12. BOHONGI HATI

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue, nggak jadi beli, makanya ngikutin lo." Kia berbicara tanpa melihat ke Magara. 

"Bohong! Lo sengaja mau ikut kan, Mbak? Dan itu bukan karena mau beli sesuatu. Ada masalah apa? Lo pengen menghindari apa?" 

"Enggak ada, Gara. Kita mau cari apa lagi, nih?" Kia mengalihkan pembicaraan. Dia tidak bisa bicara soal Satya sekarang atau nanti. Yang penting hari ini dia tidak bertemu laki-laki itu. 

Magara melihat tangan Kia gemetar, dari tadi ditutupi dengan memasukkan telapak  tangannya di kantong jas. Ada masalah yang tidak ingin Kia ceritakan. Kira-kira soal apa kali ini? Tuntutan baru Om Ryan atau karena hal lain? 

"Gue mau cari sedikit bahan lagi, Mbak. Lo mau tunggu di kafe depan itu, atau ngikut gue?" 

Kia berpikir apa aman dia di kafe sendirian? Ayolah, Ki! Lo takut apa, sih? Kalo memang Satya nekat ngejar lo, tolak aja terus. Atau lo ajak Magara pacaran, biar dia ngejauh. 

"Gila kali, gue," ucap Kia tiba-tiba. 

"Maksudnya?" Magara makin yakin bosnya lagi ada masalah. "Lo akan gila kalau nggak cerita ada masalah apa." 

"Gue ke kafe depan. Kalo lo udah selesai langsung ke sana. Kita sekalian makan siang baru balik ke kafe." 

Magara menghela napas, beneran bungkam bos cantiknya itu. Mau apa lagi, dia bos dia juga yang sepatutnya pegang kendali, kan? 

"Siap, Mbak! Laksanakan perintah!" 

Keduanya berpisah dengan arah yang berbeda. Langkah Magara perlahan, tetap pada tujuan, tetapi matanya masih mengawasi gadis itu hingga memasuki kafe. Hati Magara tidak tenang, tanpa tahu alasannya dia begitu ingin melindungi Kia. 

Dengan gerak cepat dan terkendali, Magara segera mengambil bahan yang kurang dan membereskan transaksi pembayaran. Tidak terlalu banyak, karena tugasnya hanya memastikan bagiannya aman. Bagian kitchen ada penanggungjawab sendiri. Setelah perubahan banyak dilakukan, kafe bisa dipastikan berisi orang-orang yang bisa dipercaya. 

"Lo udah makan, Mbak? Atau udah pesan barangkali?" Magara melihat meja Kia cuma ada es kopi. Wajar kalau dia mengira bosnya belum makan. 

"Gue belum pesan, sengaja nunggu lo." Kia menjawab dengan mata fokus ke ponselnya. 

"Kenapa nunggu gue segala, sih?" 

"Gue udah sering makan sendirian. Bahkan orang tua yang katanya sayang sama gue, nggak pernah mau lakuin itu." 

Magara menoleh. Dia kembali duduk dan memanggil pelayan untuk datang ke meja mereka. Dia tidak mau meninggalkan Kia yang sepertinya sudah bersedia untuk cerita. 

"Jangan kasihani gue! Gue tahu lo duduk lagi karena kasihan, kan?"

Magara bungkam. Dia menunggu sampai Kia keluarkan semua uneg-uneg yang mungkin akan meledak kalau didiamkan saja. 

"Sejak awal gue nggak kasihan sama lo, Mbak." Magara bersedekap dengan tatapan tak lepas dari Kia. 

"Lo bener, gue sengaja ikut lo buat ngehindari sesuatu. Tapi …." 

"Tapi lo nggak mau, ah, belum mau cerita sama gue?" Tentu saja Magara paham, Kia mungkin sama dengan dirinya. Tidak mau kelihatan lemah di depan orang lain. 

Entah, apakah alasannya sama, tetapi yang dia tahu, itu sebagai benteng perlindungan diri. Kalau dia tampak lemah, maka kesempatan bagi orang untuk memanfaatkan kelemahannya. Magara tidak mau itu, statusnya yang yatim piatu dan hidup lama di panti membuatnya jadi bahan empuk perundungan. Sudah cukup, jangan sampai ada lagi. 

"Lo sepertinya kenal gue lebih dari yang gue duga."

Dialog keduanya terhenti sejenak. 

"Gue cuma … jatuh cinta sama lo sejak pertama ketemu. Apa lo percaya?" Alasan ini tidak mungkin diungkap sekarang. Magara khawatir mengacaukan semua yang sudah ada. 

"Cuma apa?" Magara tidak melanjutkan kalimatnya. Kia makin penasaran dengan alasan cowok itu bersedia membantu, padahal mereka baru kenal. 

"Cuma coba lebih perhatian, aja. Lo kan bos gue, orang yang gaji gue. Wajar kalau gue harus peduli, kan?" Lancar sekali kasih alasan Magara, ini. 

Lalu apa artinya kejadian tadi? Lo, hampir nyium gue, Gara! Tololnya gue diem saja waktu itu. Apa perlakuan manis lo selama ini hanya karena gue bos lo? Artinya gue salah duga dan kegeeran sendiri. 

"Ya, lo memang harus lakuin itu kalau masih mau kerja dengan nyaman." Kia tutupi kecewanya dengan kembali pada tempatnya. Membuat batasan tak tampak supaya dia aman, dan luka hatinya tak makin menjadi. 

Menghabiskan makan dalam diam bukan masalah besar bagi Kia. Dengan cepat dia menandaskan makanannya. Tetapi melihat Magara belum menghabiskan makanan miliknya, Kia menunggu sambil mengetik pesan pada Ina. 

To Ina:
Na, ada orang yang mencariku? Kami sudah selesai belanja dan sekalian makan siang. Sebentar lagi balik ke kafe. 

Tak lama pesannya dibaca Ina, dan muncul balasan. 

To Kia:
Wah, maaf, Bos K, Tadi gue sempet ke toilet dan dandan di dapur. Jadi nggak tahu ada orang yang cari Bos atau enggak. 

"Kita pulang sekarang, Mbak!" 

"Eh, tapi belum …." 

"Udah gue bayar. Jangan mikir macam-macam dan segera pulang." 

Kia tidak banyak bicara, kantong belanjaan juga sudah dibawa Magara semua. 

"Kunci mobil mana?" Kia bertanya setelah semua kantong belanja masuk ke jok belakang. 

"Kenapa, Mbak? Gue yang nyetir aja, ya?" 

"Gue yang bawa. Hmm, gantian aja, tadi kan udah lo yang bawa." 

Magara tahu ada yang aneh setelah keduanya berbicara soal perasaan tadi. Apa dia salah bicara?

Mobil meluncur mulus dan lumayan lancar. 

"Gar, gue turunan lo di lobby kantor, ya?" Kia harus pergi barang sejenak. Dia harus bertemu seseorang yang berhubungan dengan lukisan-lukisannya.

"Lo mau pergi lagi? Ke mana?" Magara langsung membungkam mulutnya. "Sorry, gue cuma khawatir. Lo berangkat aja, Mbak. Lupain pertanyaan gue tadi." 

Kia mengangguk dan melajukan mobilnya lagi. Magara membawa bahan yang dia beli dan langsung menaruh di tempat masing-masing. Asistennya baru saja datang, dengan sigap membantu tanpa bertanya. 

Ina yang melihat kerja sama Magara dan asistennya tersenyum puas. Mereka solid banget dan Magara menemukan orang yang tepat. Saat menyadari tidak melihat Kia, Ina segera menghubungi ponsel bosnya. 

Dering ke lima, Kia tidak mengangkat telepon, Ina bolak-balik dengan cemas. Firasatnya nggak bagus banget. Persiapan pesta sudah sembilan puluh persen, dan Kia harus mengecek semuanya lebih dulu. Bosnya harus tahu detail yang sudah disiapkan dan menuju siap untuk bagian kulinernya. 

"Tadi Mbak Kia nganter sampai depan lobby dan dia nggak bilang sama gue mau ke mana." Magara mengatakan itu supaya kecemasan Ina tidak bertambah. 

"Apa dia panik atau khawatir?" 

Magara terdiam, dia ragu mau jawab apa. Ekspresi Kia sulit dipahami. Marah, sedih, atau takut, Magara tak bisa menebak. 

Bersambung

Gemes banget, kenapa gk ngomong aja, kalo cinta, seeh. Mau nunggu apaan lagi?

Menurut kalian?

Thank you for reading.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro