9. Batu Loncatan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Agak kaget sih, pas liat bejibun notifikasi wattpad... Kirain ada apa, ternyata eh ternyata lapaknya Will-Lena dpt rank #1 di chicklit... Yeeayyy... Senangnyaa... ❤️❤️

Dan karena itu, aku ngucapin syukur dan terimakasih dengan double-up lapak ini.. hehee.. Yes.. aku memang semurahan itu, dgn sedikit apresiasi kamu aja, aku latah pengin nulis lagi. Jadi, jgn lupa vote dan komennya yaa..

Yang baca part ini (9), jgn lupa cek part depan(10) juga yaaa...

Tengkyuu gaes... ❤️❤️

☘️☘️☘️

"Lani, tolong jangan ganggu konsentrasiku. Kamu tahu sendiri kan betapa pentingnya ini buatku sekarang? Ini kesempatan emas yang nggak boleh kulewatkan begitu aja!" Ghea akhirnya memilih untuk meninggalkan laptopnya dan menghampiri Lani yang sedang sibuk mewarnai kuku di lantai kamar Ghea.

"Iya, aku tahu kalau kamu menang kompetisi ini, setengah jalanmu sudah akan terlewati dengan mudah. Kamu bakal langsung didaulat menjadi salah satu presenter berita di televisi itu. Aku sama sekali nggak berniat mengganggu konsentrasimu menuliskan naskah, Ghea. Aku cuma lagi nyanyi kok," Lani membela diri.

Ghea mendengkus, kemudian kembali ke meja belajarnya. Jari-jemarinya sudah bersiap di atas keyboard untuk menuliskan naskah terbaik yang akan dibacakan saat lomba Pelita Goes to Campus nanti. Lomba yang diadakan salah satu stasiun televisi berita untuk menyaring bakat-bakat mahasiswa di bidang jurnalistik. Meski lomba ini dibuka untuk semua jurusan, Ghea yang notabene adalah mahasiswa komunikasi merasa tertantang untuk menjuarai perlombaan ini. Apalagi embel-embel hadiah yang ditawarkan panitia sangat menggiurkan. Pemenang utama akan diberikan kesempatan untuk menjadi presenter berita selama satu bulan di stasiun televisi tersebut. Itu sebabnya Ghea sangat antusias saat mengerjakan naskahnya. Ghea bahkan sangat berhati-hati dalam memilih topik, agar dapat menarik perhatian dewan juri nantinya.

Baru saja Ghea akan melanjutkan ketikan naskahnya, Lani bersenandung lagi. "I'm jealous of the rain ...." Seperti air yang turun deras saat keran diputar, portal ingatan Ghea tentang Ben terbuka lebar dengan sebaris lirik lagu milik Labirinth itu. Ghea tiba-tiba ingat bagaimana Ben membuat pipinya menghangat karena gombalan-gombalan recehnya.

Mau tidak mau Ghea memutuskan untuk menghentikan kegiatannya dan membiarkan Lani menyanyi sepuasnya. Ghea mengambil tempat di sebelah Lani dan ikut memoles kuteks pada jari jemarinya.

"Bener kan, aku bilang juga apa? Kamu pasti balikan lagi sama Ben," komentar Lani setelah selesai bersenandung.

Ghea menghela napas berat. "Dia terlalu tahu mengambil kesempatan dalam kesempitan."

"Kamu juga bisa gitu kok, Ghe. Dalam sebuah hubungan percintaan, give and take adalah hal yang lumrah," ujar Lani bersemangat.

"Aku nggak ngerti arah pembicaraanmu."

"Yaaa ... maksudku, kalo nanti kamu nggak berhasil jadi pemenang di lomba itu, kamu kan bisa bujuk Ben buat nikahin kamu. Dengan menjadi istri Ben, kamu nggak perlu lagi deh pontang-panting kayak sekarang. Hidupmu akan lebih nyaman karena semua kebutuhanmu akan dipenuhi oleh Ben."

Ghea menatap sahabatnya itu sengit. "Dan membuatku bernasib sama kayak Mama?"

Lani bergidik samar. "Sorry to say, Ghe, tapi Ben kan bukan Papamu. Dia pria baik."

"Papa juga dulunya pria baik. Begitu baik sampai membuat Mama cinta secinta-cintanya. Tapi menjadi baik aja nggak menjamin seseorang bertahan dengan semua pendiriannya, Lan. Lingkungan, kesuksesan, wanita jalang bisa menjadi alasan seseorang berubah. Termasuk Papa. Nggak terkecuali Ben."

"Tapi, Ghe—"

"Jangan pernah ungkit tentang pernikahan lagi di depanku, Lan. Pernikahan ada dalam urutan terakhir di daftar life goals-ku," pungkas Ghea.

Lani menatap sahabatnya itu dengan tatapan iba. Usia pertemanan yang sudah panjang membuat Lani bisa merasakan betapa banyak perubahan yang ada dalam diri Ghea. Ghea yang sekarang ... sangat keras pada dirinya sendiri. Tapi siapa yang bisa disalahkan? Perjalanan hidup yang keraslah yang akhirnya menempa sahabatnya menjadi seperti ini.

Lani bisa memahami sikap sahabatnya itu, sama seperti Lani selalu mendoakan yang terbaik baginya. Namun begitu, Lani merasa punya hak untuk memperingatkan sahabatnya. "Buka hatimu, Ghe. Terima Ben sepenuh hati. Kalo kamu nggak bisa terima dia sepenuh hati, jangan permainkan dia begini. Kasian."

**

Ben baru saja keluar dari ruang operasi sambil meregangkan ototnya ketika Fuad menghampirinya dengan wajah ditekuk. Ben menggeleng-gelengkan kepalanya lemah sebagai isyarat untuk tidak dicecar sekarang. Operasi tumor otak yang memakan waktu nyaris delapan jam benar-benar berhasil membuat seluruh energi Ben terkuras habis. Ben tidak siap untuk berdebat sekarang.

"Aku capek. Jangan sekarang," pinta Ben lemah.

Mata Fuad memicing kejam bak ibu tiri. "Aku juga capek. Gara-gara ulah dokter nggak bertanggung jawab yang melimpahkan semua pasiennya tanpa pemberitahuan lebih dulu. Aku sampai harus membatalkan janji nonton dengan Sandra karena banyaknya pasien yang harus aku tangani."

Ben melabuhkan bokongnya pada bangku terdekat sambil menghela napas panjang. "Aku bakal telepon Sandra untuk minta maaf dan bikin temu janji baru." Fuad tampak masih belum puas, maka Ben menambahkan. "Aku juga bakal biayain semua biaya kencanmu nanti."

Bibir Fuad mulai berkedut menahan senyum.

"Tapi tolong jangan cerita sama Litha, dia bisa gantung aku hidup-hidup. Kamu tahu sendiri gimana seramnya dia kalau soal kedisiplinan." Semalam, karena Ben tidak bisa dihubungi seharian, Fuad-lah yang menjadi dokter yang terpaksa menangani sebagian pasien yang seharusnya ditangani Ben. Untung saja Litha tidak sedang di tempat, kalau tidak, bisa dipastikan Litha akan memberikan surat peringatan pada Ben. Tanpa peduli pada status persahabatan mereka. Selaku Direktur bidang Pelayanan Medis, sahabatnya itu terkenal sangat menjunjung tinggi tata tertib yang berlaku.

"Tergantung," jual mahal Fuad. Pura-pura tidak termakan bujuk rayu Ben.

"Tergantung apalagi sih, Bro?" Ben nyaris mengerang frustrasi.

"Tergantung alasan kenapa kamu nggak bisa diganggu semalam. Seingatku, kita masih bertelepon waktu kamu bilang mengantar Diana ke rumahnya. Apa terjadi sesuatu?" Fuad menaik-turunkan alisnya menggoda. "Ayo ngaku, kamu nggak ngantar Diana langsung ke rumahnya karena ngamar dulu kan?"

Sebuah tinju mendarat pelan di pipi Fuad dan sukses membuat senyum mesum Fuad semakin menjadi-jadi. "Litha juga nggak bakal ngomel kok kalo alasannya gitu. Dia juga pasti ngerti kalo sahabatnya ini perlu belajar bikin yang lucu-lucu kayak Nabila."

"Hei!" hardik Ben. "Jangan samakan otakku dengan otak ngeres-mu itu ya! Aku nggak se-amoral itu."

Fuad menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak paham. "Amoral gimana? Toh, dia bukan istri siapa-siapa kan? Jadi kalian ngapain aja? Ciuman sambil grepe-grepe doang?"

Sudut bibir Ben bergerak naik mengingat kejadian semalam. "Bisa ngeliat dia lagi aja aku udah sebahagia itu."

Fuad tertawa miris. "Bodoh apa bego sih, Bro? Padahal kan, kesempatan emas banget tuh. Kamu bisa langsung belajar dari ahlinya. Janda kan terbukti berpengalaman di ranjang."

"Janda?" tanya Ben enteng. "Aku nggak lagi ngomongin Diana lho ini."

"Jadi siapa?" Fuad mendadak bergidik ngeri. "Jangan bilang—"

Ben tersenyum simpul. "Ya. Ghea."

"Nooo!!! Not again!!!" pekik Fuad tak terima. "Bukannya kemaren-kemaren kamu udah janji di depanku dan Litha untuk nggak nemuin Ghea lagi!"

"Namanya juga jodoh, Bro. Mau dielakkan segimana juga, bakal ketemu juga kali."

**

"Buka hatimu, Ghe. Terima Ben sepenuh hati. Kalo kamu nggak bisa terima dia sepenuh hati, jangan permainkan dia begini. Kasian."

Perkataan Lani semalam otomatis terngiang lagi di kepala Ghea saat Ghea memeriksa laman percakapannya dengan Ben di aplikasi pengirim pesan.

"Ghea Chalondra ... kalau aku menjanjikan pernikahan apakah kita bisa kembali seperti semula?"

Mendadak Ghea merasa seperti taman kampus kehilangan asupan oksigen. Tersedot entah ke mana. Sukses membuat Ghea sesak.

Apakah Ben sudah seserius itu? Hingga berani menawarkan pernikahan? Apa yang sedang kulakukan dengan berhubungan dengan Ben lagi?

Ghea memerhatikan lagi sekelilingnya. Di antara bangku-bangku taman yang tidak ramai, karena jam yang masih terlalu pagi, Ghea menemukan penampakan Dana dalam radius lima puluh meter. Begitu hafalnya Ghea dengan postur tubuh pria itu, hingga dia bisa mengenalinya bahkan dari jarak sejauh ini. Pria itu sedang berjalan lurus ke arah bangunan utama, sambil mencangklongkan tas satchel ke sisi tubuhnya.

Debar itu masih ada.

Hanya dengan melihat pria itu dari jarak sejauh ini pun, Ghea masih bisa merasakan jantungnya berdegup keras. Apalagi saat pria itu balas menatapnya dan melambaikan tangan, senyum Ghea refleks mengembang lebar.

"Tumben, pagi banget," sapa Dana yang akhirnya menghampiri Ghea dan duduk di bangku kosong di sebelah Ghea.

"Mau ketemu Bu Laksmi. Biasalah mau laporan revisi skripsi," balas Ghea. "Kamu sendiri?"

"Ada kelas pagi." Suara Dana memang selalu tenang dan dalam—satu hal yang membuat Ghea selalu merasa nyaman mendengarnya—tapi kali ini entah mengapa Ghea bisa merasakan nada suara pria itu terdengar lebih dalam. Seperti sedang menekan beban. Hal itu semakin terlihat jelas saat Dana mengembuskan napasnya yang berat.

"Ada masalah?" tanya Ghea hati-hati. "Kamu keliatan beda."

Dana tertawa ringan. "Selalu ada masalah. Heran, kapan masalah berhenti menghampiriku?"

"Semoga aku bukan jadi salah satu masalah yang kamu maksud ya," gurau Ghea.

Tatapan Dana yang semula menyapu area gedung utama beralih menatap Ghea, dalam. "Kamu selalu jadi masalah yang paling berat."

Wajah Ghea mendadak datar. Merasa indera pendengarannya pasti salah menangkap pesan Dana, Ghea berusaha mengkonfirmasi. "Aku nggak pernah bikin ulah di kelasmu. Aku juga nggak pernah menuntut macam-macam sebagai temanmu. Lalu ...?"

"Ya itu. Karena kamu selalu bersikap dengan benar dan tepat. Membuatku nggak punya alasan untuk melakukan sesuatu yang lebih untukmu." Tatapan dalam Dana belum juga surut.

Ingin menyahut, tapi tenggorokan Ghea mendadak kering. Apakah karena tatapan dalam Dana? Atau justru karena kalimatnya yang sarat perhatian? Ghea tidak mengerti.

"Aku ingin melangkah maju, tapi terlalu banyak belenggu yang mengikatku. Ingin berhenti, tapi kenapa rasanya nggak rela?" imbuh Dana.

Susah payah, Ghea menelan salivanya untuk bisa membuatnya bersuara lagi. "Aku nggak ngerti maksudmu."

"Aku terima disebut pengkhianat karena melakukan ini di belakang Laura. Aku juga terima disebut brengsek karena jelas-jelas tahu kamu punya pria lain. Tapi aku nggak suka disebut sebagai pengecut. Walau aku sudah melewatkan waktu terlalu lama untuk mengakui ini," Dana menggantung kalimatnya. Ghea yang menunggu kelanjutan pengakuan Dana bisa merasakan jantungnya berdebar lebih keras. "Tapi setelah bertahun-tahun membunuh rasa ini nggak pernah berhasil Ghe ... hati ini selalu milik kamu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro