Satu dua hujan:

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng








Sisa sisa rintik air hujan masih jatuh dari langit satu persatu, perlahan awan menjatuhkan air cristalnya yang di tampungnya penuh penuh sebelum mengeluarkanya dengan deras hingga tidak menyisakan satupun. Karena hal ini juga terjadi sejak sore, matahari sudah tidak terlihat lagi cahayanya. Jakarta sore ini sedikit sunyi, hujan membuat padatnya jalanan setidaknya sejuk mengguyur polusi dan debu debu kotor di jalanan, motor motor yang membeludak kini sedikit di singkirkan oleh cuaca, jakarta setidaknya bisa bernafas sejenak berkat hujan.

Hal lainya yang baik ketika hujan datang adalah di sebuah toko ice cream italia di gang Purnomo III deretan paling akhir, hal baiknya adalah tidak ada yang mengunjungi toko ice cream di tengah hujan deras seperti ini, mungkin saja ada tapi itu adalah orang yang unik, sekitar 2 dari 500 orang di jakarta. Para pelayan toko ice cream yang selalu kewalahan akibat membeludaknya pelanggan kini termenung sambil memandang depan toko yang kosong tampa hiruk pikuk manusia berlalu lalang sambil membawa ice cream segala jenis, para pelayan kini hanya bersantai sejenak dengan apron mereka yang masih bersih mengkilap, bercanda gurai hingga membuka buku tulisnya untuk mengerjakan tugasnya di sela sela jadwalnya bekerja.

ialah Jeno, Januar purnomo yang kerap di panggil jeno oleh orang sekitarnya. Dalam pojokan gudang penyimpanan stock bahan bahan ia terduduk dengan buku buku kuliah yang terbuka lebar, jarinya menulis cepat diatas kertas putih, beberapa kali matanya meneliti buku tentang proses manufakturing sebelum pencilnya menulis jawaban jawaban lainya di buku tulis tebal kotak kotaknya.

jeno merasa bersyukur sore ini hujan, tugas kuliah dari pak Rusdi mata kuliah proses manufakturing begitu banyak dan rumit, jawabanya essai hingga membuatnya harus menulis panjang lebar sesuai minimal kata yang berlaku. Jeno sudah optimis jika malam ini akan kembali terjaga untuk mengerjakan tugas tugas dari pak Rusdi, namun hujan sore ini menyelamatkanya, di sela sela pekerjan sampingan yang ia ambil sepulang kuliah, kini Jeno bisa memakai waktu luang itu dengan membuat pr dari pak rusdi. Mungkin malam ini ia juga bisa membantu ibunya menggulung risol untuk di dagangkan esok pagi, jeno tidak enak melihat dari kemarin hanya adiknya yang membantu ibunya menyiapkan daganganya.

keberuntungan lainya datang selepas jeno menyelesaikan tugas tugas kuliahnya, Ko lim, pelaku pemilik usaha toko ice cream italia ini memutuskan untuk menutup toko lebih awal, beliau menduga hujan akan datang dengan lama, percuma membuka toko ice cream di tengah hujan. Keberuntungan ini juga yang membuat jeno tersenyum lebar hingga matanya menyipit hilang, ia bisa pulang lebih awal, terhindar dari desakan trans jakarta yang penuh di jam jam kerja pada umumnya.

Pria muda yang bekerja di toko ice cream italia itu akhirnya segera berlari menerobos hujan menuju halte busway, telinganya di sumpal earphone yang mengeluarkan lagu lagu mengalun melodi di telinganya, duduk di bagian belakang dekat jendela, ia menikmati bagaimana sisa sisa hari ini akan berjalan dengan sejuk. Dalam waktu 47 menit, Jeno bisa berdiri di halte jeruk dekat rumahnya, berjalan kaki sekitar 1 km sebelum bisa memandang bangunan tua rumah susunnya.

Ia berbelok kiri masuk ke dalam gang sempit yang sedikit terendam banjir, air got yang meluber dari selokan membuat jeno harus terdiam sesaat sambil menepi naik ke atas teras teras rumah di dekatnya. tasnya yang sudah terlapisi kantong kresek hitam tidak perlu lagi ia khawatirkan, sekarang yang perlu di fikirkan adalah sepatu putih nya yang sudah basah, cukup buruk kondisinya, jeno tidak mau jika sepatunya di tambah buruk dengan harus basah akibat air comberan, belum dari jalan masuk ke bangunan tinggi rumah susun adalah jalan tanah, sudah terendam air comberan juga harus masuk di lapisi tanah. Ini sepatu paling bagus yang jeno miliki, walau bekas milik Naren, tapi ini satu satunya sepatu putih bersih milik Jeno, ia tidak mau harus kesusahan mencari sepatu elok di masa depan jika sepatu satu-satunya yang putih bersih harus juga masuk ke dalam sepatu kuning miliknya.

putusanya bulat, jeno memilih bertelanjang kaki, menenteng sepatu nya untuk melewati gang yang terendam air hitam dari selokan yang menggenang. sampah sampah plastik jajanan menggambang, di ikuti oleh kecoa yang berenang dengan khitmat. Perlahan ia berjalan  melintasi gang itu sambil menyeringit, tampa meninbulkan riak air lebih hebat atau membuat hewan hewan kotor itu harus menempel pada kulitnya. perlahan di tengah hujan yang deras, Jeno memilih langkah dengan hati-hati.

TAK! TAK! TAK!

Ada suara langkah kaki cepat di belakangnya, riak riak air yang hebat ibarat ombak membuat jeno membesarkan matanya ketika di atas kayu yang mengambang membawa dua sampai tiga kecoa harus tenggelam, membuat kecoa kecoa itu berenang tak tentu arah. Jeno semakin panik, panik hingga ia menoleh wajahnya kebelakang dengan marah pada siapapun yang menimbulkan riak air sehebat itu disini.

"MAS JENO!"

"TUNGGU HARDIAN!"

"NEBENG PAYU—

Brak!

sudahlah, jeno sudah pasrah jika kakinya di tempeli kecoa atau menginjak sampah sampah lumut dari air got akibat gelombang besar dari sang adik tercinta yang terjatuh di atas jalan yang terendam air selokan.

"bawa ban aja sekalian Hadrian, berenang kamu disini." Lirihnya dengan malas, tampa peduli lagi ia berjalan dengan cepat untuk mengulurkan tanganya pada si bungsu yang terduduk sambil membinarkan mata sedihnya.

"sakit mas." keluhnya manja, mengusap ngusap pantatnya. "Basah juga." keluhnya lagi, menunjuk kemeja kotak kotak hitam serta celana jeans nya yang kini sudah basah + bau selokan.

Jeno menyeringit, "udah tau, bau juga lagi." lirihnya ketus.

"mas." 🥺🥺

"yaudah, gak papa."

"sakit mas." 🥺

jeno sedikit menahan tawanya, menepuk nepuk pundak hardian sambil membagi payungnya pada si bungsu. "Ayok deh pulang. Sebelum magrib di jalan." Ingatnya

Mereka yang bersaudara berbagi payung kini kembali berjalan perlahan melintasi gang tembok tua yang penuh di corag coret oleh pilok dan sejenisnya. Kecoa kecoa menyelamatkan diri dengan menempel pada tembok, tikus tikus berenang melewati mereka dengan berani, sampah sampah menggenang begitu saja di hadapan kaki mereka. Hadrian masih sibuk mengelua ngelus pingangnya yang sedikit ngilu, jeno sibuk memastikan payung mereka menutupi setidaknya kepala mereka dari rintikan air hujan yang masih membasahi kota jakarta sore ini.

"kamu dari bengkel?" tanya jeno, membuka percakapan.

"enggak, dari rumah bu Utami di depan gang ini loh mas. suaminya minta aku buat ngecek mobilnya."

"bisa?"

"ENGGAK LAH! Panggil damkar. Emang aku panji apa."

langkah jeno berhenti, wajahnya menoleh pada hardian dengan sangat heran. "mobil? mobilnya masuk mana? Kok panggil damkar?"

hardian menghela nafasnya panjang, "jadi di dalem kap mobilnya, ada anak uler. Ada tiga." Hardian menunjukan tiga jarinya dengan dramatis. "Itu mobil kan lama gak di gunain, bayangin aja bang idih serem banget ada uler beranak begitu. Kaget banget hardian pas liat, sempet aku toel lagi, kirain apa gitu kok lembek lembek, yaallah bang ternyata uler piton."

"terus induknya ketangkep gak?"

"Enggak! Tapi kan selokan rumahnya bu utami di bongkar juga tuh bang, takutnya ada induknya disana. Eh tapi belum ketemu."

Jeno menunduk, melihat kakinya yang bergenang air hitam sebetisnya yang di penuhi riak riak air berkat tetesan air hujan. selokan selokan yang tetutup, serta aspal jalanan yang tidak terlihat. Apapun di dalam air sana yang menyentuh kulit kaki jeno. permasalahnya satu, selokan got ini masih terhubung dengan selokan rumah bu utami di depan gang.

"hardian. LARI!"

"KENAPA MAS?! ENGAK MAU AH NANTI JATUH LAGI!"

"ULER! INDUK ULERNYA BELUM KETANGKEP KAN!"

"HAH? HAH! HAH!"

Hadrian yang kakinya jauh lebih tinggi dari jeno melangkah lebih lebar dan gesit meninggalkan abangnya yang berlari dengan hati hati, pula sambil memegangi payung hitam supaya kepalanya tidak terkena hujan.

si bungsu yang sudah mencapai ujung gang kini hanya bisa menyemangati Jeno dengan kata kata teriakan, terpendam juga oleh suara gemuruh petir.

ketika dengan segala kehati hatianya, Kini jeno bisa menyusul hardian yang sudah tertawa lepas di bawah hujan, rambutnya sudah basah hingga di wajahnya mengalir satu dua tetes air hujan. Hardian baru menyadari betapa bodohnya mereka berdua, terlebih dirinya yang tidak sadar akan induk ular yang di duga di selokan rumah bu utami, yang menyambung ke gang sempit bau juga banjir tersebut.

ketika Jeno sudah menghela nafas lega tiba di ujung yang memiliki dataran lebih tinggi hingga tidak tergenang air, mata jeno kembali memutar dengan malas ketika sadar harus melewati jalanan tanah sebelum masuk ke gedung bangunan rumah susun di hadapan mereka.

"Hardian, sebelum kita ngelewatin tanah belok di depan, mending kamu cerita lebih dulu sekarang ada hal apa hari ini. Gak ada kodok beracun yang lepas di lapangan kan?"

hardian sendiri masih tertawa sambil memegangi perutnya yang sakit. "Enggak mas! Enggak beneran! Gak ada cerita kodok beracun kabur ke lapangan.Tapi ulernya siapa tau dari lapangan juga?" Ujarnya terisak.

Jeno menunduk dengan lelah, sedikit tertawa akibat tawa milik hadrian yang menular. "uler suka tempat yang lembab, gak mungkin di lapangan. Tapi beneran kan gak ada cerita hal hal lainya yang serem?"

"Iya gak adaa," ujar hardian berusaha menetralkan nafasnya.

Jeno menganguk, kembali berdiri untuk bersiap melewati 20 meter tanah lapangan belok yang tergenang air hujan. ia berbiat memimpin jalan untuk mencari jalan yang sedikit keras untuk di tapak.

"Tapi mas, ada deng cerita lainya."

"Hardian, cepetan cerita sebelum kita lewatin tanah belok!"

"tapi ini gak serem sih, tadi hardian ketemu sama Kak Dira, temenan loh sekarang sama si Putri dari rumah lantai 3."

"kapan?"

"tadi pas hardian kerumah bu utami."

"oh, yaudah. udahkan gak ada cerita lainya yang berbisa kabur ke lapangan?"

"clear, mas."

"ayo pulang, kasian ibu pasti lagi ngolah adonan risol sendirian."

"pengin bakso mas jadinya."

"Gak relevan ya hardian."

"Hehehe."

mata jeno menatap pintu masuk rumah susun yang di bagian kirinya terdapat bangku bangku dari ban serta balok balok kayu bekas yang kini basah terguyur hujan. Setiap sore kerap kali anak anak tongkrongan susun menangkir disana sambil bermain gitar, sudah di tegur pak rw susun karena anak anak tongkrongan itu gemar menggodai perempuan perempuan remaja yang berlalu lalang, bahkan tidak segan segan menyentuhnya, tapi anak tongkrongan itu pula yang membuat rumah susun selalu aman dari kasus kasus kriminal di sekitar mereka.

jeno jadi khawatir jika si yang di sebutkan oleh Hadrian menuju ke rumah putri di dalam rumah susun, pasti anak anak tongkrongan akan melontarkan godaannya pada gadis itu, mungkin berani sampai mencegatnya karena si gadis memang elok, mencolok rupanya yang ayu. Duh jeno jadi jengkel sendiri.

"mas tungguin hardian! Aduh susah jalanya nih!"

"hardian kamu gak boleh jatuh, mas gak mau tolongin kalu jatuh!"

"KALAU UDAH TAKDIR GIMANA MAS?!"

"yaallah hardian, kasian ibu nyuci baju kamu yang bau comberan juga bau tanah."

"mas...🥺🥺"

Oh, jeno juga lupa satu hal. Si gadis bukan perempuan lemah yang butuh perlindungan.

_____

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro