Bab 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

[Cerita ini dilindungi undang-undang akhirat. Jika melakukan plagiat, akan dicatat oleh malaikat]

Ketika kesempatan tidak memberikan ruang untuk pertemuan
Buku dapat menjadi alternatif untuk menjelaskan
Tentang segala rasa yang tak sempat tersampaikan
***

Suara Fabian

Kara Lestari, dimulai dari sebuah pertemuan tiba-tiba, kemudian dengan tanpa aba-aba ia menerobos masuk ke bagian paling inti dalam dada, mengambil porsi hati tanpa permisi dengan penghuni mau pun pemiliknya. Tega yah dia? Membuat saya bimbang dalam dilematik rasa tak menentu tanpa mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya diri ini mau?

Tapi saya besyukur. Berkatnya, hidup saya kembali lagi berwarna. Saya akhirnya merasakan lagi ragam rasa yang sudah lama tak riuh dalam dada. Bagaimana rasanya jatuh hati, menanti, kemudian beraksi menarik hati. Sederhana memang, tapi kawan, maklumi lah saya yang sudah lebih dari empat tahun tak pernah merasakannya. Keagungan rasa mengusai hati yang selalu berhasil mengambil alih logika. Konyol memang, tetapi sensasi rasa seperti ini sudah lama ku nanti! Seraya hal yang sudah lama hilang dalam diri terasa telah kembali.

Perjalanan kami di vila kemarin sungguh menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak saya, berbagai tanda tanya menarik rasa penasaran saya untuk mencari tahu lebih dalam tentang sosok Kara Lestari. Dibalik senyum manisnya, riang tawanya, ceria jiwanya, belakangan saya merasa itu semua meluap ke diri terluarnya hanya semata untuk menutupi hal yang sebenarnya sedang terjadi pada dirinya,

Juga pada hatinya.

Pikiran saya langsung terhubung pada isakan tangisnya pada saat pertemuan pertama kali kami. Betapa kala itu saya begitu ingin memeluknya, suara tangis itu terdengar begitu tulus mengalir dari relung jiwa terdalamnya, dimana sebenarnya disana lah bisa jadi pusat terapuh dalam dirinya. Namun, aku tak ingin mengambil kesimpulan terlalu dini, pertanyaan itu kusimpan rapat dalam pikiran untuk kemudian kutemukan jawabannya secara pasti.

Usai mengantarkannya ke rumah malam itu, disepanjang perjalanan menuju hotel saya berbincang banyak dengan Rifki. Fakta mengejutkan kutahu dari Rifki yang mengaku bahwa ternyata Kara adalah sepupunya. Aku mulanya tak percaya, tetapi melihat Rifki yang begitu akrab pada ayah Kara saat dirumahnya beserta bukti-bukti lain yang kudengar darinya bisa langsung kupastikan bahwa Rifki ialah benar sepupu Kara. Sial, Kenapa tidak dari kemarin ia memberitahuku! Aku menggerutu pada Rifki, dia hanya berkata; ya, kenapa tak bertanya?

Aku berupaya untuk mengorek informasi tentang Kara dari Rifki tanpa harus terjebak dalam situasi dimana aku harus mengaku tentang urusan hati. Bagaimana pun Rifki adalah rekan kerjaku.

"Aku merasakan ada yang aneh dari Kara, ki. Nggak tau kenapa rasa empatiku sensitif sekali ke Kara." Ucapku.

"Nggak salah, pak. Emang hidupnya Kara lagi nggak baik-baik aja," ujar Rifki.

Aku tertegun, benar dugaanku. Cerita dari Rifki telah melengkapi kisah terpotong-potong yang Kara ceritakan padaku waktu di villa. Aku tak yakin harus menceritakan hal ini pada kalian, karena ini adalah bagian privacy yang begitu sensitif bagi Kara. Tapi yang pasti sejak saat itu aku menilai keceriaan dan tawa seorang Kara Lestari adalah bentuk menutupi jiwa rapuhnya, dan manipulasi diri yang sebenarnya sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

Setibanya di hotel, aku tak bisa tidur. Mataku tak henti menatap layar notifikisi ponsel yang tak ada apapun selain pesan dari grup Whatsapp pekerjaan. Malam itu, aku merasa harus selalau siaga dan cepat tanggap bila ada pesan masuk dari Kara yang membutuhkanku. Namun hingga langit kembali biru, syukurlah yang kutemukan hanyalah pesan ucapan selamat pagi darinya yang membuat hariku diawali dengan senyuman.

Kara, kamu lebih dari sekedar menarik perhatianku. Tapi kini, kamu juga telah membuatku kagum akan ketangguhanmu. Kamu wanita hebat Kara, aku salut padamu!

Sekian untuk bagian ini, sampai bertemu di halaman-halaman selanjutnya.

***

Belum genap seminggu di Ibu Kota, pikiran Fabian sudah lebih dulu berada Kota Kembang. Raganya menuntut untuk sesegera mungkin menyusul ke Bandung, tak sabar untuk kembali menatap lekat matanya, berada didekatnya, dan menikmati senyuman dengan kadar manis tertinggi yang pernah Fabian temui di muka bumi ini.

Saatnya kembali beraksi menaklukan hati seorang Kara Lestari! Batin Fabian.

Aspal tol jalanan cikampek hingga cipularang, asap polusi kendaraan, serta pohon-pohon yang masih bertahan disepanjang sisi jalan tol menjadi saksi Fabian berbicara dengan dirinya sendiri mengenai gejolak rasanya yang sedang tertuju pada satu wanita yang sebentar lagi akan ia temui.

Tak ada yang tahu mengenai keberangkatan Fabian ke Kota Bandung karena dilakukannya secara tiba-tiba tanpa terencana mengikuti panggilan hati. Setibanya di Bandung, tempat pertama yang ia tuju tak lain ialah sekolah Kara. Saat ini, dirinya sedang berdiri di depan gerbang sekolah Kara, Fabian berdiri bertolak pinggang menatap lurus ke gerbang berwarna hijau tersebut. Merasa lapar , Fabian membeli cakue dipedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya tepat di depan sekolah Kara.

"Mang, cakuenya boleh satu." Ujar Fabian.

"Boleh kasep, sakedap, mamang goreng dulu" Ucap pedagang tersebut.

"Dagang tiap hari disini, mang?" Tanya Fabian.

"Enggak kasep, kadang disini, kadang di SD sana, gentian aja," jawabnya.

Fabian menjulurkan tangan mengajak pedagang tersebut bersalaman. "Fabian Mang. Mamang namanya siapa?"

"Mang ikin." Pedagang itu menjabat tangan Fabian. Mereka telah resmi berkenalan.

Sambil menunggu cakue pesanannya di goreng, Fabian mengajak mang ikin mengobrol mengenai kegiatan sehari-harinya, seperti; mulai dagang jam berapa? Biasa pulang ke rumah jam berapa? Mang ikin punya anak berapa?

Tak butuh lama untuk Fabian bisa mengakrabkan diri dengan mang ikin. Sekarang mereka tertawa bersama karena bualan Fabian seperti layaknya orang yang sudah cukup lama saling kenal. Fabian memang mahir dalam menempatkan diri dalam berhadapan dengan siapapun.

"Nih cakue-nya" Mang ikin memberikan pesanan Fabian.

Di tengah-tengah mengisi perutnya, seketika terlintas sebuah ide di kepala Fabian. ia tergesa-gesa menghabiskan makanannya, kemudian beranjak pergi. Dirinya berjalan cepat menuju tempat yang ingin ia tuju, yaitu; mini market. Sesampainya disana Fabian membeli beberapa jenis coklat dalam jumlah banyak, dan susu coklat, lalu kemudian ia kembali ke depan sekolah Kara, lebih tepatnya ke gerobak Mang Ikin.

"Mang punya pulpen?" tanya Fabian.

"Ada nih." Mang Ikin merogoh laci di gerobaknya untuk mengambil pulpen kemudian memberikannya pada Fabian.

"Pinjam sebentar ya mang," ujar Fabian.

"Iya sok." Mang Ikin menampilkan senyum ramahnya.

Fabian mengambil buku catatan dalam tas kecilnya, kemudian merobek satu lembar kertasnya.

Lalu ia menuliskan;

Hai Penyuka Coklat,

Selamat pagi! ini ada coklat dan susu coklat yang semoga bisa membuat manis hari-harimu,
dan bikin kamu senyum terus,

.

.

Tuh kan senyum, he he he.

Udah ah, senyumnya jangan lama-lama nanti banyak yang lihat.
Senyum kamu itu bahaya, bisa bikin orang jatuh hati.
Saya salah satu korbannya.

Hai Calon Dokter,

Kamu tahu nggak? Menurut penelitian,
coklat itu bisa membangkitkan hormon pemicu rasa bahagia lohh

Jadi sengaja aku bawain kamu coklat yang banyak.
Biar sekarang coklat dulu yang membuat kamu bahagia,

Nanti baru aku,

Itu pun kalau kamu sudah mengizinkan.

Sekian dulu, yah. Kertasnya kecil, ruang buat nulisnya udah mau abis.

Saya cuman mau pesan, coklatnya diirit-irit makannya. Jakarta-Bandung jauh tau!

Stok ini harus cukup sampai saya kembali lagi ke Bandung
, biar bahagia kamu nggak pernah putus,

Sekian, sampai ketemu lagi!

Your FAN, 2018.

Fabian memasukan surat itu kedalam kantong plastik berisikan coklat dan susu yang tadi ia beli. Kemudian dititipkannya di mang ikin.

"Mang mau minta tolong, boleh?" Tanya Fabian.

"Boleh dong kasep. Apa yang bisa mamang bantu?" Mang ikin begitu ramah pada Fabian.

"Titip ini mang, bingkisan buat calon dokter, Kara namanya. nanti pulang sekolah sebentar lagi dia ambil ke gerobak mamang." Fabian menyodorkan plastik tersebut.

"Oh iya, Kara yah namanya," ucap mang ikin mencoba mengingat nama Kara. "Nanti bilangi neng Karanya suruh ke sini aja yah." Lanjut mang ikin.

"Iya mang, tapi jangan bilang dari saya. Mamang bilang aja—ini hadiah untuk calon dokter," pinta Fabian.

"Siap kasep!" Mang ikin menyanggupi permintaan Fabian.

Fabian kemudian memberikan satu lembar uang ke mang ikin sebagai ungkapan terima kasih yang sempat di tolak mang ikin. Namun Fabian berkata anggap saja ini untuk membeli cakue saja, karena dirinya sudah kenyang, Fabian meminta cakuenya dibagikan saja oleh mang ikin ke siapa pun anak-anak yang lewat. Ada senyum bangga yang terukir di wajah mang ikin terhadap Fabian yang tak mampu ia ungkapkan dalam untaian kata-kata selain kalimat Terima Kasih, diikuti oleh doa lancar rezeki dari mang ikin untuk Fabian.

Tak lama kemudian, Fabian berpamitan pada mang ikin, ia beranjak pergi dari kawasan sekolah Kara menuju kafe di jalan riau tempat biasa ia menikmati kopi tubruk.

Diperjalanan, Fabian mengirim pesan singkat ke Kara.

Fabian : Barusan ada orang hubungi aku, Mang Ikin namanya. Katanya dia tukang cakue yang jualan di depan sekolah kamu. Dia bilang lagi ada urusan sama kamu minta tolong ke aku, buat sampaikan ke kamu untuk menemuinya segera sepulang sekolah. Kalau nggak nanti dia yang cari kamu ke dalam sekolah.

Fabian : Kenapa sih? kamu belum bayar yah?

Kara mengetik ...

Kara : Hah? Apaan sih? Tukang cakue yang biasa jualan depan sekolahku?

Aku aja nggak kenal, kak, dan udah lama juga nggak beli.

Fabian : Samperin aja dulu gih, mungkin salah paham . atau ada maksud lain.

Kara : Iyaudah deh, nanti pulang sekolah aku kesana.

Fabian tersenyum puas, tak sabar rasanya menunggu reaksi Kara. Rencana awal menunggunya sampai pulang sekolah diurungkan Fabian karena ia ada urusan mendadak yang harus diurusnya segera. Tak lama berselang, dering tanda pesan masuk menggetarkan ponsel Fabian, ia membukanya.

Kara : Kak Ian!! Terima Kasih!

Kara mengirim gambar (foto bingkisan dan suratnya)

Fabian : itu apa? Dari mang ikin? Ih mang ikin, mau nyaingin saya dia!

Kara : ihhhh kak iaaan , ini kan dari kaakakk!!!

Langit sedang menertawakan dua orang berbeda yang sekarang hatinya sedang berbunga-bunga dan senyam-senyum sendirian ditempatnya masing-masing.

Seperti orang mabuk saja!

Eh, tapi memang nyatanya mereka berdua sedang dimabuk Asmara.

****
To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro