16. Kebahagiaan Yang Paling Menyedihkan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semua rencana Ghea berantakan sudah.

Kalau sesuai dengan rencana, seharusnya semalam Ghea mempersiapkan diri dengan membaca buku-buku pemberian Ben. Tapi semalam Ghea hanya melamun seharian. Hingga hari ini rasanya otak Ghea kosong.

Kalau sesuai dengan rencana, seharusnya hari ini Dana menemani Ghea sepanjang perlombaan, namun Ghea berakhir hadir di acara final perlombaan seorang diri.

Kalau sesuai dengan rencana, seharusnya Lani membantu me-make over penampilan Ghea sebelum perlombaan dimulai, tapi Lani mendadak mendapat pergantian jadwal bimbingan skripsi. Hingga Ghea harus menghadiri acara pentingnya dengan make up seadanya.

Satu-satunya hal baik yang Ghea ingat mungkin terjadi hari ini adalah kehadiran Lani yang katanya akan menyusul setelah bimbingannya selesai.

Di atas segala perasaannya yang sudah tidak berbentuk, Ghea ingat betul kalau perlombaan hari ini sangat penting bagi masa depannya. Maka Ghea berusaha keras menepis semua pikiran-pikiran yang mengganggu demi fokus pada perlombaan ini saja.

Tiga orang finalis yang terpilih di kampus Ghea, ternyata harus bersaing dengan tiga besar finalis dari kampus lainnya, untuk kemudian dipilih tiga yang terbaik. Jumlah keseluruhan kontestan hanya sepertiga dari babak sebelumnya, namun Ghea tampak jauh lebih tenang kali ini. Kalau di babak sebelumnya kepercayaan diri Ghea terkikis saat melihat banyaknya jumlah saingan, kali ini Ghea bahkan tidak bisa merasakan apa-apa. Mati rasa. Padahal saingan kali ini jelas lebih berat daripada sebelumnya.

Ajaibnya, Ghea jadi bisa melewati rangkaian demi rangkaian tahap penyisihan. Diawali dari test berbahasa asing, di mana para peserta dituntut untuk bisa membacakan naskah berita dalam bahasa Inggris dengan pelafalan yang jelas dan pas. Beruntung pekerjaan sampingan Ghea adalah penerjemah, hingga dia bisa melewati tahap ini dengan mudah. Ghea lolos ke dalam tahap selanjutnya, dengan jumlah saingan yang lebih mengerucut, 100 orang.

Selanjutnya, Ghea masuk ke dalam tahap camera look. Ghea yang menjadi sosok paling mungil di antara peserta lain sempat merasa kalau namanya tidak akan disebutkan dalam daftar peserta yang lolos. Ajaibnya, nama Ghea disebutkan di urutan paling akhir. Agaknya panitia bisa menilai kelebihan fisik Ghea yang lain selain tingginya yang hanya mencapai angka 160 cm.

Untuk tahap yang terakhir, di mana jumlah peserta semakin mengerucut menjadi 10 orang, peserta dituntut untuk menunjukkan communication skill yang baik. Pada tahap ini, masing-masing peserta akan berdebat satu sama lain. Topik perdebatan akan ditentukan melalui undian yang dimasukkan ke dalam bola-bola kertas yang sudah disiapkan panitia dalam sebuah wadah kaca.

Ghea mendapat giliran yang terakhir. Berdebat dengan seorang mahasiswi cantik dari kampus lain, yang baru Ghea ketahui bernama Dara. Saat ditunjuk untuk mengambil salah satu bola kertas di dalam wadah, Ghea memberi kesempatan pada Dara untuk mewakili.

"Baiklah, untuk pasangan Ghea dan Dara," Lukas Hermawan, selaku news anchor tersohor yang membawa acara kali ini—karena disiarkan langsung di Pelita tv—membuka bola kertas yang baru saja diserahkan Dara. "Kalian mendapat jatah untuk membahas kebijakan pemerintah tentang kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara."

"Wow, ini topik yang cukup menarik ya," Hilda Silalahi, selaku pasangan host Lukas menimpali. "Jadi, siapa yang di antara kalian akan menolak dan siapa yang setuju."

Dengan cepat, Dara mengangkat mic lebih dulu dan menjawab. "Saya tidak setuju dengan kebijakan itu."

Ghea hanya tersenyum tipis dan menerima nasibnya sebagai pihak yang harus setuju.

"Baik, waktu kalian untuk memperdebatkan kebijakan ini diberi waktu 5 menit. Dimulai dari ...," Lukas menatap Hilda untuk memberi kode, lantas keduanya berseru bersamaan, "sekarang!!!"

"Saya tidak setuju dengan kebijakan itu karena kita lihat sendiri kondisi masyarakat kita sekarang yang serba kesusahan. Menurut saya dana itu lebih baik dialihkan kepada hal-hal yang lebih penting seperti kesehatan mungkin, atau pendidikan," Dara memulai argumentasinya.

Ghea mengangkat mic untuk menanggapi. "Tapi kita lihat sendiri bagaimana kesejahteraan hidup ASN selama ini. Tidak bisa dipungkiri beberapa alasan yang membuat kinerja mereka tidak maksimal adalah karena rendahnya kesejahteraan hidup. Banyak ASN yang harus mencari pendapatan tambahan dengan mencari pekerjaan lain, hingga pekerjaan utamanya terbengkalai. Dengan adanya penambahan gaji yang akan berdampak langsung pada kesejahteraan hidup mereka, saya yakin mereka akan lebih menghargai pekerjaan mereka dan melakukan yang terbaik di bidangnya. Apalagi kalau dibarengi dengan regulasi yang tepat."

"Tapi masalahnya, regulasi yang sekarang ini pun tidak serta merta berhasil membuat ASN menjadi lebih disiplin!!!" Dara meninggikan suaranya. "Kalau kita perhatikan di jam-jam kerja, banyak ASN yang keliaran di tempat-tempat umum, bukannya bekerja seperti seharusnya."

"Saya tidak sependapat. Saya melihat sendiri banyaknya perubahan terhadap pelayanan publik sekarang-sekarang ini. Saya juga melihat usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas ASN tidak main-main. Sebut saja seperti pelatihan-pelatihan, juga penggunaan teknologi yang menunjang seperti sistem absensi dan lainnya. Saya optimis kalau semua usaha ini dipertahankan apalagi ditingkatkan, pelayanan publik akan semakin membaik lagi. Untuk itu, tidak ada yang salah dengan menaikkan gaji dan tunjangan mereka, karena mereka juga terbukti bekerja keras untuk melakukan pekerjaannya." Ghea berusaha menyanggah dengan tenang. "Kalau kita telisik lebih mendetail lagi, para ASN ini, adalah sebagian dari orangtua generasi-generasi muda yang masih menuntut ilmu di sekolah. Dengan lebih sejahtera hidup mereka, otomatis akan meningkatkan kualitas generasi penerus. Tidak bisa dipungkiri kalau orangtua akan memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak mereka."

KRINGGG!!!

Bel tanda waktu habis berdering nyaring, disambut dengan tepuk tangan yang riuh dari dari para penonton.

Kedua pembawa acara juga turut menepuk tangan mereka seraya mengangguk-anggukkan kepala.

"Ya, tidak ada yang benar dan salah dari argumen kedua peserta ini. Semua bebas mengutarakan pendapat mereka. Kita ingatkan sekali lagi, yang kita nilai di sini adalah kemampuan berkomunikasi," Hilda mengingatkan.

"Benar sekali Hilda! Jadi buat kedua peserta, jangan lanjutkan perdebatan kalian di belakang panggung ya!" kelakar Lukas.

Ghea tersenyum simpul, sementara Dara meringis kecut. Lalu keduanya meletakkan mic kembali pada tempatnya dan kembali ke belakang panggung.

Dari tempat duduknya, Ghea bisa mendengar Hilda dan Lukas mengatakan kalau dewan juri sedang rapat internal untuk menentukan juara. Selagi menunggu keputusan dewan juri, para penonton disuguhkan dengan penampilan band Noah yang menghibur dengan melantunkan beberapa tembang terbaik mereka.

Beberapa peserta mulai ikut menyanyi mengikuti lirik lagu yang dilantunkan Ariel, sang vokalis, sementara Ghea hanya menekuri ponselnya.

Tidak ada yang menghubunginya.

Dana ... wajar tidak menghubungi. Pria itu memang tidak pernah berbagi kabar dengan Ghea.

Tapi Ben ... laman pesan terakhirnya hanya berisi pesan gombal yang sudah dikirimnya dua hari yang lalu.

Benjamin Setiawan : Kalo kamu menang, kita liburan ke Jepang yuk. Berdua aja.

Ghea Chalondra : Yakin berdua aja? Nanti kalo ngga ada yang jagain pulang-pulang malah jadi bertiga, gimana dong?

Benjamin Setiawan : Hahahaha. Makanya kamu lucunya jangan kebangetan dong. Aku jadi gemas :(

Ghea tertawa miris mengingat semua kegombalan Ben, tapi entah mengapa hatinya terasa sangat sesak saat memerhatikan huruf demi huruf di laman pesan itu. Apakah ini yang disebut ... rindu?

Ghea menggeleng-gelengkan kepalanya kuat. Pikirannya mulai bermasalah. Ini semua pasti karena perasaannya sedang hancur-hancurnya paska harus merelakan pria yang dicintainya menikahi perempuan lain. Dan pria yang selalu mendampinginya sudah dicampakkannya begitu saja.

Ghea tiba-tiba teringat lagi rencana awalnya. Seharusnya ada Dana yang berbagi momen penting Ghea kali ini. Setelah penantian panjang, seharusnya Ghea mendapatkan kebahagiaannya. Perasaannya berbalas. Tapi penolakan Ghea semalam sudah menjadi jawaban tentang kandasnya kebahagiaan Ghea. Jangankan berbagi momen penting, Ghea bahkan tidak yakin masih bisa menghadapi Dana lagi nanti.

Kenapa nasibku begitu menyedihkan? Rintih suara hati Ghea.

Berusaha mengalihkan pikirannya, Ghea melirik jam tangannya. Sudah pukul tiga sore, tapi tidak ada tanda-tanda kemunculan Lani. Ke mana perginya sahabatnya itu?

Ghea memilih untuk memusatkan pikirannya lagi pada perlombaan saat Hilda dan Lukas sudah mengambil alih panggung kembali. Dengan suara khas yang memanjakan telinga, mereka memanggil ke-sepuluh peserta untuk ikut naik ke atas panggung.

"Jadi inilah ke-sepuluh kontestan terbaik kita," Lukas merentangkan tangannya ke arah barisan kontestan yang berdiri membentuk garis horizontal di panggung. "Percayalah, kalian harus berbangga hati karena untuk bisa berdiri di sini, saat ini, sangatlah sulit. Kalian harus mengalahkan ribuan kontestan lain."

"Tepuk tangan dulu dong, untuk ke-sepuluh mahasiswa hebat ini!" ajak Hilda yang langsung direspons baik oleh para penonton.

Setelahnya, Hilda dan Lukas saling bahu-membahu membeberkan tentang perjalanan panjang ajang Pelita Goes to Campus ini, kemudian disusul dengan mengumumkan hadiah-hadiah apa saja yang akan diterima para pemenang. Hilda dan Lukas juga mengingatkan bagi para peserta yang tidak menang untuk tetap semangat dan pantang menyerah dalam mengejar cita-cita mereka. Hingga akhirnya, sampailah pada saat-saat penentuan itu.

Hilda dan Lukas berhasil menciptakan suasana dramatis saat akan mengumumkan juara. Entah mengapa, Ghea yang berdiri di urutan ke tiga dari pinggir barisan merasa hatinya kosong. Tidak ada perasaan menggebu, tidak ada harapan, juga tidak menyesalkan apapun. Ghea seperti kotak kosong yang sedang terombang-ambing di lautan lepas. Menunggu waktunya untuk mendarat. Di mana saja. Kapan saja.

Ghea tidak ingat berapa lama waktu yang dia gunakan untuk melamun, tapi dia akhirnya tersadar saat tubuhnya diguncang ringan dari kiri dan kanan. Dengan terbengong-bengong Ghea melangkah maju saat melihat lambaian tangan dari kedua host. Di depan sana, sudah ada Rico, salah seorang peserta lainnya yang menunggu. Ghea melihat Rico memegang plakat dengan tulisan pemenang ketiga.

Ghea menutup mulut dengan kedua tangannya saat Lukas menyebut namanya sebagai pemenang kedua, sekali lagi. "Yes, Ghea Chalondra, kamu adalah pemenang kedua," katanya dengan bangga.

Adalah Melanie Karta, kontestan cantik dengan segudang prestasi yang menjadi pemenang pertama. Ghea tidak akan protes. Melanie pantas mendapatkannya. Selain pintar dan berbakat, dia juga cantik. Parasnya bak model internasional, kemampuan komunikasinya juga hebat. Wajar kalau dia yang menjadi pemenang utama.

Ghea tidak benar-benar paham apa yang dirasakannya sepanjang sisa puncak acara itu. Ghea bisa menyambut hangat semua pujian dan ucapan selamat, Ghea bisa merasakan indahnya panggung saat dijatuhi potongan-potongan kertas berwarna-warni, Ghea bahkan bisa memegang plakat tanda kemenangannya dengan sangat baik. Tapi ada yang kurang. Sesuatu yang membuat senyum Ghea tidak lepas sama sekali.

Setelah semua peserta bubar, saat panggung hanya menyisakan beberapa kru yang sibuk beres-beres dan sampah-sampah yang bertebar berantakan, Ghea kian merasa kekurangan itu semakin pekat.

Ghea masih bergeming di tempatnya, sampai saat Lani menghampirinya dengan napas tersengal dan bulir-bulir keringat memenuhi keningnya. "Gila ya, Pak Anjas pake acara bimbingan massal segala. Aku dapat giliran terakhir lagi. Maaf, aku nggak nemenin sepanjang acara tadi ya, Ghe," ujarnya ngos-ngosan.

Lani lantas melihat plakat yang masih digenggam Ghea dan membaca tulisan yang tertera di sana. "Gila! Kamu juara dua!!!" pekiknya girang. "Selamat sayaaanggg...." Lani memeluk Ghea erat.

"Makasih," lirih Ghea dari dalam pelukan sahabatnya.

"Di mana Dana? Bukannya kamu bilang bakal ngerayain hari berbahagia ini sama dia?" tanya Lani yang belum tahu menau tentang keputusan Ghea untuk melepas Dana semalam.

Ghea menggeleng lemah. "Aku nggak akan bisa memenuhi syaratnya, Lan."

"Maksud kamu?" bingung Lani.

"Dia perlu istri untuk mengurus keluarganya, dan aku bukan orang yang tepat untuk itu," jawab Ghea lemah.

Lani terkesiap. "Astaga!!! Dan kita udah terlanjur singkirkan, Ben. Padahal dia pasti jadi orang yang paling bangga dengan pencapaianmu."

Ghea menatap Lani nanar. "Cepat atau lambat dia harus tahu kan? Kamu sendiri yang bilang nggak seharusnya aku mempermainkan perasaannya. Dia lebih pantas dapat wanita yang benar-benar mencintainya."

Sekarang barulah Ghea tahu apa yang kurang.

Ternyata yang paling menyedihkan dalam hidup adalah saat tidak memiliki seseorang yang spesial untuk merayakan kegembiraannya. Sekali lagi Ghea merasa perlu memeluk sahabatnya itu.

Di dalam pelukan Lani, Ghea menangis dalam diam.

**

Ben sedang menuliskan resep untuk pasien terakhir yang diperiksanya hari ini saat pikirannya lagi-lagi terdistraksi tentang hasil akhir ajang Pelita Goes to Campus.

Apakah Ghea bisa melewatinya dengan baik? Apakah gadis itu lolos menjadi pemenang? Rasa penasaran menyeruak tak henti-hentinya. Namun sebanyak dan sesering apapun rasa penasaran itu mampir, ego Ben selalu menang menaklukkannya.

Kenapa pula Ben harus peduli? Pada anak ingusan yang hanya tahu mempermainkan perasaannya? Dia pikir dia itu siapa? Mampu mengguncang dunia Ben? Tidak. Ben tidak akan membiarkan perasaan melankolisnya menang kali ini.

Dua hari ini, tepatnya setelah pembicaraan serius dengan Ghea di coffeeshop, Ben sebenarnya seperti sedang memasuki dunia yang tidak dikenalinya. Ben tampak sangat normal, tapi sebenarnya dia sendiri tidak paham apa yang sedang dikerjakannya.

Di sela-sela kesibukannya, Ben seperti selalu mendengar suara-suara di dalam kepalanya. Suara yang mengganggu seperti: Pantas saja dia selalu begitu mudah bilang putus! Pantas saja Ben terkelabui, toh selama ini pun Ghea selalu tampak tenang kan? Dia bahkan tampak sangat tenang saat rumah orangtuanya resmi dilelang! Dia pasti juga bisa menjadi sangat tenang saat menyembunyikan perasaan cintanya untuk orang lain! Tapi siapa orang itu? Ben bahkan tidak pernah melihat ada pesan-pesan aneh, atau pria-pria random yang cukup dekat dengan Ghea! Apakah mungkin Ghea hanya mencari-cari alasan untuk bubar? Tapi kenapa? Apa semua yang Ben berikan belum cukup?

"Kupikir kamu diam-diam berangkat ke studio Pelita TV untuk menguntit anak ingusan itu!" sindir Fuad.

Ben bahkan tidak menyadari pasiennya sudah pergi meninggalkan ruangannya, digantikan sahabatnya yang bermulut bisa.

"Watch your mouth, Fuad! Kamu sama sekali nggak punya kapasitas untuk menilai Ghea!" Terkutuklah yang namanya refleks! Ben bahkan tidak menyadari bagaimana kejamnya sorot mata dan tutur katanya pada sahabatnya sendiri hanya karena Ghea disebut sebagai anak ingusan.

"Hey, calm down, Ben." Sejak kapan Litha juga sudah ada di ruangan Ben? Ben sama sekali tidak tahu. Sudah Ben bilang kan, kalau dia seperti sedang memasuki dunia yang tidak dikenalinya?

"Kalau kamu cukup kuat untuk ngeliat dia bersama pria lain, ayo kita susul ke studio Pelita TV. Aku yakin banget cowok yang selalu dipikirannya itu lagi nemenin dia sekarang," usul Fuad. Tampaknya tidak kapok mengompori sahabatnya sendiri.

"Nggak bisa. Aku ada janji sama Mama," tolak Ben.

Saat Ben mengatakan dia ada janji dengan Mama, dia benar-benar bertemu dengan wanita paruh baya itu seusai praktek.

Sudah lama Mala mengatakan bahwa dia ingin menikmati makanan korea yang sedang digandrungi itu, dan Ben berkeras untuk membawa Mala hari ini. Harus hari ini. Karena Ben harus punya seseorang yang menahannya agar tidak berlari ke Pelita tv.

Seperti kata Fuad, Ben sepertinya tidak akan sanggup menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kalau Ghea benar-benar bersama pria lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro