8. Always Be My Baby

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ben berjalan bersisian dengan Ghea, sementara di hadapan mereka ada Diana yang berjalan bersisian dengan Jason. Setelah mendengar celotehan panjang Jason tentang masakan Omanya, mereka berempat sepakat untuk menghabiskan makan malam di rumah Bu Rani.

Matahari sudah hampir tenggelam, menyisakan semburat jingga di cakrawala. Ternyata Ben sudah menghabiskan waktu lebih lama dari yang direncanakannya di kompleks perumahan ini. Diam-diam Ben bersyukur telah meninggalkan ponselnya di mobil. Kalau tidak, bisa dipastikan dering telepon bertubi-tubi pasti sangat mengganggu aktivitasnya dengan Ghea tadi. Untung juga hari ini Ben tidak punya jadwal operasi, hanya ada jadwal praktek. Mungkin beberapa pasien sudah mengeluh karena Ben tidak kunjung tiba di rumah sakit. Tapi Ben juga ingat hari ini ada dokter saraf lain yang praktek di jam yang sama dengan Ben di rumah sakitnya. Semoga saja suster Ifa cukup inisiatif untuk mengganti jadwal temu janji, atau mengarahkan pasien ke dokter lainnya.

"Aku nggak tahu kalau kamu kenal Bu Rani, tetanggaku," kata Ghea dalam perjalanan menuju rumah Bu Rani.

Ben mengendikkan bahu. "Oh ya? Mungkin aku lupa bilang."

"Bukan lupa, tapi kamu sengaja nggak ngasih tahu aku selama ini, karena dia ternyata mantan calon mertuamu. Iya kan?" tuduh Ghea. Nada suaranya terdengar biasa, tapi Ben bisa mendeteksi adanya kecemburuan di dalamnya.

Ben tertawa gemas sambil mengacak-acak rambut Ghea. Berhari-hari Ben meragu tentang cinta Ghea, Ben bahkan sempat yakin kalau Ghea tidak pernah benar-benar menyayanginya mengingat begitu mudahnya Ghea memutuskan hubungan mereka. Tapi kalau Ghea sudah begini, bagaimana mungkin Ben meragukan Ghea lagi. "Nggak usah cemburu gitu, Sayang. Bikin pengin cium lagi aja!"

"Ben!!!" hardik Ghea, tidak terima tuduhan Ben, juga gombalan Ben.

Ben merangkulkan tangannya ke bahu Ghea sambil terus berjalan santai. "Bagian dari masa lalu sih, Sayang, nggak usah parno gitu. Masa depanku selalu kamu."

Ghea bergidik. "Nggak usah cheesy gitu deh, Ben. Kamu jadi makin mirip Om-Om Genit."

Ben hanya tertawa lebar menanggapinya.

Sejurus kemudian, mereka tiba di kediaman Bu Rani. Diana selaku tuan rumah yang mengundang Ben dan Ghea secara khusus menggiring tamu-tamunya langsung masuk ke area ruang makan. Di sana sudah ada Bu Rani yang sibuk menata meja.

Begitu Bu Rani menemukan penampakan Ghea, dia langsung mengiba sambil memeluk Ghea. "Maaf Tante nggak hadir di acara pemakaman Mamamu, Nak. Tante lagi ada di London menemani Diana mengurus perceraiannya waktu dengar kabar duka itu."

Dari dalam pelukan Bu Rani yang empuk karena tubuh berlemaknya, Ghea merasakan kehangatan yang membuatnya tiba-tiba merindukan Mama. Kalau Mama masih ada di dunia ini, Ghea pasti akan menahan pelukan itu selamanya.

"Kamu yang kuat dan sabar ya, Nak," ucap Bu Rani saat melepas pelukannya. Ghea merespons dengan sebuah anggukan dan senyum tipis.

Setelahnya, Bu Rani mempersilakan semua tamunya duduk dan menyantap makanan yang sudah disiapkannya. Ada banyak sajian makanan nusantara yang tersedia di atas meja. Mulai dari makanan berat seperti dendeng sapi, soto Betawi, ikan sambal dan gulai paku, sampai kepada aneka kudapan ringan seperti risoles dan kue dadar. Bu Rani mengaku sengaja mempersiapkan semuanya demi menyambut anak dan cucunya.

Suasana yang sempat haru dan canggung sudah berganti menjadi riuh sejak makan malam dimulai. Semua kericuhan berasal dari Jason, yang ternyata sangat menikmati santapan nusantara masakan neneknya itu.

"What is it, Oma?" tanya Jason saat mengunyah kue lembut berwarna hijau dengan isian gula kelapa di dalamnya.

"Kue dadar, Sayang. Enak kan?" Sang Oma menanggapi penuh antusias.

"Kue dadar?" Jason melafalkan ulang sembari mencoba menghafal nama makanan yang sepertinya akan menjadi salah satu favoritnya itu.

"Do you like it? It's kind of pancake, Jason," imbuh Diana.

"Ya, aku suka sekali, Mom. Aku akan bilang pada Charles kalau di tempat baruku ada makanan yang lebih enak daripada pancake. Dan dia tidak akan bisa membelinya." Jason tertawa jumawa.

Semua orang yang ada di meja makan ikut tergelak melihat tingkah lucu Jason, kecuali Ghea. Ghea yang terbiasa menjadi anak tunggal tidak terlalu terbiasa menghadapi pada kecil. Namun begitu dia ikut tersenyum kecil.

Di tengah-tengah kegembiraan itu, perhatian Ghea tiba-tiba teralihkan pada ponselnya yang bergetar dari dalam saku celana. Ketika Ghea memeriksa benda pipih itu, kedua bola matanya membelalak melihat nama pengirim pesan. Dana.

"Ghea, lagi sibuk? Aku boleh telepon?"

Ini kejadian langka. Meski sudah lama saling bertukar nomor ponsel, Ghea dan Dana jarang terlibat percakapan pribadi. Bukan karena Ghea tidak ingin, tapi Ghea tidak berani. Untuk urusan Dana, Ghea memang selalu penuh pertimbangan.

Setelah memberi izin pada Dana untuk menghubunginya lewat telepon, Ghea memohon izin untuk meninggalkan meja makan. "Aku permisi angkat telepon dulu, ya," Ghea mengedarkan pandangan kilat kepada seluruh peserta makan malam, dan dibalas anggukan pemakluman dari semuanya.

"Telepon dari siapa?" Ben menahan tangan Ghea yang sudah siap beranjak.

"Eum, dosen," jawab Ghea singkat.

**

Teras depan rumah Bu Rani menjadi tempat pilihan Ghea untuk berbicara tenang dengan sang pujaan hati. Alih-alih tenang, Ghea justru merasa guncangan hebat melanda dirinya. Bukan dari luar, melainkan dari dirinya sendiri. Jantungnya sudah berirama tak karuan. Padahal ini hanya sebatas obrolan di telepon. Itu pun belum tahu jelas akan membicarakan tentang apa. Tapi tetap saja, Ghea rasanya senang bukan kepalang, sampai rasanya sulit mengendalikan diri.

Bolehkah Ghea berharap telepon seperti ini akan menjadi agenda rutin mereka berdua? Ah, andai saja bisa!

"Ghea, kamu di mana?" Dana mengawali pembicaraan dengan sebuah nada sarat kekhawatiran.

Ragu, Ghea menyebutkan nama kompleks tempat tinggal keluarganya.

"Jadi kamu udah liat semuanya?" berbanding 180° dengan intonasi sebelumnya, kali ini Dana terdengar tak bertenaga. "Aku juga baru dengar kabar tentang pelelangan rumah keluargamu dari ayah. Dia sedang mengantar salah seorang penumpang ke daerah itu saat melihat plang pelelangan dari pihak bank." Sejak berhenti bekerja menjadi supir Mama, Pak Wardiman memang beralih profesi menjadi supir grab. Tidak heran dia bisa sampai tahu dengan cara seperti ini. "Kamu ... nggak pa-pa?"

Kepedulian Dana refleks membuat hati Ghea menghangat. Kalau saja bisa, Ghea pasti sudah akan memanfaatkan peristiwa ini untuk meminta Dana datang dan menghiburnya. Tapi Ghea tidak sepicik itu. Ghea tahu ada hati perempuan lain yang akan terkoyak kalau Ghea melakukannya.

"Aku nggak pa-pa kok. Lagian ... di sini ada Ben."

Jeda.

Dana butuh waktu beberapa detik sebelum bersuara lemah. "Kudengar dari Lani kalian putus."

"Eum ... kita baru aja balikan. Lagi."

Dana terkekeh pelan, "Ben sepertinya tahu betul cara menjinakkan kamu ya, aku jadi makin penasaran. Kapan kamu bakal ngenalin aku sama dia?"

Ghea tertawa sumbang. "Setelah kamu mengenalkan aku pada tunanganmu, mungkin?"

"Ah, Laura!" seru Dana menyebutkan nama tunangannya. "Kamu tahu sendiri pasti sulit. Dia ...," Dana terdengar sedikit kesulitan untuk memilih kata yang tepat.

"Dia berada jauh dari Jakarta. Sibuk mengurus adik-adik dan ibumu," Ghea membantu Dana menyelesaikan kalimat Dana yang menggantung.

Helaan napas panjang terdengar. "Ya. Itu dia."

Ada selang waktu hampir satu menit dikuasai keheningan karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Ghea mencoba meraba-raba perasaannya saat nama Laura muncul di permukaan dan Ghea masih belum menyesali keputusannya untuk tetap menyembunyikan perasaannya dari Dana.

Walau tidak pernah mengenal sosok Laura secara personal, Ghea tahu kalau perempuan itu pasti lebih pantas mendampingi Dana. Ghea tidak akan mungkin sanggup melakukan hal yang dilakukan Laura; mengorbankan masa depannya demi merawat keluarga Dana. Belum menjadi istri Dana saja, pengorbanan perempuan itu sudah sangat besar. Ghea tidak akan sanggup menandingi.

Lagipula, menjadi iburumah tangga sama sekali bukan impian Ghea.

"Pokoknya kalau kamu perlu bantuan, aku selalu siap menjadi orang pertama yang kamu hubungi, Ghe," Dana memecah keheningan.

"Aku bukan anak kecil yang harus selalu kamu temani setiap kali Mamanya stress, seperti Ghea belasan tahun lalu, Dana. Aku udah dewasa. Aku bisa menghadapi semuanya sendiri."

Dana tertawa sumbang mendengar kalimat-kalimat Ghea. "Aku bahkan nggak pernah berhasil menghiburmu sejak masih kecil, Ghe. I can't handle you."

**

Ben memasukkan gigitan terakhir risolesnya ke dalam mulut saat Bu Rani bertanya dengan sangat hati-hati. "Kamu ada hubungan apa sih sama Ghea?"

Kunyahan Ben melambat mendengar pertanyaan Bu Rani. Ben sudah bisa mendeteksi rasa penasaran Bu Rani sejak acara makan malam dimulai tadi. Beberapa kali Bu Rani kepergok sedang memerhatikan cara Ben memperlakukan Ghea sepanjang acara makan malam. Sebut saja seperti saat Ben mengangkut potongan-potongan daun bawang dari piring Ghea seolah tahu kalau gadis itu tidak menyukainya, juga cara Ben menambahkan sambal dendeng seolah tahu gadis itu suka pedas. Dan jangan lupakan cara Ben menatap Ghea, penuh dengan binar cinta.

"Ghea adalah perempuan yang dekat dengan Ben sekarang, Tante," jawab Ben jujur.

Bu Rani yang tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya, terperanjat. "Apa nggak salah kamu? Ghea itu kan masih anak kecil!"

Ben tertawa ringan menanggapinya. "Oh ya? Setau saya, usia 22 tahun sudah tergolong dewasa muda sih, Tante."

"Ma," Diana menginterupsi. "Jangan suka campurin urusan orang lain deh. Cinta kan nggak mengenal perbedaan usia."

"Bukan cuma soal usia sih, tapi juga latar belakang keluarga. Kamu udah tahu belum kalau sekarang Papanya Ghea udah jadi buronan? Dia berhutang di banyak tempat. Reputasinya udah benar-benar hancur sekarang," ucap Bu Rani menggebu-gebu.

"Tapi semua bukan salah Ghea kan, Tante? Sejauh yang saya kenal, Ghea sangat mandiri dan tahu diri. Dan tahu dia sedang berada di titik terendah tapi dia selalu berusaha yang terbaik untuk bertahan dan bangkit," bela Ben.

"Iya, tapi—" kalimat Bu Rani harus terputus karena sosok Ghea muncul di ambang pintu. Tampaknya pembicaraan Ghea dengan dosennya sudah selesai. Alih-alih melanjutkan nyinyirannya, Bu Rani menembak Ghea dengan pertanyaan tajamnya. "Obrolan dengan dosenmu sepertinya nggak mulus ya, Ghea. Tampangmu sampai lesu begitu. Kenapa? Kamu punya masalah di kampus? Ada tunggakan atau masalah dengan nilai?"

Belum sempat Ghea menjawab, Ben mendahului. "Terimakasih untuk kepedulian Tante, tapi kalaupun ada masalah dengan kampus, saya yakin Ghea bisa mengatasinya." Ben menoleh pada Ghea yang baru saja duduk di samping Ben. "Udah malem banget, aku antar kamu pulang sekarang?"

Ghea mengedarkan pandangannya kepada setiap penghuni yang duduk di meja makan dan bisa menemukan ketegangan di sana. Belum sempat Ghea mencerna alasan ketegangan tersebut, tangan besar Ben sudah bersarang di telapak tangannya dan menggiringnya keluar dari tempat itu.

**

Suasana dalam mobil yang ditumpangi Ghea dan Ben terbilang gelap, tapi Ghea masih bisa menemukan otot-otot wajah Ben sedikit mengeras. Tidak terlalu kentara karena Ghea hanya bisa mengandalkan cahaya lampu penerang jalan dan berkas-berkas cahaya dari kendaraan di luar sana.

"Nggak usah diliatin gitu banget deh, nanti makin cinta!" cetus Ben masih sambil fokus mengemudi.

Sebuah cubitan langsung bersarang di perut Ben dan membuat Ben cekikikan. Usai tawanya reda, Ben bisa merasakan Ghea kembali memandanginya seperti tadi.

"Bu Rani bilang apa, Ben?"

Ben menoleh, membagi fokusnya antara wajah Ghea dan jalanan ibukota. "Apa emang?"

"Ngaku deh. Kenapa kamu tiba-tiba jadi kehilangan sopan santun kayak tadi? Kamu bahkan nggak pamit sama Jason waktu nyeret aku keluar dari rumah Bu Rani."

Rahang Ben kembali mengeras. "Aku cuma nggak suka dia merendahkan kamu karena masalah keluarga kamu."

"Oh ya? Padahal Bu Rani selalu jadi tetangga favoritku." Ghea tampak sedikit kecewa. "Tapi aku bisa ngerti sih. Itu pasti karena dia masih pengin kamu jadi menantunya kan? Jadi dia sengaja menurunkan daya jualku ke kamu, supaya kamu beralih ke putrinya. Aku tadi dengar sendiri dia bilang nggak bisa datang ke pemakaman Mama karena menemani Mbak Diana mengurus perceraiannya. Jadi, Mbak Diana udah cerai sama bule itu?"

Ben mengendikkan bahu. "Katanya sih gitu."

"Kamu nggak ada niatan balikan lagi gitu, sama Mbak Diana?" pancing Ghea.

"Ngomong apa sih, Ghe???" decak Ben sebal. Tak urung mobilnya ditepikan di badan jalan untuk bisa memberi peringatan pada kekasihnya itu. "Dengar ya, Ghe. Aku paling nggak suka kamu beranggapan sesepele itu sama hubungan kita. Walau aku nggak bisa janji nikahin kamu secepatnya, tapi aku sama sekali nggak pernah main-main sama kamu."

Ghea bisa menemukan gurat-gurat penuh keseriusan di wajah Ben. Mendadak Ghea menyesal tidak membawa serta piala untuk diserahkan kepada Ben sebagai pria ter-bucin senusantara. Bahkan setelah hampir sebulan tidak bertemu, Ben masih saja se-bucin itu.

"Kamu pernah dengar isilah bucin nggak?" tanya Ghea. Melencengkan topik pembicaraan.

"Istilah apa itu?" tanya Ben dengan kening berkerut.

Ghea harus menahan tawanya saat menjelaskan. "Bucin itu budak cinta. Dan kamu itu adalah salah satu korbannya."

Kening Ben berkerut semakin kusut. "Anak muda zaman sekarang ada-ada aja deh. Bisaan banget bikin istilahnya. Mereka ada ngebahas cara menularkannya juga nggak?"

Gantian Ghea yang bingung. "Dasar ahli medis! Apa-apa disangkutpautkan sama penularan segala. Emangnya bucin itu penyakit?" dengkus Ghea.

Ben tertawa jahil. "Kali aja ada cara buat nularinnya. Aku mau menularkannya sama kamu. Biar kamu jadi bucin kayak aku. Jadi kamu nggak bakal seenaknya aja bilang putus. Rasanya sakit banget tahu!"

Ghea menggigit bibir bawahnya karena rasa bersalah menjalar di dalam dadanya. Sorot mata Ben terlalu gamblang menunjukkan penderitaannya.

"I'm jealous of your teeth," kata Ben, sambil fokus memandangi baris gigi atas Ghea yang mengintip di antara celah bibirnya.

Sekali lagi Ghea menyerngit.

Kali ini apa?

Kalimat Ben persis seperti lirik lagu labyrinth yang sudah menjadi themesong hari balikan Ben dan Ghea setiap kalinya. Ghea tidak akan pernah lupa bagaimana Ben mencetuskan kalimat-kalimat yang dicontek dari lirik lagu itu saat mengatakan betapa irinya dia pada selimut Ghea karena bisa memberi kehangatan pada Ghea di malam dingin dan sepi. Ben juga pernah mencetuskan kalimat itu saat mengatakan betapa irinya dia pada ponsel Ghea karena selalu digenggam pemiliknya. Dan jangan lupakan bagaimana Ben mengatakan kalimat serupa saat mengatakan betapa irinya dia pada data-data skripsi Ghea karena selalu menjadi prioritas Ghea. Sepanjang perjalanan kali ini pun, Ben sengaja memutarkan lagu patah hati itu untuk mengingatkan Ghea betapa Ben senasib dengan isi lirik dari lagu itu.

Kali ini apa lagi?

"I'm jealous of your teeth ...," ulang Ben. "Enak banget tuh gigi, bisa gigit-gigit bibir kamu begitu," sambung Ben yang harus diakhiri dengan pekik kesakitan karena Ghea mendaratkan cubitan kecil di perut Ben.

"Ben!!! Nggak usah mesum lagi deh! Pulang nggak? Pulang! Ayo, pulang!"

Sambil terus tergelak, Ben memasang lampu sen mobil sebelum mengarahkan mobilnya kembali ke jalanan. Membelah jalan ibukota, dan mengantarkan kekasihnya pulang.

"Walau aku nggak bisa janji nikahin kamu secepatnya, tapi aku sama sekali nggak pernah main-main sama kamu."

☘️☘️☘️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro