17. Pelarian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hei-ho, aku update 4 bab nih guys, Kalo belum cek part sebelumnya, monggo di cek dulu ya...

tepatnya, part yang di upload hari ini adalah part 16,17,18 dan 19. semoga kamunya enggak gumoh yaa... :)

Hari-hari berjalan hampa. Tapi Ghea bisa melewatinya dengan baik. Skripsi Ghea telah selesai, dan sidang pun bisa dilewatinya dengan baik. Ghea bahkan berhasil mendapat nilai maksimal. Tapi anehnya, Ghea merasa semua biasa saja. Tidak terasa istimewa, karena hatinya kosong.

Sebulan sudah Ghea dengan kesendiriannya.

Ghea sebenarnya masih belum bisa menerima kenyataan tentang kisah cintanya dengan Dana yang tidak akan pernah berakhir manis, tapi Ghea mem-fokuskan dirinya pada tujuan hidupnya untuk memiliki karir. Jangan sampai semua tindakan Ghea—saat melepas Dana—berakhir sia-sia. Ghea harus bisa mendapatkan karir yang diimpikannya.

Ghea kian merasa sepi kala Lani, sahabat satu-satunya, mulai semakin sibuk. Dosen pembimbingnya sangat perfeksionis. Lani selalu dituntut untuk melakukan penelitian yang terbaik, hingga waktu luangnya tersita banyak untuk mengurusi skripsinya itu. Alhasil, Ghea hanya bisa pasrah dengan kesendiriannya.

Di saat-saat seperti ini, Ghea baru tahu kalau dia ternyata kehilangan Ben. Walau yakin perasaannya untuk Ben bukan cinta, Ghea baru sadar kalau Ben cukup berarti sampai-sampai Ghea lebih sering membaca riwayat pesan-pesan Ben daripada Dana, di aplikasi chat-nya.

"Kamu udah baca syarat yang ditentukan pihak Pelita TV kan?" Bu Laksmi, dosen pembimbing Ghea mengingatkan. "Kamu harus punya ijazah untuk bisa menuntut hak kemenanganmu menjadi news presenter di perusahaan mereka."

Ghea mengangguk lemah.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ghea menyesal telah memilih kampus termahal saat ingin kuliah dulu. Awalnya, Ghea hanya memilih kampus ini untuk membuat Papa menggunakan uangnya lebih bijaksana. Daripada dihambur-hamburkan untuk wanita jalang, Ghea lebih suka menggunakan uang Papa untuk membiayai kuliahnya. Sekarang terbukti emosi tidak membawa Ghea kepada kebijakan, melainkan kebodohan.

Lihat sendiri bagaimana Ghea harus pontang-panting membiayai kuliahnya, sekarang. Semua barang jarahan dari Retno sudah habis. Ghea tidak punya uang lagi untuk membayar biaya wisuda yang jumlahnya tidak sedikit. Sementara, kampus menentukan kebijakan untuk memberikan ijazah setelah mengikuti dan membayar biaya wisuda.

Kalau sudah begini, bagaimana Ghea bisa maju meraih cita-citanya?

"Aku punya simpanan sih, tapi nggak seberapa," Lani menawarkan bantuannya. "Kamu tahu sendiri kan dengan maraknya penggunaan dunia digital kayak sekarang, minat orang-orang untuk menggunakan jasa media elektronik sekelas radio semakin berkurang. Radio Papa sepi pemasang iklan, sementara karyawan harus tetap digaji."

Ghea tersenyum singkat. "Tenang aja, aku bisa usahain kok."

"Mmm ... Ghe," Lani tampak ragu-ragu, namun melihat sahabatnya itu mengangkat kedua alis sebagai isyarat untuk Lani melanjutkan, Lani berkata. "Aku tahu ini akan sangat melukai harga dirimu ... tapi kamu nggak mau coba minta bantuan Ben? Dia satu-satunya orang yang bisa diharapkan sekarang."

**

"Apa waktu sebulan ini belum cukup?" Litha memegangi pundak Ben.

"Entahlah," jawab Ben putus asa. "But I'm working on it. Trust me."

"Makanya kamu buka hati dong buat Diana. Jangan dimanjain sakit hatinya!" kesal Fuad.

"Urusan hati memang sulit dikendalikan pakai pikiran sih, aku bisa maklum kalau kamu belum bisa sepenuhnya move on. Tapi please, jangan merana begini. Aku pengin kamu bahagia, Ben," tutur Litha sungguh-sungguh.

Jam kerja ketiga sahabat itu baru saja usai. Seharusnya, Ben sudah pergi menjemput Diana dan Jason di mal dekat dengan rumah sakit sesuai jebakan Fuad. Tadi, Fuad menggunakan kesempatan saat Ben ke kamar kecil untuk mengirim pesan pada Diana lewat ponsel Ben. Isi pesannya sederhana: "Aku udah selesai praktek, lima belas menit lagi aku jemput kamu."

Ben bisa saja berkelit dengan mengatakan kalau bukan dia yang mengirim pesan itu, tapi balasan antusias dari Diana mengurungkan niatnya.

"Emang Diana kurang apa sih, Bro? Body aduhai, kelakuan baik, dan pastinya, dia pasti tahu cara memuaskanmu. Di mana aja. Apalagi dia biasa mainnya sama bule! Pasti banyak variasinya tuh," Fuad menaik-turunkan alisnya, seperti sedang memikirkan yang tidak-tidak.

"Hey, ini bukan cuma soal selangkangan ya!" hardik Litha. "Omongan sampah gitu nggak usah didengerin, Ben. Kamu nggak mau kan, berakhir senasib sama aku? Terpaksa menikah karena kebobolan, tapi justru diceraikan karena pasanganku balik lagi sama mantannya."

"Nah, itu!" seru Ben. "Kalau aku belum bisa benar-benar move-on dari Ghea, gimana caranya aku bisa lanjut sama Diana? Nggak masuk akal."

"Gimana kalo kamu coba pertimbangkan Jason? Jason kan butuh sosok ayah, Ben. Aku yakin kamu pasti bisa jadi sosok ayah yang baik buat Jason." Fuad memberi masukan.

"Kamu lupa kenapa sampai sekarang aku belum menikah?" Ben menyorot Fuad tajam. "Aku nggak siap jadi seorang ayah, kalo kamu lupa."

Litha menghela napas berat. "Jadi gimana nih Diana-nya? Apa aku suruh dia pulang naik grab aja?"

"Yaudah, kali ini aku jemput. Tapi lain kali nggak usah bikin skenario menyebalkan kayak gini lagi. Please," Ben memelas.

Sepanjang perjalanan menuju mal, Ben kembali pada masa-masa kelamnya. Apalagi kalau bukan melamunkan Ghea? Gadis ingusan yang berani-beraninya mempermainkan perasaan Ben! Marah, sakit hati, kesal, benci semua bercampur di dalam dada, tapi yang paling mengganggu adalah ... rindu.

Bisa-bisanya Ben masih merindukan wangi tubuh gadis itu, rindu gaya jual mahalnya, rindu caranya membentak Ben. Semua tentangnya .... Sial! Ben menghantam kemudi keras untuk melampiaskan emosinya.

Ben selalu bisa mengendalikan diri kalau sedang sibuk bekerja. Kondisi pasien yang beragam membuat pikiran Ben penuh untuk mencari solusi pengobatan yang paling tepat untuk setiap pasien yang berbeda. Kalau sudah bekerja, Ben lupa pada sosok Ghea. Itu sebabnya Ben gila kerja belakangan ini.

Ben sebenarnya lebih suka waktunya habis di rumah sakit daripada harus mulai berhubungan Diana lagi seperti ini.

"Jason mana?" tanya Ben saat mendapati Diana hanya menunggu seorang diri di drop off area, tempat temu janji mereka.

"Nggak ikut. Dia dibawa Mama ke Puncak," jawab Diana saat duduk di bangku penumpang. "Aku sebenarnya nggak mau ngerepotin kamu sama sekali, Ben. Tapi Tante Mala yang paksa aku untuk makan malam di rumah kamu malam ini. Katanya sekalian bareng kamu pas kamu selesai praktek."

Ben seharusnya sudah bisa menduga kalau Mala pasti sudah bersekongkol dengan kedua sahabatnya itu. Ben bahkan curiga ide untuk mencomblangkan dirinya dengan Diana datang dari ibunya sendiri. Tak urung pemikiran itu membuat rahang Ben mengeras menahan kesal.

"Kalo kamu keberatan, aku bisa bikin alasan untuk menolak undangan Tante Mala kok, Ben," sungkan Diana setelah memerhatikan reaksi Ben.

"Kenapa harus keberatan? Cuma makan malam biasa kan?" sahut Ben datar.

Sisa perjalanan akhirnya mereka habiskan dalam diam. Setibanya di kediaman Ben pun, Ben masih mempertahankan aksi bungkamnya. Untung saja Diana dan Mala sudah cukup akrab satu sama lain sehingga mereka bisa tetap mengobrol asik tanpa interupsi Ben.

"Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Ben. Kamu berantakan banget belakangan ini. Kamu pikir Mama nggak tahu berapa banyak rokok yang kamu habiskan tiap malam di balkon kamarmu!" Mala mencoba memberi pengertian pada Ben sementara Diana masih sibuk di dapur, beres-beres ditemani asisten rumah tangga. "Kamu nggak akan punya waktu cukup banyak untuk ngerokok kalo kamu tidur pulas. Itu artinya kamu bahkan nggak istirahat dengan benar. Liat aja itu kantung matamu yang membengkak."

"Ya, tapi Mama sama sekali nggak ngebantu dengan nyomblangin aku sama Diana, Ma! Aku justru makin bingung menentukan sikap," protes Ben.

"Kamu tahu apa yang Mama sesali selama Mama mengurung diri setelah melahirkanmu?" Ben hanya menatap Mala putus asa, maka Mala menjawab sendiri. "Mama menyesal karena nggak mencoba kenal dengan pria lain yang mungkin mau menerima kita. Dan membuat kita berdua punya keluarga utuh."

"Ma...," mendadak Ben merasa tak enak hati karena harus membuat ibunya mengorek luka lama.

"Diana masih cinta sama kamu. Mama yakin itu. Kamu hanya perlu memberikan dia kesempatan untuk membuatmu mencintainya. Dan dengan begitu, kamu akan bisa menikah, Ben. Dan punya keluarga."

Ben memilih untuk tidak mendebat lagi.

Ben selalu lemah kalau sudah berurusan dengan luka lama Mala. Daripada harus membuat Mala terluka dengan mengorek-ngorek luka itu lagi, Ben akhirnya setuju saat ditinggal di ruang tv berdua dengan Diana.

"Aku udah dengar kabar tentang hubunganmu dengan Ghea."

Diana memulai percakapan sembari menatap layar tv yang sedang menayangkan program talkshow yang dipandu oleh Lukas Hermawan di Pelita tv. Tanpa bisa dicegah, Ben teringat lagi pada acara Pelita Goes to Campus yang diikuti Ghea sebulan yang lalu. Ghea tampak sangat percaya diri saat mengikuti ajang itu. Padahal Ben hanya menyaksikan aksi gadisnya itu lewat layar ponsel. Ah ralat! Bukan gadisnya lagi. Melainkan mantan. Jantung Ben seperti baru saja dicabut paksa saat berpikir tentang Ghea yang mungkin melewatkan hari bahagia itu dengan pria yang dicintainya itu.

Ben memang berhasil memaku kakinya di restoran Korea bersama Mala saat malam final Pelita Goes to Campus sebulan yang lalu. Tapi Ben tidak bisa mencegah tangannya untuk mengetik nama Ghea pada laman situs berbagi video di malam yang sama.

Ah, Ghea lagi? Ben benci setiap kali kecolongan memikirkan Ghea lagi.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Diana setelah melihat gurat-gurat penuh kebencian di wajah Ben.

"Mereka merasa aku bakal lebih gampang move-on kalau memulai berhubungan dengan perempuan lain. Dengan kata lain ... mencari pelarian." Ben menatap Diana tajam.

Diana menelan ludah untuk melancarkan kerongkongannya. "Dan mereka pikir aku mungkin cocok jadi wanita pelarianmu?" tanya Diana sambil mempertahankan fokusnya pada layar tv.

"Menurut kamu?" Ben balik bertanya. Masih dengan tatapan tajamnya.

Diana membalas tatapan Ben. Sama tajamnya. "Ide bagus. Aku nggak keberatan sama sekali."

Ben sedikit terperangah mendengar jawaban Diana, tapi dia menguasai diri dengan baik. Ben hanya berusaha bernapas tenang dan meresapi perasaannya saat Diana berinisiatif untuk mengulurkan tangannya menyentuh pipi Ben.

"Kamu nggak menghindar lagi," komentar Diana mengingat kontak fisik yang selalu dihindari Ben selama menjadi kekasihnya. "Apa kamu sudah sering melakukan ini dengan Ghea?"

Ben menutup matanya rapat sambil mengangguk. Ben meraba-raba perasaannya. Mencari-cari sensasi yang biasa dirasakannya setiap kali Ghea menyentuh pipinya. Tapi sekuat apapun Ben berusaha mencoba, sensasi itu tidak muncul di permukaan.

"Gimana dengan ini?"

Masih dengan mata tertutup Ben bisa merasakan Diana bergerak maju mendekatinya, sebelum akhirnya bibir Diana menyentuh bibirnya. Ben bisa merasakan aroma teh melati dari bibir lembut Diana. Seharusnya terasa manis. Ben merapatkan matanya, memperkuat insting. Beberapa menit terlewati dengan bibir Diana menempel di bibirnya. Diana bahkan mulai unjuk gigi menunjukkan kemampuan berciumannya yang handal. Tapi Ben hanya merasa seperti sebuah benda kenyal sedang menyentuh bibirnya. Tidak ada rasa sama sekali. Hambar.

Dengan sisa-sisa kewarasan yang Ben punya, akhirnya dia memberanikan diri untuk meremas kedua pundak Diana mendorongnya pelan. "It's never gonna work. I'm sorry."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro