktu bersama. 

"Gue nggak semahir itu." Kia memang merasa begitu. Meskipun beberapa lukisan sudah dia buat, dan ada teman yang ingin membelinya. Tetapi Kia tak berani menjualnya. Dia takut Ryan akan murka. 

"Belum-belum udah patah hati, gue."

"Apaan, sih, lo!" 

Suasana jadi hening, keduanya sama-sama saling menikmati kegiatannya. Sudah jelas Kia sedang melakukan hobby-nya. Sedangkan Magara sibuk menikmati Kia. Dengan santai dia melihat bos tercinta lengkap dengan mahakarya yang sebentar lagi selesai. 

"Beres. Gimana?" Kia menunjukkan hasil karyanya ke Magara. Dan, cowok itu … tertidur di sofa. Senyum terbit begitu saja saat wajah tampan dan tenang memenuhi seluruh tatapannya. 

Lo terlalu indah, Gara. Pengen banget gue ngelukis lo, tapi jujur gue takut. Takut saat hasilnya nggak seindah yang gue lihat sekarang. Kia makin mendekat dengan selimut di tangannya. 

Untuk malam ini dia akan menyelesaikan beberapa hal. Dia tidak tega membangunkan Magara dan menyuruhnya pulang. Untuk malam ini Kia membiarkan hal yang tidak biasa dia lakukan. Membiarkan orang lain melihatnya melukis. Entah kenap dia begitu yakin Magara bisa dipercaya. 

Menjelang subuh Magara terbangun. Matanya langsung terbuka lebar setelah sadar ruangan itu bukan kamarnya. Pandangannya tertuju pada selimut di tubuhnya. 

"Mbak Kia." Tidak mungkin orang lain yang melakukan ini. Magara mencari keberadaan Kia. 

Bersambung.

Ups, mau jadi model lukis? Jangan bayangin film Titanic, ya.

Thank you for reading.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro