14. SWEET ROMANCE SCENE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Gue juga suka sama lo, Ga." 

Magara menatap Kia tanpa berkedip. Hening tercipta, Magara sibuk meyakinkan diri kalau dia tak salah dengar. 

"Gue suka sama lo. Sejak kapan, jujur gue nggak tahu. Apa kita bisa …." 

Kalimat Kia tak berlanjut karena Magara memeluknya sangat erat. Rengkuhan yang dirasakan Kia begitu nyaman. Dia merasa begitu dicinta dan didamba. 

"Ijinin gue lakuin ini sebentar lagi. Semua ini bukan mimpi, kan? Gue beneran peluk lo. Selama ini gue cuma berharap bisa peluk dan lindungi lo sedekat ini." 

Kia tersenyum. Magara terdengar begitu bahagia dan tidak percaya kalau perasaannya bersambut. 

Pelukan Magara terurai, tetapi mereka masih sangat dekat. Kia terhenyak mellihat mata pria di depannya basah. 

"Lo nangis, Ga?" Kia hendak menghapus air mata di pipi Magara, tetapi ditahan Magara. 

"Kenapa? Selama ini lo yang hapus air mata gue. Apa gue nggak boleh lakuin hal yang sama?" 

Magara kembali memeluk Kia yang sudah resmi jadi orang terpenting dalam hidupnya. "Gue cuma mau peluk lo, sekarang. Makasih sudah mau terima gue." 

Kia membalas pelukan Magara lebih erat. Kebahagiaan prianya menular ke hati. Ooh, Kia sendiri tidak percaya Magara sudah jadi prianya. 

"Baiklah. Hari ini kita sudah lewati satu langkah lebih maju. Haruskah kita lewati satu langkah lagi, sebagai tanda kita resmi jadian?" 

Kening Magara bertaut, dia tidak paham maksud Kia. "Maksudnya?" 

Kia lebih mendekat, lengannya terulur dan dikalungkan ke leher Magara. Kia hanya setinggi pundak Magara, sehingga berjinjit untuk mencapai keinginannya. 

Magara gugup, darimana Kia dapat keberanian seperti ini? Sebelumnya dia yang lebih dulu menginginkannya. Tetapi sekarang dia malah gugup dan khawatir tidak bisa menahan hasratnya. 

Oh, ayolah Gara! Kia sudah resmi jadi kekasih lo. Dan sekarang dia hanya mau lo menerima dia sepenuh hati. 

Magara menyambut Kia dengan tindakan lebih nyata. Dia rengkuh pinggang Kia, menahannya, sehingga lebih mudah bibir mereka bertemu. Pelan, lembut, dan saling mendamba. Perasaan aneh itu melebur menjadi satu kata, bahagia. Cinta dan rindu yang terpendam telah tersampaikan dengan begitu indah. 

***

"Mbak Ina, gue hari ini ijin libur, ya? Kemarin sudah gue siapin buat hari ini, jadi gue kira aman." 

"Libur? Ada apa, lo sakit?" Ina terdengar khawatir. 

"Enggak, Mbak. Gue sehat, kok, beneran. Hari ini gue mau pindah ke apartemen. Sayang sudah beli tapi nggak ditempati." 

Ina pikir Magara memang keuangannya minim, makanya tinggal di kos. Bareng sama temannya, lagi. Ternyata diluar dugaan, cowok itu punya apartemen. 

"Ok, Gara, take your time. Semoga lancar pindahannya. Kalo perlu bantuan bilang, ya." 

Magara tertawa di seberang. Dia menutup telepon saat semua barang sudah dinaikkan ke mobil. 

"Siapa yang pindahan, Na?" Kia ternyata sudah sampai kafe dan berdiri di belakang Ina. 

"Eh, Bos K. Ini Magara ijin hari ini. Mau pindah ke apartemen katanya." 

"Serius? Terus gimana persediaan bahan untuk hari ini?" 

"Soal itu dia sudah siapin semua, Bos. Asistennya sudah dikasih tahu, kok." 

"Ok! Gue masuk dulu."

Kia tidak diberitahu sama sekali soal ini. Apa kejadian semalam cuma mimpi dan semua cuma bercanda? 

Ayolah, Kia! Jangan kekanak-kanakan. Magara cuma pindah tempat tinggal, dan dia pasti kasih tahu kalo semua sudah beres. Sudahlah! Fokus kerjain laporan hari ini. Ingat, minggu depan pertemuan keluarga. Lo tahu apa artinya itu. 

Kia tersadarkan seketika. Pertemuan keluarga besar Sudirja makin dekat. Kafe memang sudah sudah ada kemajuan, pelanggan juga makin banyak yang datang. Saat ada reservasi untuk acara ulang tahun, konsep kafe diubah sesuai saran dari Magara. Ternyata klien suka, dan Kia putuskan untuk seterusnya dipakai. 

Saat baru saja menyalakan laptop, ponselnya bergetar. Tampak nama Barista di sana. 

"Ya, Ga?" 

"Gue yakin lo pasti sudah tahu semuanya. Jadi, kapan lo mau ke sini?" 

"Maksudnya?" 

Kia masih sedikit kesal karena tidak diberitahu lebih dulu. Kalau tahu hari ini mau pindah, dia bisa lakukan sesuatu. 

"Oh, tunggu! Lo nggak kesel karena gue baru kasih tahu, kan?" Magara baru menyadari kalau Kia sudah jadi oranng terdekatnya. Seharusnya dia tahu lebih dulu. 

"Buat apa kesel? Gue bukan tipe cewek yang nuntut cowoknya." Tentu saja Kia lebih gede gengsi daripada mengakui yang sebenarnya. 

"Ok, meskipun begitu gue tetap minta maaf. Kalo lo ke sini, gue bakal jelasin semuanya. Kita makan malam di apartemenku, gimana?" 

"Ok, Ga. Gue akan datang ke sana. Dan pastikan lo bayar lunas utang penjelasan lo." 

"Iya, gue akan bayar lunas. Bonus juga bakal gue kasih, kok. Atau lo …." 

"Jangan mikir macam-macam!" potong Kia cepat. Kenapa mendengar kalimat Magara wajahnya jadi panas? Mendadak gerah, padahal masih pagi. 

Magara tak bisa menahan senyumnya. Kia langsung menutup telepon setelah dia menggodanya tadi. Dia harus bersabr hingga malam tiba. 

Apartemennya tidak besar. Tetapi nyaman dan cukup besar andai Kia datang berkunjung dan menginap. Ups, kata Kia tidak boleh mikir macam-macam. Aoartemen Magara ada dua kamar cukup besar dan nyaman. See? 

Magara tidak akan nekat melakukan hal itu. Masih terlalu dini dan dia ingin selamat hingga bisa melamar resmi bosnya. Harapan yang masih kabur tetapi jelas ada dalam list rencana hidupnya.

***

"Ma, kamu sudah pastikan semua keluarga datang?" Ryan menghampiri istrinya yang sedang membersihkan wajah di depan kaca rias. 

Dia begitu mencintai Ratih, dulu sampai sekarang. Tanpa melihat kekurangan atas fakta mereka tidak bisa memiliki anak. Dalam hal ini Ratih yang bermasalah, dan semua karena dirinya. 

"Sudah, Pa! Atau kamu mau pastikan lagi? Asistenku bisa kasih laporannya." 

"Tidak perlu, sekarang kita lupakan urusan pertemuan itu." Ryan memeluk Ratih dari belakang. 

"Hari ini begitu melelahkan, ya?" 

"Hmm." Ryan mencium aroma Ratih yang selalu dia suka. Diciumnya ceruk leher sang istri dan bertahan di sana. 

"Ehm, Pa, mau ninggalin tanda lagi?" Ratih memberi akses lebih pada Ryan. Dia hampir tidak pernah keberatan dengan semua yang dilakukan Ryan. Kecuali menyangkut Kia, anak angkat mereka. 

Ryan terkekeh pelan, tapi tak bergerak dari sana. Dia mulai terpancing hasrat dan menginginkan lebih. Ratih tak menolak, di antara dilema masalah Kia, dia juga mencintai suaminya. 

Tak ada masalah berarti selama pernikahan. Mereka hanya peduli dengan perasaan satu sama lain. Bagaimana Kia bisa ada di antara mereka itu pun karena Ratih yang menginginkan. Dan, Ryan mengijinkan adopsi demi istrinya bahagia. 

Kehilangan rahim adalah hal paling menyakitkan bagi Ratih. Mimpi ingin memiliki putra dan putri sepasang bahkan kembar, hanya jadi keinginan yang tak kan pernah terwujud. 

Ryan berhasil menutup kesedihan itu saat mereka menemukan Kia yang masih bayi ditinggal di depan rumah. Dengan segala cara, Ryan lakukan supaya bayi itu bisa mereka rawat. 

Sangat disayangkan, kini tujuan Ryan merawat Kia berubah. Ratih kecewa tapi tak sanggup melawan suaminya. 

Bersambung

Wah, selamat buat fans Magara dan Kia.

Thank you for reading.




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro