18. Heartbreak be like

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hei-ho, aku update 4 bab nih guys, Kalo belum cek part sebelumnya, monggo di cek dulu ya...

tepatnya, part yang di upload hari ini adalah part 16,17,18 dan 19. semoga kamunya enggak gumoh yaa... :)

Dulu, pertama kali Ben membawa Ghea untuk makan malam dengan Mala, Mala sudah merasa semua beban hidupnya terangkat. Bisa melihat Ben mempunyai pasangan hidup adalah impian Mala seumur hidup. Apalagi saat melihat interaksi Ben dengan Ghea yang begitu akrab dan mesra, Mala merasa masa penantiannya sudah berakhir. Mala bisa membayangkan betapa bahagianya ketika dua sejoli itu mengikat janji suci dan memberikan cucu yang lucu-lucu untuknya. Semoga Tuhan masih berbelas kasihan untuk memberi Mala umur yang panjang supaya masih bisa melihat cucu-cucunya lahir nanti, adalah harapan terbesar Mala.

Berbulan-bulan berlalu sejak acara makan malam perdana itu, Ben bahkan mulai menunjukkan gejala-gejala keseriusan yang tidak pernah Mala lihat ditunjukkan Ben untuk perempuan lain. Sebut saja seperti cara Ben memeluk Ghea di depan Mala, atau kesediaan Ben untuk mengenalkan Ghea sebagai kekasihnya pada dunia. Ketakutan Mala tentang trauma Ben hilang sudah. Ghea adalah jawaban dari semua doa-doa Mala.

Untuk itu, Mala merasa tidak ada yang salah jika dia menawarkan pernikahan untuk keduanya. Dengan janji akan tetap membantu perkuliahan Ghea, Mala pikir dia bisa membujuk Ghea mengubah status gadis menjadi istri Ben. Nyatanya, tidak semudah itu. Masalah bukan hanya pada Ben, tetapi juga Ghea.

Mala baru tahu kalau Ghea juga tidak sesiap itu untuk membina rumah tangga karena ada banyak mimpi-mimpi yang ingin dikejarnya.

Mencoba memaklumi, Mala bahkan menjanjikan sejumlah uang untuk modal usaha Ghea, asalkan Ghea bersedia menikah dengan puteranya. Sialnya, segala bujuk-rayu Mala malah membuat Ghea ketakutan dan lebih memilih untuk meninggalkan Ben. Mengakhiri hubungan mereka.

"Emangnya salah kalau Tante nggak sabar? Toh, mereka cocok," ungkap Mala pada Litha saat pertama kali mendengar kabar tentang kandasnya hubungan puteranya dengan calon menantu.

"Iya sih, Tante. Tapi Ghea kan masih muda banget, belum bisa mengendalikan egonya. Gimana kalau kita liat dulu aja perkembangan hubungan mereka tanpa kita campuri?" usul Litha. "Maksud Litha, dengan mereka putus begini, mungkin Ben ketemu yang lebih baik. Atau kalaupun mereka ternyata balikan lagi, yah, kita tunggu aja sampe mereka berdua benar-benar siap untuk menikah."

Mendengar usul Litha, Mala pasrah untuk menjadi pengamat jarak jauh. Sepanjang pemantauan Mala, kedua sejoli itu akhirnya kembali merajut kasih. Walau sempat putus beberapa kali, tapi selalu berakhir bersama kembali. Di antara jenjang waktu yang panjang itu, tidak pernah sekalipun Mala melihat Ben perlu mencari pelarian untuk melupakan Ghea. Kecuali kali ini. Dan sialnya, Ben tetap tidak bisa melarikan diri ke mana-mana, karena Mala melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Ben menolak ciuman Diana semalam.

Maka sebagai seorang ibu, Mala merasa waktunya menjadi pengamat-jarak-jauh usai sudah. Kali ini, Mala akan kembali campur tangan.

"Halo, Ghea. Apa kabar?" Mala mengembangkan senyum di hadapan Ghea saat gadis itu membukakan pintu kamar kosnya.

"Oh, Halo! Ehm, Tante," kikuk Ghea. "Eh, silahkan masuk Tante."

Dengan cepat Ghea merapikan tumpukan kertas yang masih berserakan di permadaninya dan mempersilakan Mala duduk. "Mau minum apa, Tante?" tawar Ghea.

Sebagai jawaban Mala menyodorkan sebuah kantongan berisi genmaicha, teh hijau ala Jepang yang dikombinasikan dengan beras merah bakar. "Seduh ini aja, biar nggak repot. Buat Tante nggak usah pake gula."

Ghea mengangguk patuh sebelum mengisi electric kettle-nya dengan air dispenser dan menyiapkan dua cangkir gelas.

"Kapan terakhir kali kita ketemu?" basa-basi Mala sambil menunggu minumannya siap.

"Ehm, terakhir kali di resto Kemang, ya Tante? Hampir setahun yang lalu?" gumam Ghea mengingat-ingat.

"Iya. Waktu terakhir kali Tante tawarkan kamu sejumlah uang asalkan kamu bersedia menikah dengan Ben," Mala membenarkan dengan tenang.

Ghea hampir saja kecipratan air panas saat mendengar Mala karena tubuhnya mendadak bergetar mengingat kejadian itu. Untung saja Ghea masih bisa menguasai keadaan. Minuman yang sudah selesai diseduh menjadi alasan Ghea tidak perlu menyahut Mala lagi. Tapi Ghea salah kalau berpikir Mala tidak akan melanjutkan pembahasan itu karena tepat saat Ghea mengangsurkan cangkir untuk Mala, wanita paruh baya yang hari ini mengenakan dress sutra berwarna hijau tua itu berkata.

"Tante sempat menyesal dengan tindakan Tante waktu itu. Tapi kalau kamu berpikir positif, seharusnya kamu tahu kalau Tante sama sekali nggak berniat merendahkan kamu sama sekali. Tante hanya ingin mencari win-win solution, bukannya membuat kamu melepaskan Ben."

"Ehm, tapi Ghea dan Ben memang sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi, Tante," Ghea merasa perlu meluruskan, karena pembicaraan ini sungguh membuatnya tidak nyaman.

"Setelah kejadian itu kamu masih berhubungan dengan Ben." Mala menegaskan. "Kamu baru benar-benar putus sebulan terakhir. Iya kan?"

Ghea tercengang. Bagaimana bisa wanita paruh baya itu tahu?

"Kalian memang backstreet, tapi bukan berarti Tante nggak tahu apa-apa," jawab Mala seperti membaca pikiran Ghea.

Ghea menelan saliva. Entah mengapa kerongkongannya mendadak kering. "Tapi sekarang kita beneran udah bubar, Tante."

"Ya, Tante harap juga begitu. Ben sudah mulai memberi kesempatan untuk Diana." Mala meneguk minumannya dan tersenyum manis. Mala merasa strateginya sudah cukup baik saat melihat wajah Ghea mendadak pucat. "Tante datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk memastikan satu hal."

"A-apa itu, Tante?" suara Ghea mendadak tercekat. Pandangan matanya mendadak sayu.

"Memastikan kamu sudah menyelesaikan semuanya sampai tuntas dengan Ben," ujar Mala lembut sambil menjemput telapak tangan Ghea yang sudah dingin dan berkeringat. Mala mengusap pelan tangan itu sebelum melanjutkan. "Kamu tahu sendiri kalau Diana sudah mengambil kesempatan, ada banyak skenario yang mungkin terjadi."

"Maksud, Tante?" tanpa bisa Ghea cegah, suaranya meninggi.

"Tanpa maksud merendahkan status janda Diana sama sekali, Tante hanya mencoba realistis. Kita sudah sama-sama dewasa. Kita sama-sama tahu apa yang bisa dilakukan seseorang seperti Diana untuk mengikat Ben." Mala memerhatikan mimik wajah Ghea yang semakin menegang, lalu melemparkan bom-nya. "Mengandung anak Ben, mungkin?"

Dan entah mengapa, Ghea merasa kesulitan bernapas kali ini.

**

Kepala Ben mau pecah rasanya. Dari jam tiga sore dia duduk di bar sambil menenggak segala jenis minuman keras, tapi tak satupun mampu membuat kesadarannya hilang alih-alih pening yang melanda.

Ben sengaja hadir jauh lebih awal dari pada teman-temannya demi memabukkan diri. Paling tidak, kalau Ben mabuk berat, dia tidak perlu menanggapi komentar-komentar sahabatnya tentang betapa menyedihkan nasibnya yang tidak bisa menerima ciuman perempuan lain selain Ghea.

Bagaimanapun juga, Ben yakin kejadian semalam sudah sampai di telinga sahabat-sahabatnya. Kalau tidak kedua sahabatnya itu tidak mungkin bersikap sebaik hari ini. Menawarkan diri untuk menemanilah, mengajak berliburlah, dan Fuad si gila itu bahkan membujuk Ben untuk threesome dengan perempuan random, supaya Fuad bisa membuat tutorial cara bercinta secara live, katanya. Gila!

Tapi terkhusus untuk janji di jam tujuh malam ini, Ben tidak bisa menghindar.

Pak Gayatri, salah seorang neurosurgeon senior yang juga merupakan seorang investor di rumah sakit yang mereka dirikan berulang tahun dan mengundang seluruh staf untuk merayakannya di tempat ini. Ben tidak mungkin tidak hadir.

"Pantes nggak mau ditemani, ternyata kamu lebih memilih ditemani mulut botol minuman keras daripada mulut pedasku," ledek Litha yang baru saja hadir ditemani Fuad.

"Coba liat dulu, mabuk nggak?" Fuad menarik pundak Ben, meneliti. "Kalo kali ini beneran mabuk, aku bakal ngulang kejadian beberapa tahun lalu. Mengurungmu di dalam kamar sama cewek bugil!"

Fuad harus meringis karena Litha meng-geplak kepalanya dari belakang. "Kali ini tolong jangan gila lagi, ya! Malu sama umur!"

Ben tertawa ringan mengingat kejadian yang dimaksud Fuad. Kalau bukan karena bantuan Litha, Ben mungkin sudah akan melepas titel perjakanya dan membuat Fuad berhenti mengolok-oloknya seperti sekarang. Ben jadi bingung harus berterimakasih atau tidak pada Litha.

"Acara ulangtahun Pak Gayatri di atas, Ben, tempat live music, bukan di sini. Berenti minum deh!" Litha mencegah tangan Ben yang memegangi gelas wisky berlabuh di bibirnya. "Dengan minuman sebanyak ini aku justru khawatir kamu harus dilarikan ke IGD!" Litha tidak bisa menutupi kekhawatirannya.

"Duluan gih, aku bayar bill ini dulu, trus aku bakal langsung gabung ke sana," ujar Ben. Masih dengan kesadaran penuh. Hanya sedikit pusing.

Setelah berdecak, Litha menurut, begitu juga dengan Fuad.

Sayup-sayup, seinging menjauhnya langkah kedua sahabatnya itu, Ben bisa mendengar Litha berkata, "Kayaknya emang cuma Ghea obatnya."

**

Ben menuruti janjinya untuk menyusul setelah menyelesaikan pembayaran tagihannya. Ben tiba di lantai dua saat band pengiring tengah memainkan intro lagu selamat ulang tahun untuk Pak Gayatri.

Semuanya berdiri sambil menyanyi saat Pak Gayatri meniup lilin dan memotong kue ulangtahunnya. Setelahnya, satu per satu staff menyalami seraya mengucapkan selamat. Serta tak lupa menyerahkan kado masing-masing.

Ada banyak tamu undangan yang hadir. Sekitar 70 orang. Kalau Ben tebak, semua staff yang tidak on duty tengah berkumpul di tempat ini. Ben sendiri memilih duduk bersama sahabat-sahabatnya di meja paling depan, dekat dengan panggung, setelah menyerahkan kadonya kepada senior yang dihormatinya itu.

"Beneran mau digeret ke IGD?" sontak Litha menarik tangan Ben saat Ben baru saja memegang botol bir.

Ben hanya cengengesan. Tapi kemudian menuruti nasihat Litha untuk tidak memegang minuman haram itu lagi. Ben akhirnya hanya duduk diam dan berusaha menikmati rangkaian acara ulangtahun Pak Gayatri yang ternyata cukup meriah. Setelah tiup lilin dan potong kue, ada acara makan malam yang diselingi dengan karoke.

Sampai waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, Pak Gayatri yang sejak tadi bernyanyi di panggung, menyerahkan mic-nya pada Ben karena melihat Ben yang tidak bersemangat.

"Aku minta kado lagu yang bisa bikin baper," pinta Pak Gayatri mencoba menggunakan istilah anak muda yang tidak sesuai dengan karakternya.

Sontak semua orang yang ada di meja Ben tertawa dan bersorak.

Ben menerima corong mic yang disodorkan Pak Gayatri dan mulai menunggu dengan khidmad saat lagu yang dipilihnya dimainkan band pengiring di belakang tempatnya berdiri. Intro lagu familiar mulai terdengar. Lagu lawas milik Dewa 19, bertajuk Selimut Hati.

Fuad mendengkus, "Ketahuan banget sih produk tahun lawas." Teman-teman yang mendengarnya tergelak mendengar ledekan Fuad.

"Aku kan menjadi malam malam mu

Kan menjadi mimpi mimpi mu

Dan selimuti hatimu, yang beku"

Suara Ben mulai mengalun indah. Meski tidak setara dengan kemampuan jebolan ajang pencarian bakat, semua teman-teman Ben harus sepakat kalau suara Ben tergolong merdu. Tidak adanya nada-nada yang fals menjadi daya tarik tersendiri. Terutama penjiwaannya. Ben seperti sedang bercerita.

Teman-teman Ben bersorak riuh saat menyelami lirik dari bait pertama lagu yang tengah dilantunkannya. Biasanya, Ben akan menyambut jenaka. Tapi kali ini tatapan Ben kosong. Jiwanya seperti sedang berpetualang entah ke mana. Namun begitu, raga Ben masih bisa melanjutkan nyanyiannya dengan sangat baik.

"Aku kan menjadi bintang-bintang mu,

kan s'lalu menyinarimu

Dan menghapus rasa rindumu, yang pilu."

Suara Ben kian memberat. Ben menarik napasnya dalam untuk bisa berteriak pada bagian reffrein lagu.

"Aku Bisa...

Untuk Menjadi Apa Yang Kau Minta"

Mata Ben mulai berkaca-kaca. Ben menarik stand mic dan berdiri memegangi tiang tegak itu untuk membantunya tetap berdiri tegak.

"Untuk Menjadi Apa Yang Kau Inginkan."

Tubuh Ben melengkung turun. Lenguhan kasar terdengar jelas, diiringi jeda yang membuat konsistensi kestabilan suara Ben hilang sepenuhnya. Ada luapan emosi yang tidak bisa Ben bendung lagi. Pertahanan Ben benar-benar ambruk. Ben bahkan tidak bisa mengontrol dirinya lagi saat produksi suaranya benar-benar terguncang saat menyuarakan lirik selanjutnya.

"Tapi Ku Tak Bisa Menjadi Dirinya...."

Ben berdiri tegak, memegangi pangkal hidungnya sambil memejamkan matanya erat. Iris matanya yang berlapis kaca pecah menjadi sebuah airmata yang Ben sembunyikan dalam pijatan di pangkal hidungnya. Meski berpikir cara itu bisa mengelabui semua orang, Ben tahu dia tidak akan bisa mengelabui Fuad dan Litha.

Kedua sahabatnya itu tengah memandanginya dengan penuh arti. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro