1. Chaotic Family

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ghea mengedarkan pandangannya pada sekeliling rumah yang terasa asing sejak kepulangan Mama ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Setiap perabotan memang masih sama, tata letaknya pun tidak berubah, hanya saja tidak terasa sentuhan ajaib Mama yang membuat rumah selalu menjadi tempat yang paling dirindukan Ghea. Dan satu hal yang membuat rumah ini semakin asing adalah ... tidak ada mama.

Vas bunga yang selalu dihiasi bunga-bunga cantik di atas meja harus pasrah dengan beberapa kuntum anggrek layu yang sudah hampir dua minggu yang lalu dibawakan Ghea. Ingatkan Ghea untuk tidak repot-repot membawa bunga lagi lain kali. Jangankan terawat, penghuni rumah ini bahkan sepertinya tidak sadar kalau air di dalam vas sudah kering kerontang.

"Kenapa pulang? Perlu duit?"

Ghea mengembus napas besar-besar sambil merapal mantra di dalam hati, 'sabar Ghea, setelah lulus kuliah kamu udah bisa kerja dan menghasilkan duit sendiri. Dan saat itu tiba nanti, kamu nggak akan perlu berurusan lagi dengan perempuan jalang itu.'

"Kalo ditanya itu dijawab dong, bukannya melotot gitu," sambung suara sumbang itu lagi.

Tanpa merasa perlu menjaga sikap, Ghea sengaja membelalakkan mata besarnya ke arah wanita bersuara sumbang yang merenggut kebahagiaan keluarganya itu. Jangan harap Ghea akan sudi menyebut wanita itu sebagai ibu, karena jelas-jelas wanita itu adalah pembunuh. Kalau bukan karena kehadirannya, Mama mungkin masih hidup sampai saat ini.

"Kamu itu orang paling bodoh yang pernah aku kenal, Ghea," Retno mulai berorasi. "Punya orangtua kaya raya, tapi malah memilih untuk hengkang tanpa membawa sepeser pun, hanya karena ingin membuktikan kepada Papamu kalau kamu bisa bertahan hidup tanpa dia. Buktinya sekarang apa? Sudah beberapa bulan ini kamu bolak-balik ke sini hanya untuk mencari Papamu. Kalau aku tebak, pasti kamu butuh uang kan?"

Bergerak dari posisi duduk santai di sofa malas (tempatnya sedang mengutak-atik kotak perhiasan milik mendiang ibunda Ghea), Retno dengan berjalan lurus ke arah vas bunga di atas nakas. Dia lantas menarik sisa-sisa bunga kering dari sana dan melemparkannya ke dekat kaki Ghea. "Masih sok-sok-an bawa bunga segala tiap kali ke sini! Kamu pikir ada yang peduli dengan pemberianmu! Mending juga kamu bawa duit tunai. Asal kamu tahu, untuk mengisi kulkas aja Papamu harus jual jam tangan kesayangannya. Dia benar-benar udah hancur sekarang!" Tidak lupa Retno mendramatisir dengan cara memijak bunga-bunga kering itu brutal.

Sakit hati? Jelas.

Ghea membeli bunga-bunga itu sebelum tiba di kediaman ini hanya untuk menghargai peninggalan mendiang Mama. Mama tidak akan pernah lupa mengisi bunga-bunga segar ke dalam vas bunga kesayangannya. Vas bunga buatan mendiang Oma.

Tapi bukan Ghea Chalondra namanya kalau harus menangis di depan penyihir seperti Retno.

Menjadi Putri lemah lembut dan penuh kesabaran bukanlah kepribadian Ghea. Alih-alih mengasihani dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa di rumahnya sendiri, Ghea memilih untuk mengabaikan nyeri di hatinya dan berjalan maju. Langkah kaki Ghea diarahkannya pada tempat yang baru saja ditinggalkan Retno.

"Kenapa perhiasan Mama tinggal ini?" tanya Ghea tenang, sambil memerhatikan kalung dengan liontin berbentuk hati di dalam kotak. Ghea kenal kalung itu. Itu adalah kalung kesayangan Mama yang diwariskan oleh Oma. Dan sialnya, kalung itu menjadi satu-satunya perhiasan Mama yang tersisa di dalam kotak.

Tanpa bertanya pun, seharusnya Ghea sudah tahu ke mana lenyapnya perhiasan Mama yang lain. Ke mana lagi kalau bukan karena dijual oleh penyihir itu untuk memenuhi gaya hidupnya yang jetset? Kalau saja dia tahu Papa sedang menuju kebangkrutan saat menikahinya, mungkin dia sudah akan mundur teratur dan memilih korban yang lebih kaya daripada Papa.

"Sepertinya Papamu menipuku saat mengatakan dia adalah konglomerat. Konglomerat apanya? Sehari-harinya cuma berurusan sama mafia kalau bukan reintenir. Heran aku!"

Ghea tertawa sumbang, "Hanya orang bodoh yang akan mudah terpedaya omong kosong, Nyonya."

"Heh! Apa yang kamu lakukan dengan perhiasan itu???" panik Retno saat melihat Ghea menyelipkan kalung ke dalam tas yang tersampir di samping tubuhnya sejak tadi.

"Kamu sendiri yang bilang kan, kalau aku bodoh karena nggak pernah membawa apapun dari tempat ini. Jadi sekarang kurasa aku perlu membawa oleh-oleh dari tempat ini."

Retno cepat mencekal tangan Ghea ketika Ghea akan melewati tubuhnya menuju pintu keluar. "Jangan berani-beraninya mencuri kalungku ya!" bentak Retno.

Retno harus pasrah tubuhnya terhuyung saat Ghea menarik tangannya dengan kekuatan super dari cekalan Retno. "Ini peninggalan Oma untuk Mama, jangan berani-beraninya menyebut kalung ini milikmu!"

Merasakan sendiri bagaimana kuatnya kekuatan Ghea, nyali Retno mulai menciut. Berdeham kecil, Retno berseru, "Terserah ah! Aku nggak mau tahu! Lagian, kalung murahan begitu dijual juga nggak ada harganya sama sekali!"

Mengabaikan komentar Retno, Ghea jadi ingat tujuan utamanya datang ke tempat ini. Untuk mencari Papa yang sudah sebulan tidak bisa dihubungi. "Di mana Papa?"

Pertanyaan Ghea dijawab dengan sebuah seringai. "Dia juga nggak hubungi kamu sama sekali?" Retno mengangguk seakan paham maksud dari diamnya Ghea. "Itu artinya dia memang sudah melarikan diri. Nggak heran sih, dia udah dikejar-kejar semua orang. Para karyawan yang menuntut pesangon, partner perusahaan, reintenir, bank bahkan polisi."

Untuk fakta yang baru didengarnya dari Retno, Ghea harus terperanjat. Memang Ghea sudah menduga hari seperti ini akan tiba, tapi Ghea ternyata masih belum siap menghadapinya langsung. Apakah ini artinya ... Ghea benar-benar sudah kehilangan semuanya?

Sama seperti anak perempuan kebanyakan yang cinta pertamanya jatuh pada sang ayah, Ghea juga mencintai Papa. Walau rasa cinta itu kian lama kian memudar karena semua sikap buruk Papa, tapi sepertinya kunjungan bulanan Ghea ke rumah ini adalah bukti nyata betapa Ghea masih peduli pada pria yang sudah menelantarkannya itu.

"Kapan terakhir kali Papa pulang?" interograsi Ghea.

"Satu minggu yang lalu. Dan saat itu juga dia nggak bisa dihubungi sama sekali," jawab Retno serius. Ghea bisa meyakini kalau Retno tidak sedang berbohong karena wanita yang lebih cocok jadi kakaknya itu tampak sama khawatirnya dengan Ghea. Namun Ghea yakin, kekhawatiran mereka berada di titik yang berbeda. Ghea murni khawatir pada keselamatan Papa, sementara Retno khawatir akan kelangsungan hidupnya. Terbukti dari celutukan Retno selanjutnya. "Kalau begini caranya, aku harus menjual semua perabotan rumah ini sebelum ikut kabur seperti Papamu."

"Hei! Jangan berani-beraninya kamu ya!" tangan Ghea sampai mengacung ke wajah Retno saking marahnya dia.

"Kamu pikir aku nggak berani? Nggak ada yang bisa menghalangi aku. Siapa cepat, dia dapat!" tantang Retno, tidak mau kalah.

**

Ben sedang mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di atas permukaan jam tangan yang dikenakannya sambil menghitung lama waktu kekasihnya yang tidak ingin ditemani masuk ke dalam rumah.

Tepat pada menit ke limabelas, kekasihnya muncul. Seperti biasa, tidak pernah lama. Dengan gerakan cepat, perempuan mungil itu masuk ke dalam mobil Ben dan tidak lupa membanting pintu untuk melampiaskan emosinya.

Perihal kelakuan Ghea yang selalu emosional setiap kali keluar rumah orangtuanya adalah hal yang biasa Ben hadapi. Walaupun mengaku membenci ayahnya, Ghea selalu melakukan kunjungan bulanan untuk bertengkar ayahnya itu. Entah untuk mengingatkan ayahnya supaya berhenti meminum alkohol, entah untuk memperingati ayahnya tentang berbahayanya istri mudanya, entah untuk membujuk ayahnya supaya mulai fokus membenahi perusahaan. Itu sebagai bukti kalau Ghea sebenarnya masih peduli pada pria yang membagi darahnya dengan gadis itu. Oleh sebab itu Ben tidak bisa menahan dirinya untuk mencoba menghibur dan menenangkan setiap kali Ghea keluar dari rumah dengan kondisi marah-marah. Persis seperti saat ini, saat napas Ghea sudah siap mengeluarkan api, saking panasnya.

Tidak butuh kata-kata, karena Ghea tidak akan pernah mau mengaku tentang kehancurannya. Maka Ben akan menawarkan pundaknya, berharap Ghea akan menumpahkan airmatanya di sana.

Tangan besar Ben sudah merangkum tubuh Ghea lembut saat perempuan itu berontak, "Aku nggak perlu dipeluk-peluk. Aku nggak perlu dikasihani. I'm fine. Okay?"

Seperti biasa, gadisnya selalu keras seperti batu karang.

"Jadi gimana? Apa yang membuat Om nggak ngangkat teleponmu sebulan ini?" tanya Ben berusaha menjadi pendengar.

"Papa udah seminggu nggak pulang. Perempuan jalang itu bilang Papa melarikan diri," gumam Ghea sambil berusaha keras menyangkal kebenaran informasi yang dibaginya. "Nggak mungkin bangetlah. Dasar Si Retno itu aja yang bikin Papa nggak kerasan! Lagian Papa juga nggak bisa dibilangin sih, ngapain juga nikahin perempuan sinting kayak gitu!" Ghea mulai emosi lagi.

"Coklat?" Ben mengeluarkan coklat yang sengaja disimpannya di dashboard. Belajar dari pengalaman; bunga, kopi, kata-kata romantis tidak pernah berhasil mengembalikan keceriaan Ghea, maka Ben mencoba alternatif baru. Coklat.

Kali ini Ben sepertinya harus tersenyum puas, karena Ghea menerima coklat pemberiannya. Ghea membuka bungkusnya seperti anak kecil sedang menguliti bungkusan kado. Tidak sabaran. Cepat, gigitan demi gigitan Ghea torehkan pada coklat batangan itu.

"Bagi dong ...," pinta Ben menginterupsi.

Ghea menyodorkan coklat batangan yang tersisa setengah, tapi Ben malah menjilat lelehan coklat yang menempel di sekitar bibir Ghea.

"Jorok, ih!" jerit Ghea bergidik.

"Iya. Kamu jorok. Aku bersihin."

"Kamu beneran dokter bukan sih? Nggak ada higienis-higienisnya sama sekali!" Ghea meraih tisu dan melap bibirnya sendiri.

"Kamu beneran udah mau lulus kuliah bukan sih? Makan aja masih belepotan!" balas Ben.

"Gimana nggak belepotan, orang coklat yang kamu kasih aja udah meleleh-leleh gini!"

"Mana-mana?" Ben menumpu tangannya membungkus tangan Ghea yang memegangi coklat.

"Nih-Ahhh!!! Ben!!!" Ghea yang ingin membuktikan perkataannya harus rela wajahnya dinodai lebih banyak coklat, karena Ben sengaja mengarahkan tangannya yang masih setia membungkus tangan Ghea yang penuh coklat ke wajah Ghea. Alhasil, bibir Ghea semakin bercelemotan coklat.

Tidak ingin kotor sendiri, Ghea membalas dengan mengarahkan coklat ke wajah Ben juga.

Jadilah keduanya saling balas membalas coel-coel coklat, hingga tidak hanya wajah, melainkan pakaian dan beberapa area di jok mobil Ben juga turut mencicipi coklat.

Tapi Ben tidak masalah. Harga dari semua noda ini tidak sebanding dengan tawa yang akhirnya terbit di wajah Ghea.

"I love you, Ghea," ucap Ben setelah coklat yang diberikan Ben tinggal tersisa bungkusnya. Banyak yang terbuang tak tentu arah, namun sebagian berhasil masuk ke pencernaan Ghea dan Ben.

"I know," balas Ghea acuh tak acuh.

"Perlu aku bantu untuk mencari keberadaan Papamu? Aku punya beberapa kenalan di kepolisian," Ben menawarkan.

"Nggak usah, Ben. Aku bisa mengatasi sendiri," tolak Ghea halus.

"I always wonder, sampai kapan kamu akan begini?" tanya Ben sambil mengenyakkan punggungnya di sandaran kursi mobil, dengan pandangan tidak lepas menatap Ghea.

"Begini gimana, maksud kamu?" Ghea masih saja acuh tak acuh karena sibuk membersihkan noda yang bertebaran di sana-sini.

"Menganggap kamu cuma berjuang sendiri di dunia ini, dan nggak pernah memberi aku izin untuk mencampuri kehidupanmu?"

Kegiatan bersih-bersih Ghea sukses terusik. Pikiran Ghea mulai mencari-cari jawaban yang paling tepat untuk memuaskan Ben. Walau tidak cinta, Ghea harus mengakui kalau keberadaan Ben cukup membantu. Ben selalu ada di susah-senang Ghea. Tapi setiap kali Ghea bertemu dengan pria idamannya, Ghea lupa semua tentang Ben.

"Aku nggak mau ketergantungan sama kamu," jawab Ghea berusaha diplomatis.

"Aku ini pacarmu, wajar kalau kamu ketergantungan sama aku, Ghe." Saking seriusnya, Ben sampai menegakkan punggungnya saat mengatakan ini.

"Trus kalau kita putus, aku gimana? Terseok-seok sendiri? You know what, aku lebih suka belajar mandiri dari awal," pungkas Ghea.

Ben mendengkus untuk melampiaskan kekesalannya. "Kenapa sih kamu selalu mikir tentang putus?"

Karena aku cinta sama pria lain, adalah jawaban yang terpatri jelas di benak Ghea, namun dia menjawab dengan senjata andalannya. "Karena kamu nggak akan pernah siap untuk membina rumah tangga."

☘️☘️☘️


"Iya. Kamu jorok. Aku bersihin."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro