4. Galau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setengah perjalanan dari Jakarta menuju London yang sudah memakan waktu nyaris tujuh jam, belum sekejab pun mata Ben terpejam. Padahal biasanya tidur di pesawat adalah hobinya. Tapi tidak dalam situasi seperti ini, saat hati dan pikirannya penuh akan Ghea.

Usaha apalagi yang harus Ben lakukan untuk membuat Ghea paham tentang perasaan Ben??? Pikirnya tak kunjung mendapat jawab.

"Kamu yakin ini cinta? Bukannya kasihan?" Litha, sahabat karib Ben menanyakan untuk ke sekian kali. Sejak pertama kali Ben mengumumkan hubungannya sampai kepada cerita putus-nyambung yang terus berulang selama satu tahun menjalin kasih dengan Ghea, Litha tidak pernah berhenti mempertanyakan ini.

Litha adalah salah seorang saksi hidup yang tahu segala seluk beluk perjalanan hidup Ben. Jauh sebelum menjadi kolega dan membangun rumah sakit bersama, Litha sudah hadir dalam kehidupan Ben. Bertiga dengan Fuad, mereka menyatakan eksistensinya sebagai BFF (Best Friend Forever) sejak masih berseragam putih-merah. Oleh sebab itu dia tidak pernah merasa sungkan untuk mengungkapkan isi hatinya kepada Ben.

"Kalau sekadar kasian, monster di bawah sini nggak bakal bangkit setiap kali aku deket sama dia kan?" sergah Ben sambil menunjuk pangkal pahanya.

"Itu mah, kamunya aja yang nafsuan!" Litha meninju pelan pundak Ben.

"Sebagai seorang dokter, kamu pastinya bisa hitung sendirilah berapa pasien yang akan membuka bajunya sendiri untuk mendapat pemeriksaan dari kita? Dan dari segitu banyaknya pasien, nggak ada yang bikin aku gila kayak Ghea, Lit. Dia pake baju lengkap aja aku kebat-kebit," Ben berdalih lagi.

Sambil menuturkan fatwanya, Ben mengingat kembali bagaimana pertama kali dia sadar kalau dia sudah jatuh terlalu dalam ke dalam kubangan perasaan yang diciptakannya untuk Ghea. Awalnya memang dia hanya ingin membantu. Membantu mengatasi kesulitan finansial Ghea, membantu menjadi sandaran untuk punggung letih Ghea, dan membantu menjadi sumber bahagia Ghea.

Dengan otaknya yang jenius, tidak sulit bagi Ben untuk selalu hadir dalam konteks kebetulan dalam setiap momen penting hidup Ghea. Termasuk pada malam Misa Arwah 100 hari kepulangan Ibunda Ghea kepada Maha Pencipta. Dengan alasan "Mengantar kelengkapan hasil pemeriksaan Mendiang Ibunda Ghea" Ben berhasil mendapat izin untuk ikut terlibat sepanjang acara missa hingga berhasil mendaratkan ciuman pertamanya ketika membantu Ghea membereskan rumah sehabis acara.

"Sudah waktunya untuk menaikkan dosisnya," bisik Ben setelah merasakan manisnya bibir Ghea. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ben tidak bisa menahan diri untuk melibatkan kontak fisik dengan lawan jenis.

Sadar sudah bersikap kurang ajar, Ben siap-siap menerima tamparan di pipinya waktu itu, tapi yang diterimanya justru wajah tanpa ekspresi Ghea saat bertanya, "Maksudnya?"

"Kalau pelukanku nggak cukup untuk membuatmu merasa lebih baik, ciumanku pasti bisa."

Hening.

"Aku belum merasa lebih baik," balas Ghea tak lama kemudian.

Ben merapatkan tubuhnya, melilit pinggang Ghea dengan kedua tangannya, dan mendesahkan kalimat, "Mungkin kamu perlu lebih banyak." Lalu Ben mengecup Ghea lagi, lagi dan lagi. Bukan kecupan singkat seperti sebelumnya, melainkan ciuman panjang dan dalam. Puncak kemenangan Ben malam itu adalah ketika dia berhasil menuntun Ghea untuk membalas ciumannya. Seperti dianugrahi dengan bakat good kisser, Ghea berhasil membuat Ben terbuai. Gerakan bibir, mulut dan lidah mereka selalu seirama dan saling mengisi. Seolah memang diciptakan untuk satu sama lain.

Sejak saat itulah Ben merasa Ghea adalah kekasihnya, dan konsisten memperkenalkan Ghea sebagai plus one-nya di hadapan semua orang, sementara Ghea hanya mendengkus setiap kali diperlakukan seperti itu.

"Aku penasaran, Bro. Tiap kali monstermu bangun, gimana caramu menenangkannya?" tanya Fuad dari bangku depan. Agaknya sahabatnya yang satu itu ikut menguping pembicaraan sejak tadi. Sambil mengerling mesum, pria itu menambahkan, "Jangan-jangan kamu udah wik-wik-wik sama Ghea ya?"

Fuad hanya bisa meringis saat sebuah majalah lantas mendarat keras di kepalanya. "Dasar teman mesum!" bentak Litha sambil mendaratkan pukulan kedua.

Sebagai playboy yang memilih jalur menikah-demi-kebahagiaan-orangtua, Fuad memang diketahui kerap jajan di luar. Beberapa perawat di rumah sakit juga pernah menjadi korbannya. Entah syukur atau justru miris, istrinya juga menganut jalan hidup yang sama. Fuad sengaja memilih Gladys sebagai pasangan hidup setelah sama-sama berkomitmen untuk tetap bebas dan hanya akan menjadi contoh couple goals di hadapan orangtua dan keluarga besar mereka saja. Persis kehidupan kedua orang tua mereka yang juga menganut paham yang sama.

Mungkin ini menjadi salah satu alasan lainnya yang membuat Ben semakin kehilangan kepercayaan pada janji suci pernikahan. Dan juga cinta, dulunya.

Setidaknya, sebelum dia bertemu Ghea.

"Okelah, lupakan soal selangkangan. Kita bicara soal perasaan, deh," Ben memanuver pembicaraan. "Perasaanku untuk Ghea itu ... seperti perasaan seorang ayah yang ingin melindungi anaknya sekaligus kayak seorang sahabat yang ingin selalu mendengar ceritanya. Tiap kali aku deket dia itu aku mendadak kayak fans yang memuja-muja idolanya, sekaligus kayak abang yang protektif. Intinya, aku selalu pengin ada untuk dia. Sebagai apapun itu."

"Apa perasaan itu cukup untuk membuat kamu bersedia diikat dengan janji suci pernikahan?" tanya Litha was-was.

Kening Ben berkerut-kerut saat mempertimbangkan. Kegagalan Mala menjaga dirinya yang mengakibatkan Ben harus lahir tanpa tahu siapa ayah biologisnya menjadi alasan utama Ben takut jatuh cinta juga takut membangun rumah tangga. Cinta itu terlalu berbahaya. Beralasan cinta, Mala rela dihamili kekasihnya dan merusak masa depannya sendiri, juga merusak masa kecil Ben yang tidak mengerti di mana letak kesalahannya untuk ikut ditunjuk-tunjuk sebagai aib keluarga. Ben tumbuh besar dengan bisik-bisik penuh cibiran. 'Anak haram' menjadi tudingan yang paling sering dialamatkan kepadanya. Dan paling sering didengarnya dari mulut neneknya sendiri.

Keberhasilan Ben menjadi dokter yang bertangan dingin boleh jadi menjadi salah satu life goals Ben untuk membuat bisik-bisik penuh cibir berubah menjadi pujian.

Rasa-rasanya Ben sudah setengah jalan menuju life goals-nya itu. Bahkan Mala yang selama ini kehilangan kepercayaan diri mulai berani menunjukkan eksistensinya pada dunia. Mala tidak lagi mengurung diri di kamar. Wanita paruh baya itu bahkan tidak malu untuk menunjukkan Ben sebagai anak kebanggaannya.

Okelah, Ben memang sudah mantap akan perasaannya pada Ghea. Tapi untuk dijadikan istri, mungkin belum. Bukan karena Ghea yang salah, tapi Ben sendiri. Ben merasa belum siap menjadi seorang suami. Ben tidak pernah mempunyai contoh hidup yang mengajarkannya bagaimana sosok suami yang baik dan benar. Ben tidak punya ayah.

"Siap sih siap. Tapi mungkin nggak secepat itu juga," jawab Ben berusaha bijak.

"Tapi untuk membentuk rumah tangga butuh kesepakatan dua orang, Bro." Fuad yang tadinya duduk di bangku depan entah sejak kapan sudah mengambil posisi bangku kosong di sebelah kiri Ben, berbatasan dengan lintasan jalan. "Gimana dengan Ghea?"

Otot-otot leher Litha mendadak kehilangan tenaga untuk menopang kepala pemiliknya saat mendengar penuturan Fuad. Litha merasa tersindir. Dulunya, Litha setengah mati mengejar-ngejar cinta Jorey. Rela menikahi Jorey bahkan ketika tahu pria itu belum move-on dari mantan kekasihnya. Litha selalu percaya dia bisa menumbuhkan cinta dalam pernikahan mereka. Nyatanya, Jorey meninggalkan Litha dan seorang putri kecil hasil pernikahan mereka demi kembali pada mantan kekasihnya.

Kasus Litha, merupakan satu contoh nyata kegagalan yang membuat Ben semakin ragu pada janji suci pernikahan.

Litha mendadak tertawa hambar. "Kacau banget nggak sih kita ini sebenarnya. Di luar kesuksesan kita sebagai dokter spesialis yang berhasil membangun rumah sakit yang berkembang pesat hanya dalam waktu tiga tahun terakhir, kita ini hanya sekumpulan manusia-manusia gagal."

**

"Bukan cinta. Dia tuh cuma kasian sama aku."

Sudah banyak alasan yang dikemukakan Lani, namun Ghea tetap berkeras pada pendapatnya.

Kalau bukan karena cinta Ben tidak akan mungkin bertahan mendampingi Ghea yang keras kepala selama ini, kalau bukan karena cinta Ben yang notabene seorang dokter spesialis tidak akan merendahkan dirinya untuk mengejar-ngejar anak kuliahan seperti Ghea, kalau bukan karena cinta Ben tidak akan menyempatkan waktu di sela-sela kesibukannya di London untuk terus memantau keadaan Ghea, adalah beberapa alasan yang dikemukakan Lani.

Alasan yang sama pula, yang pernah membuat Ghea menjuluki Ben sebagai bucin. Sampai akhirnya Ghea sadar, semua yang Ben lakukan terhadap Ghea tidak lebih karena nasib Ghea mengingatkan Ben pada Mala versi muda. Perjalanan kisah kasih yang cukup panjang akhirnya berhasil menguak sebagian kisah hidup keluarga Ben. Yang membuat Ghea paham kenapa begitu mudahnya Ben berempati padanya.

Mala muda adalah penerus dari keluarga konglomerat yang berakhir melarat. Keterpurukan Mala saat itu justru membuatnya begitu mudah memberikan kepercayaan pada pria yang berjanji akan memberikan hidup baru penuh kebahagiaan dengannya. Mala mungkin memang mendapat kebahagiaan yang dijanjikan, namun hanya sesaat, karena setelah tahu di dalam perut Mala tersisa benih dari pria itu, pria itu pergi entah ke mana. Meninggalkan Mala yang depresi.

Kalau Ben masih setia mendampingi Ghea, bahkan diam-diam membantu kesulitan Ghea, Ghea tahu alasannya kenapa. Semata-mata karena Ben tidak ingin melihat Ghea bernasib sama dengan ibunya. Buktinya, Ben tidak pernah bisa menjanjikan pernikahan. Itu semua pasti karena Ben tidak benar-benar cinta.

"Jadi kalau kamu selalu merasa Ben bukan cinta, tapi cuma kasihan sama kamu, kenapa kamu bersedia menjadi pacarnya?" desak Lani gemas.

"Ralat!!! Bukan menjadi pacarnya, tapi pura-pura menjadi pacarnya!" protes Ghea.

Awalnya memang begitu kan? Sebagai rasa terimakasih karena sudah bersedia meminjami pundak sebagai tempat Ghea menumpahkan airmatanya di hari pemakaman Mama, wajar kan, kalau Ghea bersedia menghadiri undangan makan malam dari ibunda Ben dan diperkenalkan sebagai kekasihnya? Yang tidak wajar hanyalah kemunculan Ben yang semakin lama semakin melarutkan Ghea dalam kenyamanan. Hingga tanpa bisa Ghea cegah, Ben sudah menjadi bagian dari hidupnya.

Lani mencebikkan bibirnya sebelum berseru, "Pura-pura pacaran gimana, wong tiap kamu ketemuan sama Ben ada kissmark nempel di mana-mana! Kalo pura-pura pacaran nggak main sosor-sosoran juga kali!"

"Lani! Harus berapa kali kujelaskan, kalau aku sedang membayangkan Dana setiap kali bercumbu dengan Ben!" sergah Ghea.

"Bodo ah!" Lani mengibaskan tangannya, bosan mendengar alasan penyangkalan Ghea yang jelas-jelas menikmati semua perhatian dan kasih sayang Ben. "Intinya, yang kamu lakukan dengan Ben selama setahun terakhir ini adalah putus-nyambung, Ghe. Dan nggak ada pasangan pura-pura pacaran yang kerjaannya putus-nyambung. Itu artinya kamu baper, Ghe."

Ghea ingin berdalih lagi dengan menjabarkan semua peran Ben selama setahun terakhir. Ghea sudah pernah bercerita pada Lani mengapa dia tidak bisa menolak kehadiran Ben setelah semua yang dilakukan pria itu untuknya. Sebut saja saat Ben membantu Ghea mengurusi administrasi rumah sakit sehingga jasad Mama bisa keluar dengan aman, Ben juga membantu menyelamatkan Ghea dari kerubungan buruh yang menyerbu kediaman Ghea saat perusahaan Papa resmi kolaps, Ben juga hadir menyelamatkan kegilaan Ghea yang nyaris mengacaukan pernikahan Papa dengan istri barunya.

"Kalau kamu mau bilang semua karena rasa terimakasih atas semua kebaikan Ben, coba deh kamu pikirin lagi ...," sela Lani sebelum Ghea bersuara, "kenapa Ben bisa ada di saat-saat penting dalam hidupmu? Apa kamu nggak curiga kalau Ben memang sudah mengincarmu dan sengaja menjadi pahlawan untuk merebut hatimu?"

Ya. Itu yang Ghea ingin percayai. Bahwa semua yang Ben lakukan murni karena perasaan sayangnya yang begitu besar untuk Ghea. Tapi Ghea harus segera menepis pikiran itu sejak tanpa sengaja menguping pembicaraan Litha dengan Ben tepat saat pertama kali Ben mengenalkan Ghea sebagai plus-one-nya di acara pernikahan salah seorang rekan sejawat mereka.

"Tumben, pake go public segala!" cetus Litha saat berpapasan dengan Ben di dekat toilet. Ben sedang berada di sana untuk menunggui Ghea yang sedang permisi ke toilet, sementara Litha baru saja keluar dari toilet. Sebelumnya, Ben sudah memperkenalkan Ghea kepada Litha. Perkenalan yang cukup membuat Litha takjub karena tidak pernah-pernahnya Ben mengenalkan seorang perempuan dengan embel-embel pacar.

"Gimana-gimana? Lucu banget kan anaknya?" Ben cengengesan sendiri.

"Masih lebih lucu anakku Nabila-lah!" protes Litha tidak terima. "Tapi serius deh, Ben. Apa nggak terlalu imut? Ntar kamu disangkain pedophile lho!"

Tawa Ben pecah. Namun lawan bicaranya memandanginya lurus.

Dengan serius, Litha menembakkan pertanyaannya. "Kamu yakin ini cinta? Bukannya kasihan? Kamu sadar nggak sih kalau Ghea ini praktis ngingetin kita semua sama Tante Mala? Kamu cuma takut dia berakhir sama dengan Tante Mala kan?"

Ben bergeming cukup lama setelah mendengar serangan sahabatnya itu. Hingga akhirnya Litha menutup dengan sebuah kesimpulan bijak. "Kita bakal tahu jawabannya. Kalau kamu beneran cinta, mestinya kamu nggak akan keberatan untuk menikahi dia nanti."

Dan keenganan Ben untuk menikah sampai saat ini, adalah bukti nyata bahwa dia tidak benar-benar mencintai Ghea. Itu yang dipercaya Ghea.

Dan kepercayaan itu masih terus Ghea pertahankan sampai sebuah pesan masuk dari Ben.

"Ghea Chalondra ... kalau aku menjanjikan pernikahan, apa kita bisa kembali seperti semula?"

**

"Kalau pelukanku nggak cukup untuk membuatmu merasa lebih baik, ciumanku pasti bisa."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro