9. TERSENTUH

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Magara menatap lembut bosnya yang kini tampak rapuh. Orang yang biasanya galak, judes, bisa juga sedih dan butuh teman. Dia mengambil tempat di samping Kia. Tindakannya sontak membuat Kia menoleh. 

"Kenapa, Mbak? Gue nggak salah dengar permintaan lo tadi, kan?" 

Iya, nggak salah. Tapi nggak sedeket gini juga. Kia berdeham sambil menggeser posisi duduknya. 

"Gue siap dengerin apa pun itu, bahkan kalo mau nangis bahu gue juga siap jadi sandaran.” 

Mereka bertatapan, seolah saling menyelami dan mencari tahu, apa yang mereka rasakan sama. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi Kia yang masih basah dengan sisa air mata. 

"Maaf, kalo gue lancang. Tetapi gue ingin lakuin ini. Hapus air mata lo dan …." Jari Magara menyentuh perlahan bibir Kia. Hasratnya mendorong untuk melakukan sesuatu, dia menelan ludah dan maju perlahan. 

"Ehem, air mata gue udah kering, kok!" Kia memalingkan mukanya ke arah lain. 

Beberapa kali dia menepuk dada supaya jantungnya tidak ribut di dalam sana. Nyaris saja, sesuatu terjadi. Dan untung otak warasnya masih bisa berfungsi. 

Magara mengulum senyum, dia tahu Kia juga merasakan hal yang sama. Dan untuk sementara tanda itu sudah cukup. Ada hal yang lebih penting. 

"Kapan lo mau ajarin gue soal kopi?" Hening yang sempat tercipta hilang dengan pertanyaan Kia. 

Bos sudah mulai membahas hal serius. Sepertinya Kia sudah merasa lebih baik. Entah, apa yang baru saja dia alami, Magara makin yakin melakukan apa pun untuk membantu. 

"Kapan pun lo mau, kita bisa mulai. Gimana kalau sekarang, aja? 

Kia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Beberapa kali dilakukan lalu dia bangkit dari sofa. 

"Ok. Kita mulai sekarang." 

"Tunggu sebentar!" Magara tersenyum dengan pandangan menilai gadis di depannya. 

"Apa lagi? Mau ditunda?" Kia tidak mengerti. 

Magara yang tidak menjawab, terus mendekat sambil menggelengkan kepala. 

"Ya udah, kita keluar sekarang!" Kia lebih dulu hendak keluar. Tetapi Magara lebih cepat menghalangi langkahnya. 

"Kalo lo nggak serius …." Sikap Magara mulai memancing emosi Kia. 

"Gue serius sama lo," potong Magara. 

"Gara." 

"Ok ok, kita mulai." Magara melangkah lebih dulu setelah menepuk puncak kepala Kia. Dia suka melihat wajah meronanya yang muncul. Meski setelahnya mungkin Kia akan mengomel atau menggerutu. 

Mengenalkan jenis kopi yang digunakan kafe dan ciri khas dari tiap menu minuman dijelaskan oleh Magara dengan detail. Kia pun dengan cepat bisa  memahami, meski bertahap dan butuh beberapa hari, bukan masalah bagi Kia. Jadwalnya bertambah dan itu baik untuknya. Melupakan semua hal buruk yang telah terjadi terasa mudah karena kehadiran Magara. 

"Hari ini kinerja lo bagus." Sering bersama dan mengobrol, membuat Kia lebih terbuka dan banyak bicara. 

"Lo juga, daya serap otak lo tuh, level berapa sih, Mbak? Cepet banget nangkep semua yang gue kasih." Magara melihat Kia dengan tatapan kagum. 

"Lo baru sadar Bos lo jenius? Wah, minta dipotong gaji, nih," ujar Kia dengan nada bercanda. 

"Duh, ampun! Janganlah, Bos! Cungpret satu ini masih butuh jajan dan foya-foya." Kalimat Magara berakibat pukulan di lengannya. Tawa memenuhi ruang kafe 

Malam itu kafe sudah tutup. Magara baru saja selesai mengajari Kia bagaimana meracik kopi. Apa saja komponennya, Magara jelaskan dengan bahasa dan cara yang paling mudah dipahami pemula. 

Setelah melewati tahap awal, Kia mulai menyukai usahanya. Dunia kopi tidak seburuk yang dia kira. Ternyata bukan hanya lukisan yang bisa menghiburnya. 

***

"Bos K, hasil penjualan hingga akhir bulan naik pesat." Ina langsung menunjukkan hasil hitungannya. Biasanya setelah ini Kia yang akan merapikan dan lapor ke Ryan. 

"Serius?" Kia seperti mendapat air setelah kehausan karena lari maraton. 

"Selamat ya, Bos K. Setelah ini, apa Om Ryan akan terus menekanmu?" 

Pertanyaan Ina membuat Kia tersadar. Selama ini setiap dia berhasil memenuhi permintaan Ryan, akan ada lagi tuntutan baru. Kali ini apa dia masih kuat, entahlah. 

"Mbak Ina, ada pelanggan yang mau ketemu. Dia berencana mau reservasi tempat untuk ultah adiknya. Bisa keluar sebentar?" Magara terpaksa menyela pembicaraan kedua seniornya. Tetapi gangguannya ini akan membawa kesempatan bagus untuk kemajuan kafe. 

"Serius, lo? Kerja bagus!" Ina langsung keluar setelah Kia mengiakan. 

Melihat Magara masih tak bergeming, Kia menaikkan kedua alisnya. 

"Nggak ada yang serius. Gue cuma mau bilang, Mbak Kia makin cantik." Tatapan Magara lembut dengan senyum yang tertahan. 

"Berani ya, gombalin bos sendiri. Lanjut kerja!!" Kia berpaling demi menyembunyikan wajahnya. Kelakuan Magara ini makin hari makin gencar mengganggu ketenangan hatinya. Anehnya Kia senang dengan hal baru ini. 

Malu, bahagia, berdebar-debar, dan tidak kesal sedikitpun saat berondong itu menyentuhnya. Mengingat dia selalu meledak setiap ada cowok yang berniat mendekatinya. Belum lama dia harus rela terluka karena tindakan Satya. 

"Siap, Bos! Ingat, perjuangan kita baru mulai. Semangat terus ya, Mbak Cantik." 

Tak ingin lanjut diomeli karena terang-terangan merayu lagi, Magara segera kabur ke tempatnya. 

"Mbak Ina, reservasinya jadi?" tanya Magara memastikan, karena dia pasti akan terlibat nanti. Mungkin akan ikut sibuk juga menyiapkan dekorasi. 

"Jadi, mereka booking untuk dua minggu yang akan datang. Selama ini kita belum pernah dapat reservasi besar. Tanggungjawab kita besar juga, Gar! Jujur gue takut." 

Magara sedikit mengerti apa yang jadi pikiran Ina. Mungkin hal ini juga akan jadi pikiran Kia juga. Setelah melangkah sejauh ini, setelah semua perubahan yang terjadi, tidak adil rasanya kalau ketakutan mereka jadi kendala. 

"Mbak, saya paham apa yang Mbak pikirin. Tapi tolong jangan sampai bos kita juga tertular rasa takut ini. Wajar kok, setelah semua yang terjadi kemarin-kemarin pasti khawatir dan takut." 

"Maksud lo gimana, Gar? Ekspresi Kia saat tahu ada klien mau reservasi, langsung berubah pucat." 

Iya, Magara juga menangkap hal itu tadi. Makanya dia sengaja tinggal dan memujinya. Tujuannya supaya Kia lebih tenang dan tidak overthingking

"Gue akan bantu sebisa gue, Mbak. Apa pun itu. Tugas gue bukan cuma barista, tapi gue juga bisa bantu di bagian apa pun. Please, kasih tahu gue kalo butuh kapan pun itu. 

Ina tersenyum, dia senang Magara benar-benar tulus. Entah karena perasaannya pada Kia, atau karena hal lain, yang Ina tangkap semuanya positif. Yaah, paling tidak hingga hari ini Magara berhasil jadi pahlawan untuk kafe. 

"Na, soal reservasi sudah beres? Mereka minta menu apa? Hari apa? Terus …." Baru saja jadi bahan omongan, orangnya datang dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. 

Magara menggeleng, bosnya ini beda banget kalau sudah panik dan khawatir. Baru saja ada berita bagus penjualan meningkat, berubah stres lagi. 

Magara mendekati Kia, menggenggam jemarinya lalu mengajak keluar. Tentu saja kejadian itu menjadi pemandangan bagus bagi semua pegawai. Mereka suka gaya Magara menaklukkan dinginnya si Bos Kia. 

Bersambung

Magara maju selangkah lagi, nih. Jangan menyerah, ya.

Thank you for reading. See you on the next part.






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro