17. SUDIRJA'S PARTY

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Seharusnya nggak masalah, Ga. Entahlah, gue ngerasa di sana nanti jadi orang asing." Kia memang orang asing karena bukan anak kandung dari Ryan Sudirja dan Ratih. 

Meskipun orang lain tahunya dia keturunan Sudirja, tetapi fakta tetap tidak mungkin disembunyikan selamanya. Kalau bisa dia ingin pergi saja tanpa harus bawa apa-apa. Tetapi kalau dia pergi begitu saja, akan muncul masalah baru, bagi diri dan orang tua angkatnya. 

"Lo kan, anak satu-satunya, Mbak. Nggak mungkin mereka akan mengabaikan putri cantiknya ini." 

Kalo lo tahu siapa gue sebenarnya, apa lo akan tetap di sini dampingi gue, Ga? Kenyataan kalau gue bukan anak kandung mereka, apa akan mengurungkan niatmu, entah apa itu tujuan lo?

"Tapi gue butuh …." 

"Gue udah siapin yang lo perlu, Mbak. Gue benar-benar jadi pacar yang pengertian, kan?" Magara menatap jahil kekasihnya yang tertawa mendengar betapa sombong dirinya. 

"Iya, gue percaya. Tapi kalo pengertian, memang lo nggak bakal cemburu biarin gue sendirian? Sepupu-sepupu gue gantengnya kayak Oppa Korea yang sering gue lihat di drama Korea." Kia sengaja mengatakan itu. Dia ingin tahu apa reaksi Magara. 

Cowok itu menghela napas sambil memegang dadanya. Ekspresinya dibuat tak berdaya, sedih, dan nelangsa. 

"Ga, kenapa lo? Nyesel nggak ikut? Atau lo berubah pikiran?" 

Magara langsung mendekati Kia dan menatapnya lama. Entah apa alasan dia begitu sayang perempuan ini. Tak rela rasanya dia dilirik pria lain, siapa pun itu. Bahkan dia cemburu dengan Oppa Korea yang sering bikin pacarnya baper. Tidak masuk akal dia sebucin ini. 

Ditatap begitu lama tanpa mengatakan apa pun, membuat Kia berinisiatif lebih dulu. Tangannya terulur mengusap pipi Magara dan mendekatkan wajahnya. Makin dekat, makin membuat jantung pria ini berdetak lebih kencang. 

Mau apa lo, Mbak? Ingat, ini ruangan di kafe. Meskipun nggak ada CCTV, pintu nggak dikunci dan siapa pun bisa masuk tanpa mengetuk pintu. 

"Kita bisa terusin ini di apartemen gue atau ke tempat lo?" Kalimat Magara ini menghentikan aksi Kia yang hampir membuat rahasia mereka terbongkar. 

"Terus maksud tindakan lo barusan apa?" bisik Kia tepat di dekat telinga Magara. 

Pria itu tersenyum. "Melihat pacarnya yang cantik, apa nggak boleh?" 

Pipi Kia akhir-akhir ini mudah sekali merona. Dibilang cantik sambil ditatap begini, hatinya sudah deg-degan. Dia mengalihkan wajahnya dan berbalik mau ke meja kerjanya lagi. 

"Boleh. Tapi siapin sesuatu dulu buat gue perang menghadapi keluarga besar."

Magara menyerahkan flashdisc dengan penuh keyakinan. "Sudah gue siapin sejak awal kita sepakat mengubah kafe ini." 

Kia menatap benda kecil itu dengan rasa tidak percaya. Dia pasang di laptop dan melihat isinya. Matanya membulat, Magara membuat rekapan semua dari awal dia datang hingga hari di mana semua sibuk membuat acara ulang tahun klien, waktu itu. 

"Ga, ini bagus banget. Lo buat ini kapan?" Kia menonton video sepanjang sepuluh menit itu nyaris tanpa berkedip. 

"Gue buatnya bertahap, Mbak. Begitu lengkap semua, gue edit dan jadiin satu. Khusus laporan keuangan tugas lo buat yakinin Pak Ryan." 

Dengan gerakan cepat, Kia mendaratkan kecupan singkat di pipi pacar berondongnya itu. 

"Makasih, Ga." Kia hampir menangis haru karena tidak menduga Magara lakukan semua ini. "Ok. Gue rasa persiapan sudah maksimal, dan gue harus hadapi apa pun yang terjadi." 

"Kita, Mbak. Inget, lo nggak sendiri. Kafe ini sudah jadi hidup kita semua di sini. Kita perjuangin sama-sama." 

Benar. Semua tanggung jawab yang selama ini berat, sekarang terasa ringan. Magara mengubah semua hal dalam hidupnya. Kia pun sudah siap jika harus melepas semua kemewahan yang dia pakai sekarang. Karena pada faktanya dia tidak berhak memiliki. 

***

Hari yang mendebarkan tiba juga. Kia sudah mengikuti perintah Ratih untuk memakai gaun yang dia kirim ke kafe. Berikut sepatu, dan alamat salon yang harus dia datangi. 

Dua pengawal yang awalnya ingin dilaporkan Kia ke Ryan melakukan tugasnya dengan normal. Sehingga Kia melupakan niatnya itu. Dia lebih khawatir untuk persiapan acara besar hari ini. 

Dua bulan kafe sudah bisa berkembang tetapi kenaikan omset belum bisa dikatakan fantastis. Kalau Ryan belum puas dengan usahanya, mungkinkah dia harus melupakan segala hal tentang lukisan? Kia tidak akan sanggup melakukan itu. 

"Sudah selesai, Mbak." Sang pemilik salon memberikan sentuhan terakhir untuk tatanan rambutnya. 

Kia memperhatikan bayangan dirinya di cermin. Siapa makhluk yang cantik itu? Hatinya menjawab, dia Kia Sudirja. Lalu yang sedang melihat sosok cantik itu, siapa? Dia hanya seorang Kia yang tertutup oleh cangkang bernama Sudirja. 

Magara menatap kekasihnya tanpa berkedip. Kia selalu cantik, tapi gadis di depannya ini mempesona. 

"Stop natap gue kayak gitu! Gue risih pake baju ini." Kia menutupi bagian pundaknya yang terbuka. 

"Kenapa? Lo nggak nyaman? Atau kita beli aja gaun lain yang kamu nyaman pakainya. Ayo!" Magara masih bisa  kalau cuma beli gaun satu, dengan catatan merek lokal. 

"Bisa digorok Papa kalau gue datang nggak pake baju ini. Gue  yakin semua ini  atas perintah dia." 

Magara menghela napas. Dihampirinya gadis yang sedang kesal itu, lalu dia rengkuh dalam pelukan. 

"Sabar, ya. Aku beli outer, gimana? Barangkali ada yang cocok sama gaun ini." 

Kia langsung mengangguk beberapa kali. Ide Magara terkadang di luar jangkauan otaknya. 

Kia sudah sampai di depan ruangan tempat acara diadakan. Dia juga tuan rumah selain orang tuanya. Sungguh di luar dugaan, semua terlihat mewah dan spektakuler. 

Andai Magara ikut, dia tidak akan merasa sendiri dan kesepian seperti sekarang. Saat menapaki ruangan, Kia menghilangkan gugup dan rasa takut yang sempat mengganggu. Ekspresinya datar dan dagu terangkat, itulah seorang Kia yang dibentuk oleh Ratih. 

"Halo, Kia! Lama nggak ketemu." Salah seorang sepupu yang Kia tahu baru pulang dari London menyapa dengan angkuhnya. 

"Halo, Brian. Gue denger lo sukses bikin usaha katering di London. Selamat, ya." Kia sudah mencari tahu info terbaru dari beberapa sepupu yang seumuran dengannya. 

"Aah, kateringnya masih partai kecil. Tapi bikin gue betah di sana. Lihat, gue baru saja beli mobil lagi, yang lama gue kirim buat lo, gimana?" 

Kia tersenyum miring. "Ooh, baik banget sih, lo. Tapi …." 

"Gue bisa beliin dia, kok. Nggak perlu." 

Kia sontak menoleh saat mendengar suara yang tak asing lagi di telinganya. 

"Satya?" Kia tak menyangka pria itu datang. 

"Jangan banyak berpikir Tuan Putri. Hari ini kamu bintangnya, senyum, dong!" bisik Satya tepat di telinganya. 

Reflek Kia mundur selangkah, tapi tangan Satya lebih cepat meraih pinggangnya. Otomatis posisi Kia mendekat lagi ke Satya. 

"Lepasin tangan lo!" geram Kia tak suka. 

Bersambung

Satya tangannya tangannya, disekolahin dulu, dah!

Sabar, Guys. Kia bisa ngatasin. Tenang.

Thank you for reading. See you on the next part.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro