10. Dilema

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Double up gaes.. kl belum baca part sebelumnya, silahkan di samperin dl.. 😊

☘️☘️☘️

"Tapi setelah bertahun-tahun membunuh rasa ini nggak pernah berhasil Ghe ... hati ini selalu milik kamu."

Tubuh Ghea membeku saat mendengar pengakuan Dana. Ini kabar bahagia. Kabar sukacita yang seharusnya dirayakan dengan perayaan paling heboh sedunia. Perasaan Ghea ternyata berbalas! Tapi entah mengapa Ghea lupa cara bersorak-sorai. Ghea bahkan lupa cara berkedip, sampai getaran-getaran halus dari ponsel yang masih dipeganginya mengalihkan perhatian. Mata Ghea berkedip saat memandangi nama yang tertera pada benda pipih di tangannya itu. Ben.

"Sayang, kamu di mana? Aku lagi di kosan-mu, tapi kamu nggak ada."

"Aku ... aku di kampus," jawab Ghea terbata. Sekilas Ghea melirik Dana dan menemukan wajah sendu pria itu sedang tersenyum pilu sambil menundukkan kepalanya.

"Pagi amat. Udah sarapan belum? Sarapan bareng yuk. Aku ngga jadi operasi pagi ini, kondisi pasien menurun dan nggak memungkinkan untuk operasi."

"Tapi ... aku mau bimbingan sama Bu Laksmi."

"Aku bisa tungguin. Tunggu ya, aku meluncur ke tempatmu."

Ghea menekan tanda merah pada layar ponselnya dengan gerakan lambat. Setengah pikirannya penuh dengan cara menyikapi pernyataan Dana, setengah sisanya bingung cara menghadapi Ben nanti. Akhirnya Ghea baru menengadahkan kepalanya saat mendengar Dana berkata.

"Aku nggak ngungkapin perasaanku untuk bikin hubunganmu dengan Ben kacau, Ghe. Aku cuma mau berusaha jujur."

Ghea menghela napas. "Hubunganku dengan Ben nggak seperti yang kamu kira."

"Maksud kamu?" tanya Dana dengan kernyitan memenuhi keningnya.

"Akan aku jelaskan setelah aku membereskan semuanya dengan Ben."

"Jadi ... apa ada kesempatan untukku?"

**

Ben tiba di kampus Ghea satu jam setelah panggilannya. Ban mobilnya yang tiba-tiba bocor menjadi alasan keterlambatan Ben. Namun begitu, kehadiran Ben ternyata tepat waktu karena Ghea baru saja menyelesaikan bimbingannya dengan Bu Laksmi.

Sesuai niat yang sudah diutarakannya, Ben membawa Ghea menghabiskan waktu pagi ini dengan sarapan. Bubur Pak Sandi menjadi pilihan tempat mereka. Tidak banyak waktu yang mereka habiskan di warung tenda itu, karena setelah sarapan mereka habis, mereka langsung berpindah tempat ke kamar kos Ghea. Tempat yang menjadi favorit Ben di seluruh dunia.

Tanpa rasa canggung, Ben langsung menempati ranjang Ghea dan merebahkan dirinya di sana. Sementara Ghea memilih untuk duduk di bibir ranjang setelah meletakkan tas dan folder-foldernya di atas meja belajar.

Melihat penampakan kamar Ghea yang sudah lengang-jauh berbeda dengan yang terakhir kali dilihatnya-Ben bertanya. "Kamu ke manain semua barang-barang yang kamu sita dari Retno?" Ben tidak merasa sungkan menyebut nama ibu sambung Ghea karena memang usia mereka masih sepantaran.

"Aku udah jual semua, dan hasil penjualannya udah kepake buat bayar uang kuliah semester ini. Jadi kamu nggak usah repot-repot ngurus administrasi perkuliahanku ke kampus, Ben. Semua udah aman," aku Ghea.

Sejenak Ben tampak takjub saat Ghea menyinggung soal finansial Ghea, takut Ghea merasa direndahkan karena Ben selalu diam-diam mengurusi semuanya sendiri.

"Aku tahu semua hal-hal ajaib yang terjadi di hidupku adalah ulah kamu, dan aku sengaja pura-pura nggak tahu karena aku memang perlu. Tapi aku janji, aku bakal bayar semua kalau aku udah bisa mendapat pekerjaan yang pantas nanti. Kamu tenang aja," ujar Ghea.

Ben rasanya ingin sekali menertawakan niat terselubung Ghea itu, tapi ditahannya mati-matian. Ben seharusnya tahu begitulah Ghea. Bahkan, alasan Ben melakukan semuanya diam-diam adalah karena dia tahu pola pikir Ghea. Gadis itu tidak suka diremehkan. Walau sebenarnya Ben tidak akan pernah berniat untuk menagih semua yang telah diberikannya untuk Ghea, Ben memilih untuk mengangguk. "Aku nggak pernah takut. Aku tahu kamu nggak akan lari dari tanggungjawab."

Ghea menghela napas lega. "Dan ... tentang pesan kamu waktu itu-"

"Pesan yang mana?"

Ghea mengutak-atik ponsel untuk menunjukkan pesan yang dimaksudnya. Setelah mengangsurkan ponselnya dan memberikan waktu untuk Ben membaca pesan itu, Ghea bisa melihat dengan jelas bagaimana airmuka cerah Ben berubah mendung.

Ben menelan salivanya sebelum bertanya. "Kenapa dengan pesan ini?"

"Kamu nggak beneran mikir sampai sejauh itu kan, Ben?" Tanpa bisa dicegah, Ghea panik. "Maksudku, kamu nggak benar-benar berpikir tentang pernikahan kan? Bukan-bukan! Maksudku, kita nggak se-serius itu kan? Ralat! Kamu nggak seserius itu kan?"

Tatapan Ben berubah nyalang. "Kenapa kamu harus selalu ketakutan gitu sih tentang hubungan ini? Selama kita sama-sama nyaman, kenapa nggak kita nikmatin aja sih, Ghe?" Ben merubah posisi rebahannya menjadi duduk menghadap Ghea. Ben menekan emosinya dalam-dalam lewat embusan napas sebelum melanjutkan. "Aku cukup kenal kamu, Ghe. Aku tahu betul kamu belum siap untuk melangkah lebih jauh. Apalagi ke jenjang pernikahan. Tapi kalau kamu pikir hubungan ini cuma main-main karena aku nggak pernah berani membina rumah tangga, kamu salah besar. Ini hubungan paling serius yang pernah aku jalani."

"Tapi, Ben-" kalimat Ghea harus menggantung karena ponsel Ben berdering nyaring.

Melihat panggilan yang masuk ternyata dari rumah sakit, Ben buru-buru menerima panggilan tersebut sambil menggumamkan kalimat, "Oke, saya segera datang."

Setelah menyelesaikan pembicaraannya di telepon, Ben menatap Ghea dengan tatapan putus asa. "Kamu sukses menghancurkan mood-ku," desis Ben.

Ben sangat berharap Ghea akan menahan langkahnya sebelum dia benar-benar meninggalkan tempat ini. Namun, hingga kaki Ben sudah menapak di ambang pintu, tidak ada tanda-tanda Ghea akan mengibarkan bendera putih. Gadis itu masih tampak kesal karena pembicaraan mereka tidak berujung pangkal atau mungkin karena tuduhannya tidak kena sasaran. Maka Ben merasa perlu untuk kembali menghampiri Ghea dan memberikan kecupan dalam di kening gadis itu.

"I love you, Ghea Chalondra."

**

"Kamu nggak seharusnya cinta sama aku, kamu bikin semuanya jadi makin rumit!" kesal Ghea.

Kekesalan yang ditujukannya untuk Ben, namun tidak disampaikannya saat Ben bisa mendengarkan, karena Ben baru saja meninggalkan kamar Ghea setelah memberikan kecupan yang menghangatkan hati Ghea.

Ya, Ghea tidak akan menyangkal kalau semua sentuhan Ben selalu memberi sensasi yang berbeda pada indera perasanya. Tapi wajar kan? Bukankah esensi dari sentuhan memang seperti itu adanya?

Yang menjadi permasalahan sekarang ini adalah, Ghea ingin sentuhan dari pria lain. Bukan dari Ben. Ghea yakin sentuhan Dana akan memberikan sensasi yang lebih gila daripada Ben. Terlebih, setelah mengetahui kenyataan kalau Dana juga memiliki rasa yang sama dengan Ghea.

"Trus, kalau dia emang beneran suka sama kamu sejak lama, kenapa dia nggak pernah bertindak apa-apa? At least, nembak kamu kek. Kan, kita udah barengan sejak kecil. Masa dia nggak bisa nyari celah dalam jenjang waktu se-lama itu sih?" Lani yang akhirnya mendengarkan curhat Ghea memberikan komentarnya.

Lani selalu tahu jadwal Ghea. Di jam-jam seperti ini, biasanya Ghea sedang sibuk berkutat dengan modul-modul bahasa asing yang harus dia terjemahkan. Selama ini, menjadi penerjemah untuk komunitas kampus sudah menjadi pekerjaan sampingan Ghea. Dari pekerjaan mulia itu pulalah Ghea berusaha menutupi kebutuhan sehari-harinya, selain menjadi penjual pulsa dan paket data. Dan benar saja, saat Lani tiba di kosan Ghea, gadis itu sedang berkutat dengan kertas-kertasnya. Alih-alih fokus, Ghea malah memandangi kertas-kertas itu dengan tatapan hampa. Hingga akhirnya Ghea merasa perlu untuk mencurahkan isi hatinya.

"Ya, kamu tahu sendirilah, Dana orangnya gimana. Dia pasti merasa rendah diri-lah. Aku ini anak majikannya, dan dia pasti ngerasa nggak pantas. Beda dengan sekarang, aku ini bukan siapa-siapa dan dia bukan sekadar anak seorang supir lagi. Dia dosen," kilah Ghea.

"Dia dosen ... yang sudah bertunangan!" Lani nyaris berteriak di ujung kalimatnya. "Perbuatan dia itu nggak pantas banget sih, Ghe. Nggak gentleman sama sekali."

Ghea bergeming. Ghea benci harus mengakui kalau yang dikatakan Lani itu benar. Ghea bahkan ingat sempat memerhatikan jari manis Dana tadi pagi, dan masih menemukan cincin pertunangannya tersemat di sana.

"Coba bayangin deh kalau kamu ada di posisi Laura, apa enggak sakit hati?" cecar Lani lagi, yang masih dibalas Ghea dengan diam seribu bahasa. "Lagian, gimana dengan Ben? Kamu nggak mikirin perasaannya apa?"

"Aku nggak pernah cinta sama Ben!" sahut Ghea lantang.

Lani berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku nggak pernah ngerti gimana caranya kamu bisa mengambil kesimpulan tentang perasaanmu untuk Dana ataupun Ben. Tapi sejauh yang aku lihat, kamu beneran nyaman sama Ben, kamu selalu gampang diluluhkan Ben, dan yang paling penting adalah Ben benar-benar sayang sama kamu. Kalau kamu beneran nggak cinta Ben, bukan berarti kamu punya hak untuk menghancurkan perasaannya. Stop, Ghe. Berhenti berhubungan dengan Ben kalau kamu hanya main-main. Apalagi Ben kelihatannya makin serius."

Ghea benar-benar salah saat berpikir menceritakan masalahnya dengan Lani akan melancarkan kembali aliran darah ke otaknya dan membuatnya bisa fokus mengerjakan pekerjaannya, yang ada kepala Ghea justru semakin mumet.

Kenapa selalu sesulit itu mengakhiri semuanya dengan Ben? Ghea tidak habis pikir.

"I love you, Ghea Chalondra ...."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro