19. Juru Kunci

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hei ho, aku aku upload 4 part sekaligus hari ini, monggo di cek mulai dari 16,17,18 dan 19 ya... hehe... :)



"Can you fix this?"

Pesan itu masuk ke dalam jendela percakapan Ghea dengan Litha, dengan sebuah lampiran berupa video.

Ben benar-benar membuktikan dirinya pantas mendapat julukan bucin dari Ghea.

Gabungan dari rasa bersalah, tidak pantas, iba, dan kasihan bercampur aduk dalam dada Ghea, menjalarkan rasa tidak nyaman di sekujur tubuh Ghea. Ghea seharusnya menghapus video kiriman Litha untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan itu, namun yang terjadi justru Ghea mengulang-ulang video kiriman itu sampai-sampai tanpa disadarinya, pipinya sudah basah dengan airmata.

Satu jam setelahnya, ponsel yang terus mengulang-ulang video Ben sedang melantunkan lagu Selimut Hati harus berhenti karena sebuah panggilan masuk. Dari Litha.

Kening Ghea mengernyit dalam saat mencerna kalimat-kalimat Litha di seberang telepon.

Mabuk? Bukankah ini masih terlalu dini untuk mabuk?

"Dia udah nongkrong di bar dari siang, abis nyanyi dia mulai minum lagi. Nggak bisa dikontrol, sampe muntah berkali-kali," Litha menjelaskan, seolah-olah membaca isi kepala Ghea. "Aku nggak mungkin suruh grab anter dia ke pulang, kasian Tante Mala udah terlalu tua untuk ngurus beginian."

"Yaudah, anter ke sini aja," ucap Ghea tanpa berpikir panjang.

Setelah memberi informasi tentang nomor plat dan jenis mobil yang akan mengantarkan Ben, Litha menutup telepon. Ghea terpekur di pinggir ranjangnya saat mulai mencerna semua yang terjadi hari ini. Mulai dari kedatangan tante Mala dengan kabar buruknya, sampai kepada sikap Ben yang sangat tidak wajar.

Kalau Ben benar-benar memberi kesempatan untuk Diana—seperti pengakuan Tante Mala tadi siang—kenapa Ben harus sekacau itu? Bukankah Ben seharusnya sedang menikmati masa-masa pedekate-nya dengan Diana? Ghea berpikir sambil meredakan dadanya yang bergemuruh setiap kali memikirkan Ben benar-benar kembali pada Diana.

Sepuluh menit setelah pusing sendiri dengan pikirannya, Ghea mengenakan kardigannya dan memutuskan untuk menunggui Ben di dekat gerbang rumah kos. Mobil yang ditumpangi Ben tiba tidak lama kemudian. Ghea merasa jantungnya berdebar tidak wajar saat mobil itu berhenti di gerbang rumah kos.

Ghea tidak bisa memilah alasan di balik debar yang menggila itu. Tapi perasaan ini terlalu mirip dengan kerinduan yang dibalut tebal dengan rasa kekhawatiran.

Ghea sendiri harus turun tangan untuk menghampiri mobil yang akhirnya berhenti total itu demi menurunkan penumpangnya yang benar-benar kehilangan kesadaran. Sepertinya kali ini Ben tidak menggunakan jurus lamanya untuk pura-pura mabuk demi bisa berbaikan dengan Ghea. Ghea bahkan nyaris ikut tumbang saat menopang tubuh Ben. Untung saja ada Pak Kus, satpam kosan, ikut mengulurkan tangan membantu Ghea memapah tubuh besar Ben.

Tidak seperti kondisi mabuk yang sering Ghea lihat pada drama Korea—yang mana kerap kali mempertonton sang pemabuk curhat colongan—Ben tergolong tenang. Hanya tubuhnya saja yang gelisah. Sesekali Ben akan terisak, seperti akan menangis, lalu dia berakhir menggumam dengan kata-kata yang tidak jelas sama sekali.

"Kamu nggak pernah semabuk ini, Ben ...," gumam Ghea saat memandangi tubuh Ben yang sudah terbujur di tempat tidurnya. Pak Kus sendiri langsung undur diri setelah memastikan Ben dalam kondisi aman. Dan Ghea melepas kepergian Pak Kus dengan sebuah ucapan terima kasih.

Menghela napas berat, Ghea beringsut ke pinggir ruangan. Ghea mengisi electric kettle-nya dengan air dispenser dan menyiapkan sebuah cangkir dengan genmaicha pemberian Mala siang tadi. Segelas teh panas mungkin bisa menemaninya memikirkan semua kekacauan ini.

Tapi harapan sederhana Ghea sepertinya tidak bisa didapatkannya semudah itu. Teh di dalam cangkir Ghea sudah tandas, namun pemandangan Ben yang tampak benar-benar kacau di hadapannya membuat pikirannya tetap buntu. Alih-alih berpikir lagi, Ghea memutuskan untuk menghampiri Ben.

Aroma alkohol yang asam dari tubuh Ben menyambut kehadiran Ghea, saat Ghea menempatkan dirinya di sisi Ben. Meski sudah tahu kalau Ben sedang tidak sadar, Ghea tidak mengurungkan niatnya untuk mengusap lembut sekujur kepala hingga pipi Ben. Cara ini ternyata lebih manjur untuk membuat kepala Ghea yang berasap menjadi lebih dingin dan tenang. Hingga tanpa Ghea sadari, dia benar-benar tertidur pulas dengan telapak tangan menyelimuti pipi Ben.

**

Ghea terbangun dengan suara gemerecik air terdengar samar dari arah kamar mandi. Ghea mengucek mata, merogoh bawah bantal—tempat dia meletakkan ponselnya sebelum tidur—dan menemukan jam digital pada benda pipih itu masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Ghea tidak perlu menebak siapa yang tengah mandi di pagi buta seperti ini, karena satu-satunya penghuni selain dirinya sudah tidak ada di atas ranjang lagi.

Ben.

Pria itu akhirnya muncul di ambang pintu kamar mandi dengan mengenakan celana jeans yang dipakainya tadi, tanpa menggunakan atasan apapun. Sebuah handuk kecil menggantung di tengkuknya, menampung titik-titik air yang masih berjatuhan dari rambutnya yang basah.

Ghea yang sudah mengubah posisinya menjadi duduk di tepi ranjang tiba-tiba menyesal pernah berpikir kalau tubuh berisi Dana lebih seksi. Lebih nyaman mungkin, karena tumpukan lemaknya pasti memberi sensasi kelembutan. Tapi tubuh atletis Ben mutlak lebih enak dipandang. Kenapa Ghea baru menyadarinya sekarang? Apa karena Ben sudah bukan miliknya lagi?

Dari jarak yang terbentang kurang dari satu meter, ada suhu panas yang menguasai. Bukan karena ada masalah dengan pendingin ruangan Ghea, melainkan karena sorot mata keduanya yang saling mengunci berhasil menguarkan energi panas yang mengalahkan panasnya tatapan laser superhero.

Ben menyorot Ghea dengan penuh dendam, sementara Ghea membalasnya dengan tatapan kecewa. Tensi kemarahan Ben terlihat jauh lebih tinggi dibanding Ghea. Wajar. Setelah semua kekacauan yang dilakukannya, Ghea bahkan merasakan sedikit kelegaan saat mendapati Ben masih tahu caranya marah. Sejujurnya Ghea lebih suka dihukum dengan amarah atau cacian daripada harus melihat Ben menyiksa dirinya sendiri.

"Sebenarnya perempuan macam apa kamu ini, Ghea?" tanya Ben sinis. "Kamu mengaku mencintai pria lain, tapi kamu malah membiarkan aku masuk ke dalam kamarmu, bahkan tidur di atas ranjangmu?"

Sakit hati? Jelas. Tapi bukan karena tuduhan Ben, tapi kemungkinan kalau Ben menyesal telah sampai di tempat ini karena merasa telah mengkhianati Diana. Entah bagaimana caranya, Ghea merasa ada percikan api yang sedang menyulutnya dengan memikirkan tentang Diana.

"Lantas kamu pria macam apa, Ben?" tanya Ghea berusaha tenang, "Kamu membuat dirimu seolah-olah menderita karena perpisahan kita, tapi kamu malah memberi kesempatan untuk Mbak Diana?"

Ben tertawa sinis. "Kenapa aku seperti mendengar nada cemburu?" Ben berjalan pelan ke arah meja belajar Ghea. Memungut jam tangannya dan mengenakannya cepat. Kemudian meraih kemejanya yang dia sampirkan di kursi meja belajar. Ben bergumam sambil menyelipkan tangannya ke dalam lengan kemeja itu. "Aku jadi berpikir mungkin ide untuk memulai hubungan dengan Diana ada baiknya juga."

Jangan Ben!!! Jangan mulai apapun dengan Diana!!! Adalah jeritan yang menggema di dalam kepala Ghea, tapi dia hanya menyampaikan maksudnya dengan menarik kuat tangan Ben hingga kemeja yang belum terpakai sempurna terlepas dari tubuh Ben.

Ghea benar-benar kehilangan kemampuannya untuk berbicara saat Ben menyorotnya tajam sekali lagi, bahasa tubuh untuk bertanya tentang alasan sikap Ghea yang kurang ajar. Ghea bungkam. Bagaimana mungkin Ghea protes sementara dia sendiri tidak punya hak untuk itu. Ghea yang menghancurkan perasaan Ben, Ghea juga yakin perasaannya untuk Ben bukan cinta. Ghea hanya merasa terlalu nyaman dengan kehadiran Ben selama ini, hingga rasanya Ghea tidak bisa menerima kalau tempatnya akan diserahkan pada perempuan lain.

Di antara kebimbangannya, Ghea tiba-tiba merasa tubuhnya tersengat listrik bertegangan tinggi saat bibir Ben tiba-tiba melumat bibirnya. Kasar. Tidak seperti sensasi kelembutan dan kenyamanan yang Ghea dapatkan dari ciuman Ben sebelumnya, kali ini Ghea benar-benar bisa merasakan ada luapan emosi yang Ben salurkan lewat ciumannya. Tapi entah mengapa, Ghea merasa lega dan rela. Ghea bahkan membuka mulutnya dan membiarkan Ben menggigit lidahnya keras hingga terasa amis. Berdarah sudah pasti, tapi perlakuan kasar Ben terasa jauh lebih baik daripada Ben mengabaikannya. Terlebih baik lagi, karena Ghea lebih suka Ben melampiaskan amarahnya pada Ghea daripada menyiksa dirinya sendiri.

"Kamu bahkan membiarkan aku melakukan ini?" tanya Ben terengah-engah paska ciuman panjangnya. Sebelah tangan Ben meraup dagu Ghea kuat.

"Aku udah menghancurkan perasaanmu, aku pantas dihukum." Ghea merespons di antara kesibukannya mengatur napas.

"Kamu yakin bersedia dihukum?" Dengan sebelah tangannya yang bebas, Ben menarik pinggang Ghea hingga menabrak tubuhnya.

"Kalau itu bisa membuatmu lebih baik, aku bersedia."

Jawaban Ghea membuat Ben menghadiahinya tatapan yang paling mengerikan yang pernah Ghea lihat seumur hidupnya. "Siapapun pria yang kamu cintai itu, berhentilah mencintainya."

Meski kesulitan karena dagunya masih diremas kuat oleh Ben, Ghea menganggukkan kepalanya. "Dia akan menikah dengan perempuan lain."

Ben menyatukan alisnya saat bertanya. "Dan kamu membiarkannya begitu saja?"

"Aku nggak akan biarkan kamu tidur di ranjangku kalau aku benar-benar berniat memperjuangkannya."

Sekali lagi jawaban Ghea membuatnya harus pasrah menerima hadiah dari Ben. Hadiah berupa dorongan kuat yang membuat tubuh Ghea terjatuh di atas kasur, dengan tubuh Ben menindihnya. Ben kembali menghajar Ghea dengan ciuman kasarnya. Tidak hanya di bibir, tapi nyaris di keseluruhan kulit Ghea yang terbuka. Tangan Ben tidak tinggal diam. Keduanya dikerahkan untuk menjelajah ke sana-kemari, meremas gumpalan-gumpalan empuk yang di dapatinya.

"Shit! Kamu nggak pakai bra!" desah Ben setengah mengumpat.

Ghea memang tidak menggunakan bra setiap tidur di malam hari, tapi rasanya Ben tidak perlu jawaban Ghea sekarang karena Ben terlalu sibuk menarik baju kaus melar yang Ghea kenakan hingga robek dan sukses membuat semua yang seharusnya tertutup menjadi tertampang bebas.

"Ben, no ...." Ghea ingin berteriak marah, tapi puncak payudaranya yang sudah terkulum di dalam mulut Ben membuat suaranya tenggelam dalam sebuah desahan.

Desahan yang mengantarkan Ben pada puncak gairahnya. Ben semakin liar dan tak terkendali. Tangannya semakin jauh menjamah, ke sana kemari, bahkan pada daerah-daerah yang tidak pernah dijamah siapapun sebelumnya. Disusul dengan ciumannya. Ciuman yang meninggalkan jejak kebiruan karena isapan kuat Ben.

Di bawah kendali Ben, Ghea hanya bisa mendesah dan meringis berkepanjangan. Ghea bahkan tidak sadar entah sejak kapan celana pendeknya lolos dari kedua kakinya hingga berakhir menjadi tumpukan kain tak berarti di lantai, tidak jauh dari celana jeans Ben yang juga sudah tergeletak sembarangan. Sesekali Ghea berusaha memohon ampun sambil menyebutkan nama Ben dengan sebuah lirihan—yang tak pernah Ghea sangka justru menjadi makanan gairah Ben—membuat Ben semakin merajalela.

Ghea baru berhasil menekan dada Ben saat menyadari sebuah benda asing menjamah bibir kewanitaanya. "Ben ...."

"Kalau aku udah masuk, kamu nggak akan punya jalan untuk keluar lagi," ancam Ben.

Detik pertama, Ghea menyorot Ben takut. Namun selanjutnya, Ghea menutup matanya pasrah. Bongkahan dari segala kegalauan yang membebani Ghea sebulanan ini perlahan terkikis. Ada banyak masalah hidup yang mengintai Ghea, tapi Ghea yakin, malam ini dia akan mendapat solusi dari segala permasalahannya. Ghea tidak benar-benar tahu apa yang dirasakannya saat mengatakan. "Bahkan sebelum kamu masuk, aku nggak akan biarkan kamu keluar."

Selanjutnya, saat Ben menekan tubuhnya hingga akhirnya memasuki Ghea sepenuhnya, hanya ada suara jeritan Ghea yang memenuhi ruangan. Tidak cukup panjang untuk membuat penghuni lain terganggu karena Ben cukup cekatan meletakkan bibirnya sebagai sumpal hingga jeritan Ghea tertanam dalam mulut Ben.

Ben baru melepas ciumannya setelah memastikan tubuh Ghea sudah cukup beradaptasi menerima keberadaan monster nakalnya di bawah sana. Saat mengangkat kepalanya untuk menatap Ghea, Ghea bisa melihat sorot penuh prihatin dan kekhawatiran itu masih tercetak jelas di dalam raut wajah Ben. Membuat Ghea merasa semakin yakin kalau dia akan tetap dicintai oleh pria ini.

"Sorry ...," lirih Ben penuh penyesalan. Masih membiarkan monsternya terbenam dalam kehangatan Ghea.

Ghea menggeleng lemah dari bawah Ben.

"Just say don't, and I will stop," imbuh Ben.

Ini kesempatan terakhir Ghea, dia tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja. "Don't--"

Ghea bisa merasakan Ben mulai menarik diri, tapi Ghea menahan punggung Ben dengan kedua tangannya. Erat. "Don't ... stop. Just, don't stop!"

Ghea hanya bisa meremas punggung Ben lebih keras—bahkan tanpa sadar membiarkan kuku-kuku panjangnya mencakar kulit Ben—saat Ben menerjemahkan permintaan Ghea dengan menghunjam lebih dalam, bergerak semakin liar. Tak terkendali.

Setelah hari ini, Ghea harap jalan menuju tujuan hidupnya akan semakin terbuka lebar. Dengan Ben sebagai juru kunci.

"Kalau aku udah masuk, kamu nggak akan punya jalan keluar lagi..."

☘️☘️☘️

Gimana-gimanaaaa? Kaget ngga??
Ku buru2 ngecek halaman depan mastiin kode konten dewasanya aktif 🙈🙈

Jadi yaa gitu, ku bingung ini mau diapain lagi..
Biarin mereka balikan lagi? Apa pisahin lagi aja yaa... 💆💆💆

Jadi sebenarnya sampai sejauh ini ceritanya udah sesuai dengan harapan aku, nah tapiii aku stuck ngelanjutinnya.. makanya boom update, siapa tau ada komen2 yang buka jalan pikiran aku lagi. Mohon bantuannyaa yaa 🙏🙏🙏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro