13. CONFESSION

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mbak Kia tiba-tiba berubah di pertengahan kami asyik mengobrol. Seperti biasa kami bercanda dan …." Magara mengangkat bahunya, dia tidak tahu. Sungguh tidak ada petunjuk apa pun di otaknya. 

"Aku khawatir, Ga. Dia sudah mulai lega, seharusnya. Kafe dalam kondisi stabil dan mulai naik terus penghasilannya. Apa yang mengusiknya kali ini?" 

Ina berusaha mengingat sesuatu. "Ga, tadi dia sempat telepon aku dan tanya apa ada orang yang cari dia. Aku bilang nggak tahu, bisa saja tamu itu datang waktu aku di toilet. Entah, siapa tapi kata anak-anak ada cowok yang cari dia." 

Magara teringat kalau Kia sengaja ikut  karena menghindari sesuatu. Siapa cowok yang mencarinya, sampai Kia ketakutan dan sama sekali tidak bersedia bertemu. 

"Mbak Ina tahu nggak tempat yang biasa dia datangi kalo lagi ada masalah?" 

Ina tampak berusaha mengingat. Dia sendiri tidak tahu pasti. 

"Biasanya Kia akan ke galeri miliknya. Tapi sekarang tempat itu disandera sama Om Ryan, sampai kafe ini benar-benar stabil dan menghasilkan uang." 

Ryan Sudirja ini sebenarnya seperti apa orangnya. Sebenci itu dia sama lukisan. Anak satu-satunya kuliah sesuai jurusan yang ditentukan, lalu alih-alih lanjut sekolah seni, Kia rela mengurus kafe yang hampir bangkrut. Habis ini Ryan itu mau apa lagi? Tidak puas-puas eksploitasi anak tanpa memedulikan kemauannya. 

"Mbak, gue pengen banget cari dia. Gue ikutan cemas, nih." Magara di antara dua pilihan, kafe tidak bisa ditinggal karena pengunjung masih rame. 

"Biar gue aja yang cari." Ina mengambil ponsel untuk memesan ojek online. 

Belum dapat armada, mobil Kia perlahan memasuki halaman parkir kafe. Ina dan Magara bernapas lega. 

"Bos K dari mana aja, sih! Bikin kita jantungan, barusan saya mau cariin." Ina mengamati ekspresi Kia yang tidak sedikitpun bisa ditebak. 

Saat mereka bertemu tatap, ada  secercah bahagia di sana. Senyum yang ditahan, seperti sengaja disembunyikan, Ina menduga Kia baik-baik saja. Dia membiarkan bosnya memasuki ruangan tanpa menjawab pertanyaan. 

"Mbak, sepertinya kita nggak perlu cemas lagi." Magara hendak mengatakan hal lain, tetapi ada pesanan datang. 

Ina mengamati Magara, dia cukup peka dengan ekspresi Kia. Pegawai lain saja tidak sepeka itu. Apa mungkin karena didorong perasaan lain yang selama ini dia duga? Mereka ini menggemaskan sekali, sama-sama punya rasa tapi entah apa yang jadi penghalang untuk saling mengungkapkan. 

***

Acara ulang tahun berjalan dengan lancar. Kafe hanya menyediakan tempat dan konsumsi, sedangkan pemandu acara pihak klien sudah menyediakan sendiri. 

Para tamu ternyata ada dari kalangan orang tua. Karena itu klien meminta minuman kopi yang enak. Mereka dengar barista kafe ini adalah orang terkenal. Hasil karya tangannya memiliki nikmat yang berbeda dari barista lain. Dan mereka ingin mencobanya. 

Merasa dibicarakan, Magara berterima kasih. "Saya ikut senang, kalau pelanggan puas dengan minuman buatan saya. Selamat menikmati." 

Acara berlangsung dari jam empat sore hingga jam sembilan malam. Akhirnya, order perdana berhasil dengan begitu banyak pujian. Pegawai puas kerja keras mereka membuat orang lain bahagia. Harga yang diajukan menurut klien sesuai dengan apa yang merek dapatkan. 

"Guys, kalian sudah kerja keras dari beberapa hari lalu. Bulan ini saya akan kasih kalian bonus lebih di luar gaji bulanan. Dengan ini, saya harap kita semua bisa lebih solid dan semangat mempertahankan kafe ini. Itu dulu, perlahan kita akan membuat kafe ini menyaingi kafe lain di luar sana."

Pengumuman dari Kia langsung melunturkan rasa lelah. Ada harapan baru dan mereka tidak perlu cemas lagi seperti sebelumnya. Doa terucap di hati setiap orang di sana. Semoga kafe ini bertahan dan terus mempekerjakan mereka. 

Kafe sudah sepi dan bersih. Ina pamit lebih dulu setelah melaporkan pemasukan hari itu. 

"Gue balik dulu, Gara! Jangan malem-malem, lo. Ingetin Bos K juga, ya, suruh dia pulang ke apartemen. Dia butuh tidur yang nyaman." 

Magara menaikkan alisnya keheranan. Begitu panjang yang harus dia ingatkan ke Kia. Interaksi terakhir saja masih membuat Magara khawatir. 

" Udah, pokoknya gue nitip dia sama lo. Gue duluan!" Ina langsung melesat pergi sebelum ada protes di sana. 

Setelah memastikan kitchen dan bar beres, Magara menuju ruangan Kia. Langkahnya ragu tetapi harus dia lakukan. Sebagai laki-laki dia harus menyelesaikan masalah yang masih abu-abu. 

"Mbak Kia, gue boleh masuk?" Magara mengetuk dan bertahan di depan pintu. 

Kia yang sedang asyik dengan sketsanya, tangannya otomatis terhenti mendengar suara Magara. 

"Masuk, aja!" Tidak ada alasan bagi Kia melarangnya masuk. 

"Ada yang mau lo sampein ke gue?" Kia langsung bertanya, dia ingin tahu apa laki-laki ini akan peka seperti sebelumnya. 

"Gue mau sampein pesannya Mbak Ina." 

"Oh, kalo itu gue udah tahu. Tadi dia chat gue." 

Magara terdiam. Jelas ada sesuatu yang terjadi, tetapi dia ragu mau bertanya. 

"Ada lagi?" Kia menatap tajam. Kalau Magara masih diam saja, dia yang akan maju lebih dulu. Setelah itu biar Tuhan yang bertindak. 

"Hmm, gue …." 

"Gue mau lo jujur sama gue, Ga! Soal satu hal, jangan coba-coba bohong, ngeles, atau apa pun itu." 

Magara terhenyak. Biasanya dia berani dan tidak ragu seperti ini. Sejak awal ambil keputusan seharusnya saat ini jadi kesempatan bagus, kan. 

"Soal apa, Mbak?" Sebelum menjawab, dia harus memastikan arah pertanyaan Kia. 

"Soal perasaan lo ke gue. Sejak awal niat lo bantu gue, mustahil kalo nggak a da apa-apa. Apa sebenarnya niat lo?" 

Baiklah, Gara! Jujurlah sekarang, dan buat semuanya jelas. 

"Gue tertarik sejak melihat lo di warung pecel ayam temen gue. Pertengkaran gara-gara cokelat itu sungguh nggak ada kesengajaan. Gue bantu temen waktu itu buat baikan sama pacarnya. Setelah itu semua berjalan gitu, aja. Maaf, kalo gue lancang." 

Magara tertunduk, dan harus bersiap seperti apa jawaban bosnya itu. 

"Jadi, lo punya rasa buat gue. Tapi lo nggak kenal sama gue, Ga. Apa yang lo lihat dari gue semuanya cuma bungkus. Lo akan mundur perlahan setelah tahu fakta sebenarnya." 

"Saat ini gue nggak peduli apa pun. Gue suka karena memang itu lo. Kia tanpa nama trah Sudirja." 

Kia menatap Magara yang masih berdiri dan perlahan mendekatinya. Kia tidak menghindar, kali ini sejauh apa Magara berani bertindak. 

"Lo nggak mau tahu gue terima lo atau enggak?" Kia mengajukan pertanyaan itu tepat saat jarak keduanya hanya dua langkah. 

"Pengen banget tahu. Tetapi untuk malam ini sudah cukup gue yang ngaku. Lo, bisa pikir-pikir dulu. Pertimbangkan lagi sebelum memutuskan." 

Magara hendak berbalik, tetapi kalimat yang diucapkan Kia selanjutnya, membuat dunia Magara seketika berubah. 

"Gue juga suka sama lo, Ga." 

Bersambung

Finally, ngaku juga.
Lega juga nggak, Guys?

Thank you for reading. See you on the next part.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro