6. Mini Reunion

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ini bukannya kejam banget, Ghe? Tega bener sih kamu?" gerutu Lani saat memeriksa isi pesan balasan Ghea untuk Ben.

Ghea yang masih setia berdiri di sisi kusen jendela kamarnya sambil memandang keluar segera merebut ponselnya dari tangan Lani dan membaca ulang pesan terakhirnya untuk Ben. "Mmm, kayaknya biasa aja sih!" serunya sedikit terbata. Apa memang terlalu kasar? Hati kecil Ghea meragu.

Ketidakmunculan Ben bahkan setelah pria itu kembali ke tanah air lebih dari seminggu yang lalu menjadi salah satu indikasi bahwa Ben sepertinya benar-benar marah.

Biasanya, setiap kali Ghea dan Ben sampai di titik seperti ini, pasti Ben sudah setengah mati memikirkan seribu satu cara untuk memperbaiki keadaan mereka. Pura-pura mabuk berat dan berakhir di pintu kamar kos Ghea menjadi modus yang paling sering digunakan pria itu. Ghea yang tidak tega akan membiarkan Ben masuk ke dalam kamarnya dan meminjamkan ranjangnya untuk tempat Ben tidur dan mengembalikan kesadarannya. Setiap kali Ben kembali tersadar, pria itu pasti selalu punya stok kalimat sarat bujuk-rayu yang berhasil meluluhkan Ghea. Hingga ujung-ujungnya mereka akan berbaikan kembali.

Belakangan Ghea baru tahu kalau ternyata Ben tidak akan pernah mabuk. Dia peminum alkohol yang tangguh. Tapi justru kesediaan Ben untuk datang di saat kesadarannya benar-benar penuh-lah yang membuat Ghea semakin mengagumi Ben. "Terniat" adalah julukan yang disematkan Ghea untuk Ben.

Bukankah terpaut usia yang jauh itu sebenarnya semenyenangkan itu?

Semua sikap Ghea yang kekanak-kanakan akan selalu dimaklumi Ben. Dan semua sikap dewasa Ben mampu menganyomi Ghea.

Masalahnya, sampai kapan Ghea akan membiarkan dirinya terperangkap dalam zona nyaman seperti itu?

"Kayaknya ini memang udah saatnya deh, Lan," gumam Ghea setengah melamun. Untuk terakhir kali, Ghea berjanji ini akan menjadi yang terakhir kalinya dia berdiri di depan jendela kamar sambil menunggu kedatangan Ben. Ben sepertinya tidak akan kembali. Seperti yang Ghea harapkan.

"Apanya?" tanya Lani yang masih duduk berselonjor di ranjang Ghea sambil menggulir gawainya, ogah-ogahan.

"Udah saatnya aku berhenti mengandalkan Ben. Nggak usah pura-pura bodoh lagilah. Aku tahu betul sebesar apa peran Ben selama setahun terakhir sehingga bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini." Ghea memuaskan matanya untuk menyapu satu kali pandangan lagi—dan berhenti lama di tempat Ben biasa memarkirkan mobilnya—sebelum menyusul Lani rebahan di ranjang. "Uang kuliah nunggak yang mendadak lunas, kemudahan administrasi rumah sakit yang membuat jasad Mama bisa keluar dari rumah sakit dengan mudah, biaya kos, dan yang lainnya, semuanya nggak akan selesai kalau bukan karena Ben, kan? Aku udah nunggak utang terlalu banyak sama Ben. Ini saatnya aku harus berhenti dan mikirin cara gimana untuk melunasi semuanya."

"Dan jangan lupa, biaya untuk skripsi-an, juga uang kuliah semester ini belum aman," Lani mengingatkan.

"Maksudmu apa sih, Lan? Kamu berharap aku memanfaatkan Ben lagi?" pekik Ghea tidak setuju.

"Bukan memanfaatkan, Ghea sayang, tapi meminta bantuan," jawab Lani tenang dan sabar. "Setelah ini semua kan kamu sendiri yang bilang bakal berusaha keras dapat kerjaan bagus, lalu kamu bakal lunasin semua utang yang menurutmu menunggak banyak itu."

Ghea bergeming. Kepalanya ikut mengkalkulasi biaya hidup yang tidak sedikit, serta memikirkan cara paling memungkinkan untuk memenuhinya. Sayangnya, semua bala bantuan yang Ghea ketahui sudah buntu. Semua keluarga dari pihak Papa selama ini sangat bergantung pada perusahaan Papa yang diwariskan dari leluhurnya. Dengan bangkrutnya usaha Papa, otomatis semua keluarga dari pihak Papa tidak bisa dimintai tolong. Buktinya saja, sampai saat ini tidak ada yang pernah menanyakan kabar Ghea, itu pasti karena mereka sendiri masih sibuk mencari cara untuk bertahan hidup. Ghea tidak mungkin menambah beban mereka.

Sedangkan keluarga dari pihak Mama hanya ada Bibi Yana. Itu pun tidak mungkin dimintai tolong karena dia sekarang sudah hidup tenang di Australia. Menurut cerita mendiang Mama sebelum dia berpulang, Bi Yana juga sedang dalam krisis finansial karena terlalu banyak menggunakan tabungannya untuk program momongan. Sampai saat ini Tante Yana belum dikaruniai anak.

Dengan alasan yang panjang itu pula, Ghea tidak pernah bisa menolak setiap kali Ben turun tangan menangani masalah finansial Ghea. Apalagi Ben selalu mengerjakan semuanya diam-diam. Seolah-olah Ben terlalu tahu kalau Ghea pasti akan menolak kalau dia meminta izin terlebih dahulu.

"Lagian, Ben juga nggak bakal perhitungan sih sama biaya hidupmu, dia pasti memberikan uangnya secara sukarela. Kayak selama ini Ben pernah nagih kayak reintenir segala!" lagi-lagi Lani membela Ben.

Ghea menggeleng mantap. "Nope. Kali ini enggak lagi deh, Lan. Aku masih punya satu cara. Aku bisa jualin semua peninggalan Mama. Yang jelas, aku nggak akan berhubungan sama Ben lagi."

**

Ben melambatkan laju mobilnya menuju sebuah rumah minimalis dengan dominasi cat berwarna cokelat lembut dan pagar coklat setinggi dada.

"Iyap. Yang ini!" seru Diana yang duduk di bangku belakang seiring dengan berhentinya mobil Ben di depan rumah bernomor 51 itu. "Masih inget ya kamu?"

Dari bangku penumpang di sebelah Ben, seorang anak lelaki bermata biru mencetuskan kata terimakasih dengan artikulasi yang sangat jelas. "Makasih, Om."

Ben tersenyum hangat membalas anak kecil itu.

Dalam obrolan sepanjang Soekarno Hatta menuju kediaman orangtua Diana, cerita tentang Jason—anak bermata biru—buah cinta pernikahan Diana dengan Mark, menjadi topik yang mendominasi. Ben senang mendengar cerita tentang keseharian Jason yang ternyata begitu lancar berkomunikasi dengan bahasa Indonesia karena diasuh oleh sang Nenek sejak lahir. Jason bahkan mengaku kerap mengata-ngatai anak tetangga mereka yang usil dengan bahasa Indonesia. Ben sampai terpingkal-pingkal mendengar cerita itu.

Sebelum Jason turun dari mobil, Ben mengangkat lima jarinya ke arah Jason. "High five dulu, dong!" Dan dengan semangat Jason menepukkan kelima jemarinya ke arah tangan Ben yang menunggu.

Sebenarnya pertemuan dengan Diana dan anaknya tidak pernah ada dalam agenda Ben. Ben bahkan sengaja tidak membagikan nomor pribadinya kepada Diana di malam reunian kecil mereka di London beberapa minggu yang lalu. Bukannya kenapa-kenapa, Ben hanya tidak suka memberikan harapan palsu pada Diana yang sepertinya masih memendam perasaan untuk Ben.

Namun pertemuan tidak sengaja di coffeeshop bandara tadi membuat Ben tidak bisa mengabaikan dua orang ini. Terutama Jason. Ben selalu suka pada anak kecil. Melihat Diana kerepotan sendiri dengan koper-kopernya dan seorang anak kecil yang begitu aktif berlarian ke sana-kemari, Ben merasa perlu memberikan bantuan. Paling tidak, agar ibu-anak ini bisa sampai ke tujuan mereka dengan aman dan selamat.

"Makasih banyak lho, Ben," ucap Diana sambil merapikan isi tas tangannya.

"Halah, sungkan amat. Lagian sekalian aku balik ke rumah sakit juga kan," sahut Ben sambil memiringkan duduknya untuk melihat lawan bicaranya.

"Tumben banget mau-mau aja dimintai jadi supir? Pengin alih profesi nih? Nggak sekalian jadi driver grab aja, Pak, biar total," ledek Diana. Diana sudah dengar alasan Ben berada di bandara tadinya hanyalah untuk mengantarkan Litha dan putri kecilnya yang akan berangkat ke Disneyland, Tokyo. Kesediaan Ben untuk mengantar-antar teman-temannya sebenarnya cukup langka terjadi.

"Jangan lupa bintang lima-nya ya, Bu." Ibarat gayung bersambut, Ben meladeni ledekan Diana. Paling tidak dengan cara seperti ini, Ben tidak perlu mengaku kalau dia rela melakukan kesibukan apapun belakangan ini untuk mengalihkan pikirannya dari Ghea.

Ghea itu serupa jelangkung yang menjadi pelanggan tetap di pikiran Ben. Datangnya tiba-tiba, menetapnya lama, dan tidak ada yang menjemput. Hanya kesibukan yang bisa membuat Ben bisa mengusir bayang-bayang Ghea.

Dari dalam rumah, Bu Rani—ibunda Diana—membukakan pintu pagar. Sepertinya beliau sudah menyadari kedatangan putri dan cucu kesayangannya melalui cctv yang terpasang di atas gerbang rumah. Jason dengan lincah menabrakkan dirinya kepada tubuh wanita tua itu sambil bersorak, "Omaaa...!!!" lantas keduanya tertawa bahagia.

Melihat pemandangan itu, Ben jadi teringat ibunya sendiri. Bisa melihat ibunya sebahagia itu pasti akan sangat menyenangkan.

"Sekali lagi, makasi ya, Ben," ujar Diana yang akhirnya benar-benar turun dari mobil Ben.

Bu Rani yang mendengar nama Ben disebut buru-buru menundukkan kepala sejajar dengan jendela mobil untuk melihat tampang supir yang baru saja mengantarkan anaknya pulang itu. Detik pertama matanya menemukan keberadaan Ben, wanita tua itu terperanjat. "Ben??? Benjamin Setiawan???"

"Selamat sore, Tante. Lama nggak ketemu," sapa Ben yang akhirnya memilih untuk menyusul turun, menyapa Bu Rani.

Kontras dengan senyum ramah yang dipamerkan Ben di wajahnya, Bu Rani justru menyambut Ben dengan sedu sedan. Tangisnya pecah saat merangkul Ben masuk ke dalam pelukannya.

"Ben ... Ben ...," isak Bu Rani, "Coba aja kalau Diana nikahnya sama kamu."

Ben mendadak gelisah. Keringat dingin bermunculan di keningnya. Kemungkinan memang akan sangat kecil sekali, namun tidak ada yang tidak mungkin.

Baiklah, Ben akan mengaku kalau selain Jason, Ben punya alasan lain saat menawarkan diri mengantarkan Diana. Alasan itu adalah Ghea. Kompleks kediaman Bu Rani adalah kompleks yang sama dengan kediaman keluarga Ghea. Jaraknya pun tidak jauh, hanya selisih tiga bangunan.

Ben cukup hapal kunjungan rutin Ghea ke rumah keluarganya. Tepat di saat-saat seperti ini. Minggu pertama di awal bulan. Ben memang berjanji pada kedua sahabatnya untuk berhenti menemui Ghea supaya membuat gadis itu merasa kehilangan—mereka tidak tahu saja kalau sebenarnya Ben yang tersiksa—tapi kalau Ben bertemu dengan tidak sengaja di tempat ini, itu artinya Ben tidak melanggar janjinya kan?

Masalahnya, Ben sama sekali tidak punya rencana untuk beramah tamah dengan mantan calon besannya seperti ini. Gimana kalo terciduk Ghea, coba?

"Bu, ngomong apa sih?" sergah Diana dari balik punggung Bu Rani.

Dengan kikuk, Ben mencoba mengurai pelukan.

"Maaf, Nak Ben. Ibu kebawa perasaan," kata Bu Rani terdengar lirih, tangisnya masih tersisa. "Tapi sejauh ini Ibu belum pernah dapat undangan pernikahanmu kok. Kamu masih single kan?" tanpa sungkan Bu Rani meraih jemari Ben dan menganalisa. "Tuh, cincin kawinnya juga belum ada."

Ben hanya tertawa canggung menanggapinya.

"Iya, Ibu tahu Diana sekarang udah janda, tapi kalau kamu nggak keberatan, mungkin kalian bisa membina hubungan baik lagi," sambung Bu Rani memersuasi.

Ben memamerkan tawa canggungnya sekali lagi. Ingin berkelit, tapi Ben tidak tahu caranya. Untung saja momen canggung itu diselamatkan oleh bunyi knalpot sepeda motor yang sangat berisik. Kompleks ini memang selalu sunyi, apalagi di jam-jam siang seperti ini. Penghuninya lebih banyak aktif dengan pekerjaan masing-masing sehingga suasana selalu tenang. Oleh karena itu kehadiran sebuah sepeda motor dengan bunyi knalpot yang mengganggu itu cukup menyita perhatian.

Perhatian Ben, Diana, Jason dan Bu Rani sukses teralihkan pada sepeda motor yang baru saja melesat melewati tempat mereka berdiri.

Ben tidak bisa memerhatikan pengendara sepeda motor itu karena kepalanya tertutup helm fullface, tapi Ben bisa memerhatikan penumpang yang duduk tepat di belakang pengendara sepeda motor itu. Penumpang dengan tubuh mungil yang familiar di mata Ben. Ben bisa memastikan kalau penumpang itu adalah orang yang dikenalnya melalui tas yang menempel di punggung sang penumpang. Tas ransel keluaran Jansport dengan motif kotak-kotak berwarna hitam-merah. Gantungan berbentuk wanita Jepang dengan ukuran sebesar kepalan tangan yang menggantung pada salah satu kancing ransel itu terguncang saat sepeda motor berhenti di depan pagar rumah bernomor 55. Tidak salah lagi, Ben meyakini sang penumpang pastilah mantan kekasihnya, Ghea.

Ben merasa perlahan tapi pasti seluruh darah dalam tubuhnya mendesak naik ke ubun-ubunnya, seiring dengan mengerasnya rahangnya. Tidak hanya karena kedekatan fisik Ghea dengan pengendara sepeda motor yang duduk berdempetan, tapi juga karena Ghea turun dari sepeda motor dengan cara memegangi pundak sang pengendara.

Ben mendadak tuli pada panggilan Bu Rani yang menyebut namanya, saat kakinya tiba-tiba melangkah cepat mendekati pengendara sepeda motor.

Persetan dengan status mantan! Ben akan menghajar pria mana saja yang akan mendekati Ghea. Ben tidak akan semudah itu merelakan mantan kekasihnya itu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro