3. When Ghea meets Ben

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rooftop rumah sakit Mitra Sehat menjadi satu-satunya tempat teraman bagi Ghea saat ibunya harus menjadi penghuni tetap Rumah Sakit itu setelah divonis mengidap kelainan jantung. Bukan karena tidak nyaman berada di dalam satu ruangan dengan Mama, hanya saja Ghea merasa butuh waktu untuk berhenti pura-pura tegar, dan bisa bebas menangis tanpa membebani perasaan Mama. Rooftop rumah sakit menjadi tempat yang paling aman untuk itu.

Terlebih, karena di tempat itu pula ada sebuah ruang kecil yang disediakan pihak rumah sakit sebagai chapel sederhana, yang lebih sering sepi pengunjung.

Ketika Ghea pikir dia akan melepas topengnya dan memeras sedikit air dari kelenjar airmatanya lagi sore itu, Ghea malah terjebak dalam sebuah siatusi canggung karena tempat khusyuk andalannya sedang digunakan sebagai tempat berdebat. Di ujung deretan bangku-bangku panjang yang jumlahnya tidak banyak, Ghea bisa dengan cepat memindai salah satu di antara dua orang yang berdebat itu pastilah berprofesi sebagai dokter. Hal itu tampak jelas melalui jas yang dikenakannya. Sementara yang menjadi lawan bicaranya adalah seorang wanita paruh baya. Dilihat dari garis-garis wajahnya yang menunjukkan kemiripan, Ghea bisa menduga kalau dua orang itu pasti membagi DNA yang sama.

Entah karena perdebatan yang terlalu sengit, atau karena Ghea sengaja masuk dengan gerakan ekstra hati-hati saat membuka pintu tadi, kedua orang yang sedang berdebat itu sampai tidak menyadari kehadiran Ghea.

"Nggak usah bohong, Ben. Mama udah interogasi semua rekan-rekan sesama doktermu, dan mereka semua mengaku kalau kamu nggak pernah serius berhubungan dengan perempuan," sang ibu memelas. "Mama boleh jadi contoh yang nggak benar dalam membentuk keluarga, tapi kamu nggak harus trauma karna kegagalan Mama."

"Astaga, Mama! Hanya karena Ben nggak pernah serius sama perempuan, bukan berarti Ben nggak suka sama perempuan, Ma. Demi Tuhan Ben normal, Ma." Terlihat jelas melalui airmukanya bahwa sang anak sangat frustrasi menghadapi ibunya sendiri.

Ghea yang tadinya sudah berniat untuk menepi demi memberikan privasi bagi dua ibu-anak itu tiba-tiba merasa iba. Bagaimana mungkin orientasi seks seorang anak bisa menjadi penghalang kasih sayang dalam keluarga kecil itu, pikir Ghea. Alih-alih menyingkir, kaki Ghea malah terpaku. Rasa penasaran tentang kelanjutan perdebatan itu menguasai pikirannya.

"Jadi kenapa semua perempuan yang Mama sodorkan nggak pernah bisa meluluhkanmu? Diana, Rosa, Hilda kurang apa, Ben? Mereka itu semua sangat wife material. Kamu perlu perempuan yang seperti apa lagi sih?" desak sang ibu lagi.

"Mama nggak usah repot-repot mencarikan Ben calon istri. Ben bisa cari sendiri," pungkas sang anak. Masih dengan tampang kesal, sang anak memutar tubuhnya menghadap pintu, bersiap untuk meninggalkan ibunya. Namun tubuhnya tiba-tiba menegang kala menemukan sosok perempuan asing berdiri terang-terangan menatapnya.

"Jangan tipu Mama lagi, Ben! Mama tahu kamu sakit!" Sang ibu tampaknya belum ingin menyudahi. Tanpa memedulikan bahasa tubuh sang anak yang sudah terang-terangan menunjukkan keenganannya melanjutkan pembicaraan ini, sang ibu menambahkan, "Mama nggak mau tahu, Ben. Kita harus berobat. Kamu harus segera menemui psikolog untuk mengatasi permasalahanmu!"

"Sejak kapan kamu di situ?" Tidak seperti nada penuh penekanan yang didengar Ghea sebelumnya, pria yang mendapati sosok Ghea kali ini bersuara lembut. Bukan kepada ibunya, tapi jelas-jelas kepada Ghea.

Ghea kontan gelagapan. Salah tingkah karena terciduk sedang asik menguping masalah internal keluarga orang. Tangan Ghea tiba-tiba bergerak sendiri ke pelipisnya. Sambil berusaha mencari-cari alasan yang masuk akal, Ghea menggaruk-garuk pelipis itu. "Ng, aku—"

"Sayang ...."

Bola mata Ghea yang bergerak liar tiba-tiba membulat penuh, dengan fokus tepat pada arah suara. Apa Ghea tidak salah saat mendengar pria itu menyebutnya 'sayang'?

"Kenapa nggak bilang kalau kamu mau ke sini?" tanya pria itu akrab.

Hah!? Pertanyaan macam apa itu? Ghea bahkan sudah ada di tempat ini selama seminggu lebih! Lagipula, kenapa Ghea perlu memberitahu pada orang asing tentang isi agendanya?

"Kamu udah lama? Tahu dari mana aku di sini? Dari Suster Ifa ya? Maaf aku nggak angkat teleponmu, aku lagi ngobrol sama Mama soalnya." Pria itu konsisten mengajak Ghea bicara.

Tunggu-tunggu! Kenapa pria itu membuat seolah-olah dia dan Ghea saling mengenal? Ghea mencoba menyelidiki tampang pria itu saat dia berjalan ke arah Ghea. Ghea sampai harus menyipitkan kedua matanya untuk meyakinkan kalau dia benar-benar belum pernah bertemu dengan dokter setampan itu.

Belum sempat Ghea mengatasi kebingungannya, tangan pria itu tiba-tiba sudah melingkar di pinggang Ghea. Tanpa menunggu persetujuan Ghea, pria itu menarik pelan tubuh Ghea untuk digiring mendekati ibunya. Ajaibnya, Ghea tidak melawan sama sekali. Saat langkah mereka sudah cukup dekat dengan wanita paruh baya bergaya klasik itu, Ghea mendapati sebelah mata pria itu berkedip memberi kode kepada Ghea.

Ahh ... sepertinya Ghea mulai paham maksud semua ini.

Dan tentunya Ghea tidak akan keberatan menolong pria setampan ini.

"Sekarang Mama bisa hapuskan semua kekhawatiran Mama. Ben normal, Ma. Ben cuma belum memperkenalkan Mama sama perempuan ini karena Ben belum minta izin dari dia," ucap pria itu di depan ibunya sambil sesekali melirik Ghea. "Tapi karena udah kepalang ketemu di sini. Biar Ben beritahu Mama. Ini pacar Ben, Ma."

Tepat seperti dugaan Ghea, dirinya sedang dijadikan tameng untuk menutupi aib sang dokter tampan. Tapi tak masalah. Ghea bersedia membantu. Tapi cukup untuk satu kali ini saja.

"Selamat sore, Tante. Saya Ghea Chalondra. Senang berkenalan dengan anda." Ghea mengulurkan tangannya. Dari ekor matanya, Ghea bisa melihat betapa lebarnya senyum dokter tampan saat mengamatinya.

Sementara di hadapannya, sang ibu tersenyum haru. Nyaris menitikkan airmata. Dengan gamblang Ghea bisa melihat gurat-gurat kelegaan dalam wajah yang minim kerutan itu. Detik itu pula Ghea merasa keputusannya untuk ber-acting tidak sia-sia, setidaknya Ghea bisa menyelamatkan keharmonisan ibu-anak ini. Walaupun Ghea tidak bisa menjamin sampai kapan keharmonisan itu bisa terjaga.

"Mala. Ibunda Benjamin Setiawan," wanita paruh baya itu membalas uluran tangan Ghea sambil memperkenalkan dirinya. "Kapan kamu ada waktu? Saya mau undang kamu makan malam di rumah."

"Oh, nanti biar Ben atur jadwal dulu, Ma. Ben janji bakal bawa Ghea ke rumah," sela Ben menyelamatkan situasi. Ghea sempat takjub melihat betapa hebatnya Ben menguasai keadaan. Pria itu bahkan langsung tanggap melafalkan nama Ghea tanpa cela.

Mala tersenyum singkat, "Mama tunggu kabar dari kamu."

**

"Thanks. I owe you."

Setelah kepergian Mala, Ben dan Ghea memutuskan untuk tinggal di chapel dan mengobrol di deretan bangku paling depan, menghadap altar. Sebagai kalimat pembuka, Ben mengungkapkan rasa terimakasihnya atas kerjasama Ghea.

"Ya, senang bisa membantu," balas Ghea. "Saya tahu bagi sebagian orang masih sulit banget menerima perbedaan, apalagi untuk masalah yang sangat tabu seperti ini. Tapi ... sampai kapan kamu bisa menghindar?"

Ben menelengkan kepalanya menghadap Ghea, melihat keseriusan Ghea, kening Ben kontan berkerut.

"Saya tahu nggak sepantasnya saya ikut campur. Tapi saya rasa ibumu berhak tahu. Cepat atau lambat kebenaran akan terungkap," lanjut Ghea mengemukakan pendapatnya.

"Ng, kebenaran apa?" tanya Ben. Serius.

"Oh, maaf! Saya nggak sengaja dengar sebagian dari percakapanmu dengan Tante Mala. Saya ngerti kalau kamu nggak mau bahas tentang ini. Maaf-maaf," sungkan Ghea. Ghea tiba-tiba merasa bersalah karena Ben pura-pura tidak mengerti. Ghea seharusnya tahu kalau Ben pasti tidak ingin membahasnya sama sekali.

Ben merespons dengan menggelengkan kepalanya, "Enggak-enggak. Justru saya mau bahas ini. Dengan kamu. Kebenaran apa yang kamu maksud?" tuntut Ben.

Takut-takut Ghea menjawab, "Tentang kondisimu."

"Kondisi yang mana?"

Ghea menegakkan punggungnya. Setengah bingung dengan sikap Ben. Kenapa Ben malah membesar-besarkan masalah ini? Tapi oke, kalau itu yang Ben inginkan, Ghea akan mengakui semua yang diketahuinya, "Tentang orientasi seksualmu. Kamu gay kan?"

Detik pertama, Ben terperangah.

Detik berikutnya, tawa Ben meledak.

Di sela-sela tawanya, Ben bertanya, "Jadi itu sebabnya kamu kooperatif banget? Kamu pikir saya gay?"

Alis Ghea menyatu di tengah, "emangnya bukan?"

"Ya bukanlah!" elak Ben mantap, sebelum melanjutkan tawanya yang renyah.

"Jadi kenapa kamu menolak semua wanita pilihan ibumu?" protes Ghea. Entah kenapa Ghea merasa perlu tahu jawabannya. Mungkin karena setengah dari dirinya masih percaya kalau Ben adalah gay, atau mungkin juga karena sekadar memberi makan rasa penasarannya.

Ben meredakan tawanya, lantas menjawab mantap, "Saya punya alasan. Tapi bukan karena saya gay. Mama bahkan nggak berpikiran kalau saya gay, demi Tuhan!" pria itu menjawab dengan gaya dramatis. Segala bola mata diajak berotasi.

Ghea mencoba menyelidiki pria di hadapannya sekali lagi. Duduk dengan jarak sedekat ini membuat Ghea bisa memerhatikan dengan lebih seksama. Secara fisik memang pria itu tidak terlihat berbeda dengan kaum pria normal pada umumnya. Tapi, bukankah semua itu tidak bisa dinilai dari sekadar penampilan?

"Kamu masih nggak percaya?" tebak Ben saat mendapati Ghea masih ragu-ragu. "Mau saya buktikan?"

"Emangnya bisa?"

"Bisa. Kalau kamu kasih saya izin."

Ghea mulai mempertimbangkan. Rasa penasaran menyeruak kian memenuhi pikirannya, "Coba buktiin."

Ben tersenyum mesum. Ghea mulai curiga dengan metode pembuktian yang dimaksud Ben. Apalagi ketika wajah Ben semakin mendekat. Ini kenapa pula aku jadi deg-deg-an segala? Suara hati Ghea meronta. Wajah Ben sudah berada dalam radius satu jengkal ketika telapak tangan Ghea diarahkannya untuk menekan dada Ben.

"Jangan bilang metode yang kamu maksud adalah dengan cara menciumku?" todong Ghea. Hilang sudah segala bahasa formal saya-kamu.

Ben menjawab dengan senyuman. "Seorang pria dengan kelainan seksual nggak akan bisa mencumbu lawan jenis dengan penuh hasrat."

Ghea menolak kakinya dengan sebuah hentakan kuat di lantai hingga tubuhnya berada dalam posisi berdiri tegak seketika, "Gila ya! Ngapain juga aku mesti bantuin player kayak kamu!" mendadak Ghea jadi emosi sendiri.

Ben ikut berdiri menyamai Ghea, "Sebentar-sebentar. Player? Tadi kamu nuduh aku gay dan sekarang kamu nuduh aku player?" tanyanya tak terima.

"Ya iyalah. Berani-beraninya mencium cewek random yang namanya aja baru kamu tahu nggak lebih dari setengah jam yang lalu, sebutannya apa coba kalau bukan player?" Ghea masih saja meledak-ledak.

Anehnya, Ben malah tertawa renyah sekali lagi. "Ya. Dan kamu bahkan belum tahu namaku kan? kenalkan, aku Benjamin Setiawan." Ben mengulurkan tangannya.

Ghea melambai pelan pada uluran tangan Ben, "Udah sih. Aku nggak perlu formalitas begituan."

"Hei, mau ke mana?" tanya Ben saat Ghea beranjak pergi.

"Balik. Males aku berurusan sama orang nggak jelas kayak kamu," jawab Ghea tanpa repot-repot memalingkan wajahnya pada lawan bicaranya.

"Nggak jelas gimana? Aku ini dokter lho!" susul Ben.

"Paling juga dokter coass!" gumam Ghea meremehkan.

Ben tertawa lagi. "Keliatan semuda itu ya? Kalau kamu?"

Ghea sudah berdiri di depan lift, dan menekan tanda turun. Ghea bergidik saat mendapati Ben ternyata berdiri di sampingnya sambil menaik-turunkan alisnya, menanti jawaban. "Apanya?"

"Umur kamu berapa?" pertanyaan itu dilontarkan Ben saat dirinya dan Ghea sudah berada di dalam kotak lift yang bergerak turun.

"Tampangku emang kekanak-kanakan, tapi bukan berarti aku masih di bawah umur. Aku ini mahasiswa. Jangan berani-beraninya berpikir untuk mempermainkan aku ya!" galak Ghea.

Ben mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

Di saat bersamaan lift terbuka lagi, beberapa orang masuk berdesak-desakan. Beberapa yang bersitatap dengan Ben menyapa santun sambil mengucapkan salam "Selamat sore, Dok." Yang dibalas Ben dengan anggukan singkat dan senyum manis. Agaknya Ben bukan sekadar dokter coass, atau bisa jadi Ben kebetulan anak dari pemilik rumah sakit yang disegani, Ghea berasumsi.

"Jadi, kamu di lantai berapa? Lagi besuk apa nungguin?" bisik Ben membuyarkan pikiran Ghea.

Ghea baru sadar kalau jaraknya dengan Ben menjadi sangat dekat karena terdesak oleh pengguna lift yang lain. Saat Ghea menoleh ke arah suara, pemandangan kemeja biru muda dengan dua kancing teratas dibiarkan terbuka tersuguh di depan matanya. Tanpa repot-repot menanggalkan kemeja itu pun, Ghea bisa memastikan kalau ada otot-otot padat tersembunyi di dalamnya. Terlihat jelas dari cetakan yang terbentuk dari kemeja yang melekat sempurna itu.

"Hei!" Ben menundukkan wajah, menawarkan wajahnya sebagai pengganti kemeja yang ditatapi Ghea.

Demi apapun di dunia ini, Ghea tidak pernah se-blank ini sebelumnya!

Berdeham untuk mengurangi salah tingkah, Ghea melirik pada tombol angka-angka yang berderet di sudut lift. Ghea baru menyadari dia belum menekan angka tujuannya. Setelah meminta izin supaya dilapangkan jalan, Ghea menekan tombol dengan angka 3. Saat kembali lagi ke tempatnya berdiri di sudut kotak lift, Ghea mendapati Ben sedang manggut-manggut. Mungkin gerakan Ghea sudah cukup menjawab pertanyaan yang dilontarkan pria itu sebelumnya.

"Nungguin apa besuk?" tanya Ben saat lift bergerak turun.

"Nungguin," jawab Ghea malas-malasan. Dalam hati Ghea merapalkan doa agar lift bergerak lebih cepat supaya Ghea bisa tiba di tujuannya lebih cepat. Bukan apa-apa, Ghea merasa ada yang tidak beres dengan dirinya saat berinteraksi dengan Ben. Adalah bijak untuk menjaga jarak demi menjaga kewarasan.

Permintaan Ghea terkabul tidak lama kemudian, lift berdenting tepat pada saat angka digital di tepi lift membentuk angka tiga. Pintu lift terbuka, Ghea keluar sambil meminta izin lewat pada gerombolan manusia yang berdesakan di dalamnya. Saat Ghea sudah setengah jalan menapaki kakinya melalui koridor menuju kamar ibunya, Ghea tiba-tiba tersadar ada bunyi kaki lain yang seirama dengan langkahnya. Penasaran pada asal bunyi kaki itu, Ghea memutar tubuhnya.

Benar saja, di balik tubuh Ghea, berjarak kurang dari satu meter di belakangnya, Ghea mendapati sosok Ben yang ternyata membuntutinya.

Baru saja Ghea akan berteriak dan marah, seorang suster menghampiri Ben dan mengajak sang dokter berbicara serius. Mulut Ghea yang menganga berakhir mengembus tawa tertahan. Sepertinya Ghea terlalu besar kepala kali ini. Siapa pula yang sedang membuntutinya? Jelas-jelas Ben adalah dokter di rumah sakit ini, bukan tidak mungkin Ben mempunyai pasien yang harus diperiksa di lantai ini.

**

Tidak banyak yang terjadi setelah pertemuan pertama Ghea dengan Ben. Ghea bahkan nyaris lupa pada sosok Ben karena disibukkan dengan kondisi Mama yang kian hari kian memburuk. Segala keringat dan debar dalam jantung Ghea tidak pernah berhenti over produktif setiap kali menyaksikan gerak alat EKG yang disambungkan ke tubuh Mama menunjukkan tanda-tanda melemah.

Hingga pada akhirnya ... akumulasi semua ketakutan dan kecemasan Ghea yang menumpuk harus pecah dengan satu vonis dari dokter. Vonis yang mengatakan bahwa perjuangan Mama sudah sampai pada ujungnya. Waktu Mama di dunia sudah habis, Mama telah dipanggil kembali oleh Sang Pencipta.

Ghea tidak benar-benar ingat apa yang dirasakannya saat itu. Kemampuan otak dan tubuhnya untuk merespons mendadak hilang. Mati rasa. Dunia seolah berputar setiap kali Ghea menapaki tanah, hingga setiap langkahnya berakhir limbung. Seperti film, setiap highlight perjalanan hidup Ghea bersama Mama terputar otomatis di dalam benaknya. Senyum cemerlang Mama setiap kali Ghea berhasil meraih prestasi di sekolah, marah Mama yang meledak setiap kali Ghea melawan, sampai kepada ... tangis Mama yang pecah saat mengetahui perselingkuhan Papa, semuanya terpatri jelas dalam ingatan Ghea.

Bahkan saat tubuh kaku Mama sudah dimasukkan ke dalam peti, Ghea masih merasa semua ini tidak nyata. Jiwa Ghea seperti tertinggal di dimensi lain, sehingga raganya yang duduk di samping jasad Mama hanyalah seoonggok daging tak berjiwa.

"Nangis aja, Ghe, jangan ditahan-tahan. Nanti kamu malah jatuh sakit," nasihat Bi Yana, adik kandung mama yang sudah berpindah kewarganegaraan sejak menikah dengan bule Australia.

Ghea bergeming.

Nasihat itu hanya bergema menjadi bunyi yang tidak jelas di indra pendengarannya. Nasihat yang sama pula terlontar dari kerabat lainnya. Namun tidak memberi efek yang berbeda. Ghea masih saja mati rasa. Bergeming tanpa mampu merespons.

Hingga ketika jasad Mama sudah tertanam di dalam tanah, handai taulan mulai menyerah. Beberapa merasa kehidupan mereka lebih penting untuk diurus, beberapa lainnya berusaha memberi ruang dan waktu bagi Ghea untuk mengatasi kesedihannya sendiri. Tidak terkecuali Papa. Papa pun hanya bertahan sepuluh menit sebelum akhirnya menghilang dari tempat peristirahat Mama.

Saat ditinggalkan sendiri, Ghea memilih untuk menyibukkan diri mengurus kelopak bunga-bunga yang menyelimuti makam. Tidak ada yang salah dengan tatanan bunga itu, hanya saja Ghea merasa kesal pada kelopak-kelopak bunga itu. Kenapa harus bunga mawar? Mama kan paling suka bunga krisan!!! Rutuk Ghea sambil mengacak-acak tatanan bunga setengah menghancurkan. Beberapa bunga yang masih lengkap dengan daun dan tangkai berdurinya pun Ghea tarik kasar dari dalam vasnya. Tidak peduli pada duri-durinya yang menancap dan melukai telapak tangannya, Ghea meremas semuanya di dalam genggamannya.

Belum puas menghancurkan bunga tak berdosa itu, tangan Ghea mendadak tertarik mundur. Semua remah-remah bunga yang tak lagi berbentuk harus jatuh berhamburan di atas makam. Sebuah lengan kukuh dengan kekuatan yang tidak bisa dilawan Ghea merebut paksa kontrol Ghea sehingga Ghea tidak mampu melawan, betapa kuatnya pun inginnya berontak. Siapapun pemilik lengan itu, pastilah tidak tahu kalau Ghea adalah seorang gadis yang selalu mendapatkan keinginannya. Tidak terkecuali keinginan untuk menyiksa dirinya sendiri dengan semua luka dan goresan yang tercipta dari remasan bunga.

Hati-hati, Ben—sang pemilik lengan kukuhmembersihkan sisa-sisa duri dan remahan mawar dari telapak tangan Ghea. Berusaha menolak pertolongan Ben, Ghea menarik paksa tangannya. Saking besarnya usaha Ghea untuk menolak, tubuhnya sampai harus berguncang di tempat, namun dia tetap tidak berhasil menarik kembali telapak tangannya dari genggaman Ben.

Sadar waktu sepuluh menitnya terbuang sia-sia karena tidak kunjung berhasil membebaskan tangannya sendiri dari jerat Ben, Ghea menyerah. Diperhatikannya cara Ben membersihkan telapak tangannya. Usapan hati-hati, tiupan lembut, sampai kepada proses pencabutan duri yang sukses melukai telapak tangan Ghea dikerjakan Ben dengan penuh ketelitian.

Entah karena terlalu fokus memerhatikan aktivitas Ben, atau karena efek sakit dari tusukan duri baru terasa, airmata Ghea meleleh. Tetesannya jatuh mengenai tangan Ben yang masih sibuk memeriksa telapak tangan Ghea. Spontan Ben mengangkat kepalanya kepada wajah pemilik telapak tangan.

"Sakit!" keluh Ghea setengah berkelit. "Sakit banget!!!" Ghea menjerit untuk menyamarkan emosinya. Emosi yang bercampur aduk dan siap untuk meledak.

Yang Ghea tidak ketahui adalah ... sejak pertemuan pertama itu, Ben setia menguntit Ghea. Berawal dari usaha untuk membujuk Ghea memenuhi undangan makan malam dari ibunya berakhir dengan terungkapnya sebagian besar kisah hidup Ghea, tanpa sepengetahuan gadis itu. Secara tidak sengaja Ben menyaksikan beberapa perdebatan Ghea dengan ayahnya hingga Ben tahu tentang bangkrutnya perusahaan keluarga Ghea. Ben juga mendengar curhatan Ghea di depan ranjang ibunya di ICU yang membuat Ben jadi tahu tentang posisi ibunya yang sudah digantikan perempuan lain di hati ayah Ghea. Tanpa bisa Ben kendalikan, dirinya berakhir melibatkan diri dalam kehidupan Ghea. Berada di tempat ini menjadi salah satu contohnya.

Alih-alih lanjut merawat telapak tangan Ghea, Ben merengkuh tubuh gadis itu. Ben cukup paham betapa beratnya berada di titik ini bagi Ghea. Ben juga paham Ghea perlu melepaskan emosi yang dipenjarakannya demi melapangkan dadanya.

"It's okay ... Semua akan baik-baik aja ...," bisik Ben di telinga Ghea.

Hanya dengan satu kalimat penghantar itu, tangis Ghea pecah kembali. Tidak tertahan seperti sebelumnya, kali ini tangis Ghea meledak seperti sapuan gelombang pasang. Susul menyusul. Menghantam segala pertahanan diri Ghea. Menggelegar layaknya kekuatan ombak menabrak karang.

Pelukan Ben ... adalah satu-satunya perlakuan terhangat yang Ghea rasakan seumur hidupnya.

"It's okay ... Semua akan baik-baik aja ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro