7. Titik Balik

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ghea tidak akan menyangkal kalau dia cukup kaget melihat penampakan mobil fortuner yang kerap menjadi moda transportasi tumpangannya terparkir rapi di kompleks rumah keluarganya. Terlebih kaget lagi saat Ghea menyadari kalau mobil fortuner itu bukan terparkir di depan rumahnya, melainkan di depan rumah Bu Rani, salah seorang tetangga favorit Ghea karena beliau sangat karib dengan mendiang Mama.

Di antara sempitnya waktu Ghea untuk berpikir, Ghea sempat meragukan mobil yang familiar itu benar-benar milik Ben. Namun seiring semakin dekatnya sepeda motor yang ditumpanginya ke tempat mobil itu terparkir, Ghea semakin yakin mobil itu benar-benar milik Ben. Pemiliknya bahkan sedang menampakkan batang hidung mancungnya sambil mengobrol akrab dengan Bu Rani, sang pemilik rumah.

"Mas, tolong agak kebutan, saya benar-benar buru-buru," titah Ghea kepada pengemudi ojek online-nya. Takut keberadaannya ditemukan Ben.

Ghea memang merasa ketidaknyamanan menjalar di seluruh tubuhnya melihat keakraban Ben dengan keluarga Bu Rani, apalagi Ben terlihat begitu serasi dengan Diana. Tapi Ghea buru-buru menampik pikiran tentang Ben dari kepalanya. Ghea tidak ingin membebani hati dan kepalanya dengan urusan romantika sekarang ini. Ada urusan lain yang harus Ghea berikan perhatian penuh.

Urusan yang Ghea maksud adalah plang tanda lelang yang tertancap di depan rumah tempat dia dibesarkan.

Saat mengkonfirmasi plang itu benar-benar nyata, Ghea tahu bahwa dia sedang berada pada titik terendah dalam hidupnya. Seingat Ghea, Papa pernah bersumpah kepada Mama untuk mempertahankan rumah tempat tinggal mereka hingga titik darah penghabisan. Dengan dilelang-nya rumah ini berarti Papa sudah benar-benar sampai di titik darah penghabisannya. Agaknya Retno-Retno sialan itu tidak berbohong saat mengatakan Papa benar-benar sudah melarikan diri.

Saking khidmatnya memandangi tulisan-tulisan yang terpapar dalam plang itu, Ghea sampai tidak menyadari kehadiran Ben yang sudah berdiri mantap di sisi kanannya.

Saat mendapati keberadaan Ben, Ghea sedikit tersentak dan menggumam, "Ben?"

**

Pengemudi sepeda motor sialan itu harus berterimakasih kepada suara lirih Ghea saat mengucapkan nama Ben. Karena begitu suara itu menggema di indera pendengaran Ben, semua otot-ototnya yang menegang menjadi lemas kembali. Termasuk kepalan tangannya yang sedang disiapkan untuk menghajar pengemudi sepeda motor.

Oh, betapa Ben merindukan Ghea.

Hanya mendengar namanya diucapkan Ghea saja rasanya Ben sudah ingin tumbang.

"Bayarannya udah pake OVO ya tadi, Mbak. Makasih," sang pengemudi sepeda motor menginterupsi. Membuat napas Ben terhela lega.

Lihatlah betapa gilanya Ben karena Ghea, hanya dengan melihat Ghea menumpang pada tukang ojek saja hampir membuat Ben menjadi berandalan yang suka memukuli orang sembarangan. Ben cemburu buta.

Tapi ini bukan saatnya untuk mengurusi cemburu Ben yang sama sekali tidak beralasan, karena Ben bisa melihat persoalan yang lebih besar terpapar di depan kedua matanya.

Rumah tinggal orangtua Ghea sudah disegel oleh pihak bank.

**

Ben memilih untuk berdiri di ambang pintu saat menyaksikan Ghea menjejakkan kakinya menyusuri setiap sudut rumah. Rumah itu sudah benar-benar kosong. Ibu tiri Ghea sepertinya benar-benar berhasil merealisasikan niatnya untuk menjual semua perabotan rumah Ghea hingga tak bersisa.

Dalam kurun waktu lima belas menit, Ghea sudah berhasil mengeksplorasi setiap sudut di lantai bawah dan atas rumah bergaya minimalis modern itu. Hati Ghea hancur saat memeriksa setiap sudut rumah itu, selain karena banyaknya kenangan yang terputar otomatis di kepalanya, juga karena dia tidak benar-benar siap kehilangan tempat ini. Tapi Ghea mati-matian mempertahankan logikanya. Ghea tidak boleh lemah, terutama di saat-saat seperti ini. Ghea bersikukuh kalau dia pasti bisa melewati semuanya. Untuk langkah awal, Ghea hanya perlu istirahat sejenak dan menerima kehancurannya.

Semua akan baik-baik saja, rapalnya dalam hati.

Ghea mendaratkan bokongnya di anak tangga paling bawah dan menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menjinakkan semua emosi yang bergejolak di dalam dadanya.

Ben selalu gemas setiap kali Ghea menahan diri seperti ini. Ben lebih suka Ghea menangis, teriak, atau bahkan memecahkan apa saja untuk meluapkan emosinya. Tapi Ghea yang dilihatnya hanyalah Ghea yang berusaha tegar dan tetap tenang. Tidak ada airmata sama sekali.

Dari tatapan matanya yang menyalang, Ben berani jamin Ghea benar-benar hancur sekarang.

Untuk itu Ben mendekati Ghea, mengulurkan tangannya, seolah memberi isyarat kalau Ben bersedia menjadi penopang Ghea. Hari ini. Bahkan kalau boleh untuk selamanya.

Ghea mengangkat kepalanya. Melihat tangan Ben menengadah, tatapan nyalang Ghea mulai meredup. Setidaknya Ghea lega dia punya seseorang yang menemaninya di saat-saat sulit seperti ini.

Dari jarak satu meter di depan Ghea, Ben bergeming mempertahankan posisinya. Ben benar-benar tidak punya senjata apapun saat ini untuk menarik Ghea dari keterpurukannya. Sebesar apapun usaha Ben untuk meluluhlantakkan kekerasan hati Ghea, Ben hanya akan membuang-buang waktunya kalau Ghea tidak ingin membuka diri. Jadi Ben memilih untuk menunggu.

Jendela-jendela besar yang tidak lagi berlapis gorden membuat cahaya matahari terbias sempurna menerangi ruangan kosong itu. Membuat keduanya bisa menelanjangi perasaan damba dari setiap garis wajah satu sama lain.

1 menit.

5 menit.

10 menit.

Tangan Ben yang menengadah mulai mendapat sambutan. Ghea mengulurkan tangannya pelan. Sangat pelan. Lebih pelan daripada gerakan siput.

Tidak ingin membuat Ghea menarik mundur keputusannya, Ben menjemput uluran tangan itu dan menariknya kuat. Tubuh Ghea sampai ikut terangkat naik hingga menabrak tubuh besar Ben. Dengan cekatan Ben memerangkap tubuh mungil itu dalam pelukannya. Ben menghirup aroma tubuh Ghea yang sudah lama dirindukannya. Semua sesak yang selama ini merongrong tubuh Ben hilang seketika. Ben memang seorang dokter. Ben hafal banyak jenis obat. Tapi Ben tidak pernah bisa menemukan obat semujarab ini. Semujarab pelukan Ghea.

Ghea balas mengeratkan tangannya memenuhi pinggang Ben. Menenggelamkan kepalanya di dalam dada Ben. Hanya ada sedikit oksigen yang bisa diakses hidung Ghea karena kencangnya pelukan mereka, namun entah bagaimana caranya paru-parunya justru terasa lebih lengang.

Setelah hari ini, Ghea tidak akan menyangkal kalau pelukan memang selalu berhasil menenangkannya. Tidak hanya berlaku untuk pelukan Ben. Mungkin pelukan Dana justru lebih menenangkan. Tapi hanya ada Ben saat ini. Jadi biarlah Ghea mendekap Ben.

Erat, seolah tidak hari esok.

**

"Wanna talk about this?" pancing Ben sambil menatap chandelier yang menggantung di langit-langit ruang tamu Ghea.

Setelah pelukan berdurasi panjang tadi, keduanya memilih untuk duduk bersisian di anak tangga paling bawah, sambil menyapu pandangan ke sekeliling rumah yang sudah kosong.

Ghea mendesah, lalu menggeleng lemah. "Kalau yang kamu maksud tentang rumah ini, aku nggak punya kosakata apa-apa, Ben. Kita udah menduga bakal kejadian kayak gini kan? Aku cuma terlalu lengah karena nggak mempersiapkan diri lebih awal. Aku cuma terlalu kaget."

Ben mengangguk-anggukkan kepalanya ringan. Ben tahu itu bukan keseluruhan isi unek-unek Ghea, tapi Ben tidak akan memaksa Ghea untuk mengungkapkannya sekarang.

"Tapi kalau yang kamu maksud tentang pelukan tadi ... maaf ...," sambung Ghea. Ada rona kemerahan yang muncul di pipi Ghea saat mengakukan permintaan maafnya. Sepertinya Ghea sedang malu.

Kening Ben berkerut. "Maaf?"

"Yaaahhh," Ghea tampak kebingungan memilih kosakata. "Yah, kamu mungkin mikir aku perempuan gampangan yang mudah peluk-pelukan sama mantan pacarnya sendiri. Tapi, aku punya alasan. Aku ingat kamu selalu bilang kalau pelukanmu bisa menenangkan. Dan untuk kondisi shock kayak tadi, kupikir aku bisa memanfaatkan pelukanmu. Jadi ... maaf."

Ben tertawa kecil. Ghea selalu sekompleks itu. Dalam situasi seperti ini, bisa-bisanya dia malah memikirkan status hubungan mereka yang sangat tidak logis untuk membagi pelukan sehangat tadi. Padahal jelas-jelas Ghea sangat membutuhkannya. Juga menikmatinya. Ben sebenarnya lebih suka kalau Ghea berterimakasih, menyadari pentingnya kehadiran Ben, dan memutuskan untuk kembali menjadi kekasihnya.

Tapi baiklah, kalau memang sesulit itu untuk Ghea mengakui, Ben bisa mencoba cara lain untuk membuat Ghea mengakui.

"Kamu masih ingat, hal lain yang sering kutawarkan untuk membuatmu merasa lebih baik?" tanya Ben serius. Kepalanya ditolehkan menatap Ghea yang juga sedang menatapnya.

Ghea tahu jawabannya tapi dia tidak menjawabnya.

Maka Ben memilih untuk memberi jawaban langsung dengan "hal" lain yang dimaksudnya. Ben menegakkan punggungnya, memiringkan kepalanya, lalu mendaratkan bibirnya tepat di atas bibir Ghea. Memberi sebuah kecupan singkat. Dengan bunyi 'cup' yang kuat.

Ben menarik mundur kepalanya dan bertanya, "Perlu kutambahkan dosisnya?"

Lagi-lagi Ghea diam tak bersuara. Dan Ben mengartikan diam Ghea sebagai persetujuan. Maka Ben meletakkan telapak tangannya di tengkuk Ghea, sekali lagi memiringkan kepalanya, dan mengecup Ghea. Memberi kecupan-kecupan kecil yang banyak. Tidak berhenti dalam waktu panjang hingga membuat suara kecupannya terdengar seperti suara anak kecil yang sedang menyecap permen.

Mau tidak mau, tawa Ghea pecah.

"Ben!" Ghea mendorong dada Ben menjauh sambil memamerkan gigi-giginya yang rapi. "Kenapa kedengarannya justru kayak manggil kucing gitu sih? Ck... ck... ck...?" Ghea menirukan cara memanggil kucing sambil mendecakkan lidahnya.

Ben ikut tergelak. Bukan karena cara Ghea menirukan suara kecupannya serupa decakan untuk memanggil binatang, tapi karena Ghea berhasil meloloskan tawanya. Sejak pertama kali melihat Ghea tadi, Ben bisa melihat otot-otot wajah Ghea menegang, meski dia menyembunyikannya dengan baik. Dengan tawa lepas seperti ini, Ben yakin ada sedikit dari beban Ghea yang terangkat.

Tawa Ghea adalah kelemahan Ben. Ben selalu berpikir alangkah bahagianya kalau Ben bisa membungkus tawa itu dan menyimpannya dalam saku kemejanya. Ben berjanji membiarkan tawa itu berada dekat di hatinya. Setiap saat.

Tidak bisa menahan dirinya lebih lama lagi, tangan Ben kembali berlabuh pada tengkuk Ghea. Kali ini dengan gerakan tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Ben menelengkan kepalanya cepat dan meraup bibir Ghea dengan bibirnya.

Seperti fajar menyingsing di pagi hari. Dimulai dari seberkas cahaya. Merangsek naik hingga merajai hari. Merembeskan cahayanya ke setiap ruang, setiap lorong, setiap sudut. Membagikan energy baru di setiap harinya.

Begitu pula dengan ciuman Ben, perlahan tapi pasti menjadi semakin panas dan liar. Dentum jantung yang menggila menjadi pemompa semangat. Beruntung Ben menyerang Ghea di tengah-tengah tawa gadis itu hingga mulut Ghea sudah siap membuka menerima serangan Ben. Tidak perlu usaha keras untuk Ben bisa menyelipkan lidahnya di dalam rongga mulut Ghea. Tidak adanya penolakan Ghea membuat Ben semakin agresif. Dengan satu kali hentakan, Ben berhasil mengangkat tubuh Ghea hingga terduduk di atas tubuhnya. Tanpa melepaskan ciumannya.

Pikiran Ghea terlalu penuh. Tentang kelanjutan hidup, tentang nasib Papa, tentang masa depan, dan tentang beban hidup lainnya. Otak Ghea rasanya mau pecah setiap kali harus memikirkan semuanya sendiri. Tapi kali ini Ghea ingin beristirahat sejenak. Ghea ingin menikmati adrenalin dalam darahnya yang membuat jantungnya bertalu-talu. Sentuhan bibir lembut Ben selalu bekerja cepat dan tepat sasaran seperti ini. Dengan kecupan ringan saja, otak Ghea yang mumet tiba-tiba kosong. Gelap. Apalagi dengan kecupan liar dan menggebu-gebu seperti ini, Ghea seperti sedang diajak bermain kembang api di tengah-tengah kegelapan pikirannya. Begitu menantang. Hingga rasanya Ghea hanya ingin membalas ciuman Ben sama panasnya, sama liarnya, dan sama semangatnya.

Decap dan desah menjadi satu-satunya bebunyian yang menguasai ruangan kosong itu dalam waktu yang cukup lama. Ben terlalu menikmati permainannya hingga telinganya menulikan diri pada suara-suara samar yang menggema dari luar.

"Permisi ...."

Ghea menarik jari-jemarinya yang tenggelam dalam riak rambut Ben dan mendesah pelan, "Ben...."

Ben yang masih asik memainkan bibirnya di leher Ghea hanya bisa membalas dengan sebuah gumaman yang tidak jelas. "Mmmhhh?"

Ghea menepuk-nepuk punggung Ben sebagai isyarat untuk Ben menghentikan apapun yang sedang dilakukan pria itu. Tapi Ben sepertinya benar-benar sedang tidak ingin diganggu, dia justru memberikan gigitan kecil, hingga membuat Ghea harus menjerit tertahan sekali lagi. Sialnya, jeritan itu semakin mengundang hasrat Ben. Ben semakin mengetatkan rengkuhannya di pinggang Ghea dan menurunkan ciumannya ke tulang selangka Ghea.

"Don't you think he's gone?" Ghea bisa mendengar suara anak kecil menggema samar dari depan rumahnya.

"Kayaknya sih nggak mungkin Jase, kan mobilnya Om Ben masih parkir di depan rumah kita," balas seorang wanita yang menjadi lawan bicara sang anak kecil.

"Jadi dia ada di dalam?" tanya anak kecil itu lagi.

"Nggak tahu sih, coba kita liat aja yuk," jawaban itu terdengar bersamaan dengan suara derap langkah yang semakin mendekat.

Ghea yang mendengar isi percakapan itu refleks mencubit Ben keras di perutnya. "Stop, Ben! Ada yang datang."

Ben meringis kesakitan, tapi kemudian mengernyitkan kening saat mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat disertai sebuah sapaan santun, "Permisi ...."

Ghea buru-buru bangkit dari pangkuan Ben dan berdiri canggung. Tangannya mulai kasak-kasuk merapikan bajunya yang berantakan juga menyisir cepat kuncir rambutnya yang sudah tidak berbentuk. Baru saja Ghea ingin mengikat rambutnya setelah merasa cukup rapi, Ben menahan tangan Ghea.

"Digerai aja," usul Ben.

"Kenapa?" bingung Ghea.

Ben menatap leher jenjang Ghea dengan perasaan bangga bercampur rasa bersalah, "Eum, banyak jejakku di sana."

Plak! Satu pukulan keras Ghea mendarat keras di lengan Ben. Namun yang dipukul malah tertawa kegirangan.

Ghea kesal, Ben selalu kelewatan kalau sudah menciuminya. Tapi kemudian Ghea harus mengigit bibirnya sendiri karena teringat bagaimana dirinya sendiri terlena dan larut dalam permainan Ben. Sepertinya bukan Ben seorang yang harus disalahkan.

Apalagi setelah Ghea menyadari tampang Ben sangat memprihatinkan sekarang, rasanya Ghea ingin mengutuk dirinya sendiri. Rambut pria itu mencuat ke sana-kemari. Belum lagi kemejanya sudah keluar dari pinggang celana dengan aksen remasan di beberapa area.

Sambil mendecak, Ghea membantu merapikan rambut kusut Ben dan menepuk-nepuk pelan kemeja kusutnya, berharap dengan begitu penampilan Ben bisa lebih baik. Tidak lupa Ghea mengusap beberapa area di wajah Ben yang berkilat karena bekas lipgloss Ghea. Untuk pertama kali dalam hidupnya Ghea bersyukur tidak menggunakan lipstick. Kalau saja Ghea masih menggunakan pewarna bibir itu, bisa dipastikan wajah Ben pasti sudah celemotan sekarang.

Hanya berjarak setengah meter di depan Ghea, Ben melakukan hal yang sama. Ben membenahi poni Ghea dan mengancing dua kancing teratas kemeja Ghea yang terbuka.

Astaga, lincah banget tangan Ben sampe buka-bukaan segala. Dasar om-om mesum! Ghea meracau dalam hati.

Baru saja Ghea ingin memperingatkan Ben, sebuah suara anak kecil membuat niatnya tertahan.

"Om Beeeennn!!!"

Ben yang mendengar suara teriakan itu langsung menyambut anak kecil itu dengan merentangkan kedua tangannya. Seperti vacuum yang menyedot debu, rentangan tangan Ben menyedot tubuh anak kecil itu hingga berakhir dalam pelukan Ben.

"Wah, cepet banget akrabnya," seru Diana yang menyusul dari belakang.

"Kamu kan tahu sendiri dari dulu aku selalu cepet akrab sama anak kecil," sahut Ben.

Ghea yang memerhatikan interaksi tiga orang itu hanya bisa mematung di tempatnya berdiri. Sekilas Ghea bisa melihat keakraban yang begitu kental di antara ketiga insan itu. Membuat Ghea semakin curiga akan hubungan ketiganya.

Sialnya, melihat penampakan Diana dari jarak sedekat ini malah membuat Ghea sedikit minder. Sebagai tetangga, tentu Ghea kenal Diana. Dulu, sewaktu Ghea masih kecil, Ghea bahkan sering menghabiskan waktu dengan Diana saat menemani ibu mereka arisan. Mama dan Bu Rani punya lingkar persahabatan yang sama. Meski sudah lama tidak bertemu karena Diana pindah ke London setelah menikah, Ghea bisa merasakan kalau tidak banyak yang berubah dari wanita itu. Dia masih saja cantik dan bersahaja.

"Ghea?" celetuk Diana sambil menunjuk Ghea.

Ghea tersenyum singkat dan mengangguk. "Ia, Mbak."

"Udah gede banget!" Diana takjub sendiri. Tangannya sampai terjulur ke pundak Ghea dan menepuknya akrab. "Udah gadis ya. Udah lulus kuliah?"

"Lagi skripsian, Mbak," jawab Ghea singkat.

"Om Ben," suara renyah anak kecil yang ada dalam dekapan Ben menyita perhatian. "Rumah kosong ini tempat apa? What took you so long in the place like this?" tanyanya polos dengan logat Inggris yang kental.

Pertanyaan Jason sontak membuat pikiran Ben me-reka ulang kegiatannya di rumah ini hingga tanpa disadarinya bibirnya melengkung naik ke atas.

Pun, sama dengan dengan Ghea. Namun reaksi Ghea berbeda. Gadis itu salah tingkah sampai tersedak ludahnya sendiri dan terbatuk-batuk kecil.

Diana yang memerhatikan reaksi dua sejoli itu mendadak paham satu hal. Bahwa ada sesuatu di antara Ben dan Ghea. Entah mengapa pemikiran itu justru membuat Diana merasa sakit di ulu hatinya. Berusaha menguasai perasaannya, Diana memperingatkan puteranya. "Jason, ingat pesan Oma? Kamu ke sini kan untuk ngajak Om Ben makan malam, bukannya untuk nanya-nanya yang nggak penting,"

Teringat pada pesan Oma-nya, Jason jadi lupa menangih jawaban atas pertanyaannya sebelumnya. Jason sekarang malah asik bercerita tentang semua masakan Omanya dan tidak lupa mengajak Ben dan Ghea untuk makan malam di kediaman mereka.

☘️☘️☘️

"Kamu masih ingat, hal yang sering kutawarkan untuk membuatmu merasa lebih baik?"


Hei gaizzz...
Cerita yg ini partnya panjang2 yaa.. hahaha.. maklum updatenya agak slow.. jd supaya feelnya tetap dapet gitu lho.. mudah2an kamu gak eneg yaa...

Btw, buat kamu yang bertanya2 ilustrasi ben dan ghea-nya kok berubah2?
Well, aku sebenarnya ga menentukan karakter pastinya sih, cuma pas nemu gambar yang kayaknya sesuai dengan cerita aku main comot aja gitu...

Kamu bebas membayangkan Ben dan Ghea versimu, hehe...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro