2. Om Bucin vs Pria Sederhana

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu mau buka usaha penjualan barang-barang bekas?"

Pertanyaan itu akhirnya meluncur dari bibir Ben setelah petugas pengangkutan menjejalkan tv, kulkas, oven, lampu hias, guci dan vas bunga serta beberapa bingkai foto ke dalam rumah kos Ghea. Beberapa barang yang ukurannya besar terpaksa diletakkan di depan pintu karena kamar Ghea sendiri sudah cukup sempit.

Ghea menggelengkan kepalanya lemah. "Nggak tega aku jual semua ini. Semuanya ngingetin aku sama Mama. Tapi aku juga nggak mungkin biarin semua barang-barang ini dijual sama Retno Sialan itu!!!" Emosi Ghea memuncak saat menyebutkan nama ibu tirinya. "Kamu tahu nggak sih, dia udah jual apa aja?"

Ben mengangkat alisnya, kemudian menggelengkan kepala.

Ghea mendengkus lemah saat mengingat betapa kosongnya rumah yang pernah menjadi tempat tumbuh kembangnya, beberapa jam yang lalu. Segala perabotan mahal sudah lenyap. Yang tersisa hanya barang-barang yang berdaya jual rendah, itu pun tidak seberapa jumlahnya. Takut semua barang itu bernasib sama dengan yang sudah terjual oleh Retno, Ghea mengangkut semuanya ke kosannya. "Ah, aku bahkan nggak sanggup nyebutin satu per satu!"

Hati-hati, Ben menyentuh pundak Ghea dan menggiring kekasihnya itu masuk ke dalam kamar yang ternyata juga sudah sesak karena dipenuhi kardus-kardus. "Trus gimana kamu bisa nyaman di kamar ini dengan semua kekacauan ini, Sayang?"

"Jadi aku harus gimana? Biarin penyihir itu ngabisin semuanya sampai nggak bersisa?"

"Kamu kan bisa minta tolong aku. Aku bisa letakin beberapa di garasi rumah."

"Dan buat aku harus berurusan sama Mama kamu lagi?" sinis Ghea. "Aku nggak mau nambah urusan ya, Ben! Apalagi dengan Tante Mala!"

Ben mengangkat tangannya tanda menyerah. Membahas tentang ibunya selalu membuat Ben serba salah. Maka Ben mencoba untuk mengajukan alternatif lain. "Aku bisa letakin di gudang Rumah Sakit juga sih."

"Pokoknya aku nggak akan ngerepotin siapapun. Aku bisa ngurus semuanya sendiri!" Ghea berkeras.

Tidak ingin ribut lebih lama, Ben segera memesankan minuman dingin kesukaan Ghea melalui kurir. Beruntung minuman dingin itu sepertinya berhasil mendinginkan emosi Ghea kali ini.

Sambil duduk di tepi ranjang dengan kaki melipat hingga menyentuh dagu, Ben bersuara hati-hati. "Sayang ... aku memang cuma pacarmu, tapi aku ada di sampingmu bukan hanya untuk bersenang-senang. Walau nggak tahu perjalanan kisah kita ini bakal berujung sampai di mana, tapi selama kita bersama, bisa nggak sih kamu membagi kesulitanmu sama aku?"

Ghea yang duduk di samping Ben langsung meliriknya tajam. "Serius, kamu nanya gitu?"

Ben mengangguk. "Aku tahu masalahnya ada di aku, karena aku trauma dengan keluarga. Tapi emangnya kamu sendiri udah siap kalau aku ajak nikah sekarang? Kamu sendiri yang bilang kalau kamu masih terlalu muda. Kamu punya banyak impian yang pengin kamu wujudkan. Ya, kita nggak harus melangkah jauh sekarang kan? Tapi selama kita bersama, kenapa engga kita saling mengisi satu sama lain?"

Ghea tertawa sinis. "Masa kamu nggak bisa bayangin sih apa yang akan terjadi kalau aku dan kamu sampai terlibat sejauh itu?" Ben hanya terdiam, maka Ghea memutuskan untuk menjawab sendiri. "Mamamu, Tante Mala, pasti akan langsung mengisi celah untuk membuat kita berakhir di pelaminan. Dan itu adalah hal terakhir yang kita berdua inginkan."

Ben masih bergeming. Tidak membantah, karena itu benar adanya. Lebih dari apapun, Mala sangat menginginkan anak semata wayangnya membina keluarga yang harmonis. Katakanlah ini sebagian dari tujuan hidupnya karena sudah gagal memberi contoh baik bagi Ben. Tapi dipaksa dan dibujuk sekeras apapun, Ben masih saja enggan. Karena banyak alasan.

"You know what, Ben," Ghea akhirnya bersuara setelah senyap menguasai beberapa saat. "Kita kayaknya cuma ngabis-ngabisin waktu dengan semua ini."

"Maksud kamu?" Ben mulai panik. Kalimat Ghea sudah terlalu akrab di telinga Ben. Kalimat serupa tapi tak sama kerap Ghea ucapkan kalau dia akan meminta....

"Kita bubar aja deh."

Ya, bubar.

Ben menggigit bibir bawahnya keras. Nyaris berdarah, tapi yang sakit bukan bibirnya, melainkan hatinya. Ghea harusnya tahu kenapa Ben tidak pernah melawan Mala. Sama seperti Ghea seharusnya tahu kenapa Ben tidak akan pernah meninggalkan Ghea atau menikahi Ghea.

Ghea menyorot Ben tajam, setajam silet, saat berkata, "Hubungan kita nggak akan pernah berhasil, Om. Sebaiknya kita berhenti di sini."

Panik, Ben berusaha mencegah. "Jangan sekarang, Ghe. Aku berangkat ke London besok. Tolong jangan memperburuk situasi saat kita akan berjauhan begini."

Ghea turun dari ranjang, melempar kemasan minuman dingin yang berisi sisa es batu yang belum mencair ke dalam keranjang sampah, lantas mencangklongkan tas selempangnya melewati kepala. "Bodo amat! Aku harus ke kampus, ketemu dosen!"

"Ghea!" susul Ben. Hendak mencekal lengan Ghea, namun Ben kalah gesit dengan gerakan lincah Ghea yang nyaris berlari menuju pintu.

"Jangan lupa kunci pintu dan titip kuncinya di satpam sebelum kamu pulang nanti." Pesan Ghea sebelum menutup pintu. Satu detik kemudian pintu terbuka lagi. "Dan, jangan hubungi aku lagi!" tambahnya.

**

Ghea berusaha memeras otak. Kira-kira alasan apalagi yang bisa dia gunakan untuk bisa berinteraksi dengan pria pujaannya?

Bimbingan skripsi? Butuh referensi buku? Tugas kuliah?

Ah, semuanya sudah pernah Ghea gunakan dan hasilnya sama sekali tidak memuaskan. Ghea dan pria itu hanya akan terperangkap dalam obrolan yang membosankan. Padahal sekarang ini Ghea sangat ingin menghindari topik-topik membosankan untuk menghalau semua pikirannya tentang pertengkaran dengan Ben.

Kadang-kadang Ghea bingung sendiri melihat Ben. Bagaimana bisa Om-Om seumuran dia, seorang dokter pula, bisa se-bucin itu? Okelah, sedikit banyak Ghea memang sudah mendengar kisah hidup Ben yang menjadikannya pria semelankolis itu. Tapi tidakkah egonya terluka setiap kali Ghea bertindak semena-mena begini? Meminta putus sesuka hatinya?

Kalau setelah ini Ben masih akan mengemis cinta Ghea, fix, Ghea akan menghadiahinya medali. Medali sebagai pria ter-bucin sedunia.

"Hei, Ghea, kamu hampir saja menabrak dinding!"

Bersamaan dengan terhuyungnya tubuh Ghea, senyumnya terbit teramat lebar. Suara itu! Suara pria idamannya!

Tubuh Ghea tersentak mundur dengan posisi yang sangat menyenangkan. Tersandar di sebuah dada kenyal dengan sedikit gundukan di bagian perut. Siapa bilang perut sixpack juara? Buktinya bersandar di dada Ben yang rata itu tidak lebih menyenangkan daripada dada kenyal berisi milik Dana. Ya. Perdana Kusuma. Dosen mata kuliah Teknologi Komunikasi yang menjadi pujaan Ghea selama ini.

"Are you okay?" Ghea bisa merasakan suara itu menggema di telinganya karena didengarkan langsung—menempel tepat—pada dada pemiliknya.

Ghea menggunakan kesempatan itu untuk menggesek-gesekkan kepalanya di dada itu saat mengangguk. "I'm fine, Pak. Thanks to you."

"Don't Bapak me, Ghe. Kita nggak lagi di kelas," bisik Dana saat menundukkan kepalanya mendekati telinga Ghea.

Ghea menarik kepalanya menjauh, lantas mendaratkan pukulan akrab di lengan Dana. "Sibuk amat sih kamu. Jarang keliatan di kampus."

"Kalau kamu ikut mata kuliahku, kamu pasti bakal ketemu aku, paling enggak seminggu sekali," gurau Dana.

"Suruh siapa kamu kasih aku nilai A? Kalau kamu bikin aku gagal kan aku bisa ngulang di kelas kamu terus."

Dana tersenyum tipis. "Jadi dengan cara apa lagi aku bisa balas budi keluargamu selain dengan memberi kamu nilai baik, Ghe?"

Dana adalah anak sulung dari Pak Wardiman, supir pribadi Mama yang mengabdi sejak Mama menikah dengan Papa sampai dengan ajal menjemput. Ghea curiga Pak Wardiman sudah menceritakan tentang semua kisruh rumah tangga Mama kepada Dana, karena Dana sering diantar ke rumah Ghea kalau Mama harus menangis seharian di kamar. Belakangan Ghea baru tahu kalau Mama selalu menangis seharian setiap kali memergoki Papa berselingkuh.

Sejak sering muncul untuk bermain bersama Ghea pulalah, Ghea jatuh hati pada Dana. Dana tidak terlalu banyak bicara. Dia lebih banyak diam dan sibuk dengan buku-bukunya setiap kali menemani Ghea. Tapi justru ketenangannya itu pulalah yang membuat Ghea diam-diam menaruh rasa penasaran dan simpatik untuk Dana.

Suatu kali Ghea pernah mendengar betapa Pak Wardiman berterimakasih pada bonus-bonus yang diterimanya dari Mama—bonus yang didapatkan karena dengan sukarela menemani Mama menciduk perbuatan maksiat Papa—karena dengan uang itu Pak Wardiman bisa menyekolahkan anak-anaknya. Anak Pak Wardiman ada banyak. Dana si sulung punya tiga orang adik yang semuanya masih butuh biaya sekolah. Dan karena besarnya rasa terimakasih Mama pada Dana yang kerap menggantikan posisi Mama untuk menemani Ghea, Mama berjanji akan membiayai sekolah Dana sampai dia tamat kuliah.

Ghea tidak akan menganggap semua yang didapat Dana sekarang semata-mata karena bantuan Mama, karena sesungguhnya Mama hanya resmi membiayai Dana sampai dia tamat SMA, karena sisanya Dana membiayai dirinya sendiri dengan beasiswa dan kerja sampingan. Tapi kalau karena kebaikan Mama itu Dana tetap bersikeras untuk balas budi, Ghea lebih suka Dana membalasnya dengan memberikan hidupnya untuk Ghea. Menjadi kekasih Ghea, atau pasangan Ghea seumur hidup. Tapi Ghea tidak bisa meminta begitu mudah, karena Ghea tahu kalau Dana sudah punya wanita spesial yang sudah dipilihkan keluarganya untuk menjadi pasangan hidup Dana.

"GHEAAA ...!" sekuat suara itu mengaum, tubuh Ghea ditarik sama kuat oleh Lani, sahabatnya.

Ghea menoleh sambil mengerling bak ibu tiri kepada sahabatnya itu. Berani-beraninya kamu menghancurkan kesempatanku!!! Kira-kira begitulah arti kerlingan tajamnya.

Alih-alih merasa bersalah, Lani mengabaikan kerlingan Ghea dan lebih memilih untuk mengurus Dana terlebih dahulu. "Ghea bikin rusuh apa lagi nih? Udah, nggak usah diladeni."

Dana hanya terkekeh kecil mendengar tuduhan Lani. Berhubung karena Lani adalah sahabat Ghea sejak kecil, Dana jadi cukup akrab dengan keduanya. Meski tetap, Dana selalu menjaga image dan menjaga hubungan di batas kesopanan dengan keduanya.

"Lain kali, kita harus luangkan waktu untuk ngopi bareng nih bertiga, udah lama banget kan kita nggak ketemu," usul Dana.

Ghea mengangguk dengan semangat sementara Lani merespons dengan gurauan, "Yakin bisa? Bukannya situ sibuknya ngalah-ngalahin Rektor sekarang?"

Tawa Dana semakin pecah. "Untuk dua wanita spesial kayak kalian, aku akan selalu meluangkan waktu."

"Janji lho ya!" seru Lani.

Setelah berjanji dan diselingi beberapa basa-basi ringan lainnya, akhirnya Dana pun pergi meninggalkan dua sahabat itu.

"Ganjen, pikirin dong gimana perasaan Ben kalau tahu kelakuanmu kayak gini!" protes Lani dengan suara tertahan dan bibir rapat.

Ben?

Ngomong-ngomong soal Ben, dia hanya cocok sebagai pria pengisi khayalan babu. Ben itu too good to be true. Secara fisik dia oke, standar cowok-cowok metropolitan usia 30-an-lah. Kalau tidak pernah menyicip kecupan-kecupan ganas Ben, Ghea pasti tidak akan percaya kalau Ben adalah pria normal. Dia lebih mirip pria-pria yang rajin nge-gym demi menjaga penampilan dan dianggap normal. Tidak jarang Ben lebih banyak dilirik cowok-cowok ketimbang Ghea sendiri saat mereka jalan berdua di mal. Ben juga pintar dan sudah mapan. Di usianya yang menuju angka tiga puluh tujuh, dia sudah menyabet gelar sebagai neurosurgeon. Dia juga memiliki sebuah rumah sakit mewah, hasil kerjasama dengan beberapa rekannya yang berprofesi sama. Sampai sekarang saja, Ghea masih sering tidak percaya kalau dia benar-benar berpacaran dengan pria sejenis Ben.

Sementara Dana ... sangat sederhana. Usianya juga tidak terpaut terlalu jauh dengan Ghea. Paling juga selisih tiga atau empat tahun. Dia salah satu dosen termuda di kampus Ghea. Fisiknya juga tidak terlalu "Wah". Tingginya 180cm, dengan lemak yang dibiarkan merajalela di beberapa bagian tubuh. Dari semua yang ada pada Dana, Ghea paling suka bibir tipisnya. Oh ya, juga pilihan kacamatanya. Kacamata berbingkai tebal. Ghea pernah membayangkan bagaimana lucunya kalau mereka berdua berciuman. Apakah kacamata berbingkai tebal itu akan dibiarkannya menempel dan mengembun terkena uap dari mulut mereka, atau justru Dana memilih untuk melepasnya dulu?

"Heh!" hardik Lani, membuyarkan imajinasi Ghea. "Aku tahu kamu pernah punya perasaan khusus untuk Bang Dana, tapi kamu kan udah memilih untuk bersama Ben, Ghe. Jangan main hati gitu, ah. Bisa kena karma lho nanti!"

Ghea berdecak kesal. "Justru aku baru aja berhenti main hati, Lani Sayang. Aku ... putus sama Ben!"

"Apa??? Kalian putus lagi???" histeris Lani.

"Yaellah, biasa aja kali, Lan. Cepat atau lambat juga bakal putus kan?" Ghea mencebikkan bibir. "Heran deh, kamu kok getol banget sih dukung hubunganku sama Om-Om? Kebayang nggak sih kamu perbedaan usiaku dengan Ben? Itu tuh kayak yang, aku baru lahir, dianya udah mau tamat SMP, Lan! Jauh banget!!!"

"Ya tapi kan buktinya kalian berdua bisa jadian! Jadi apa salahnya dengan perbedaan usia?" Lani tidak mau kalah.

"Kamu kan tahu sih, gimana aku bisa jadian sama Ben?" Ghea gemas sendiri.

"Emangnya apa yang salah dari cara kalian jadian? Buktinya kalian bisa bertahan sampai sejauh ini."

"Jangan perburuk situasi saat kita akan berjauhan begini, Ghe...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro