13 •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagi orang lain, hidup Hyunjae nyaris sempurna. Menjadi anak salah satu pengusaha batu bara di negaranya, harta yang dimiliki keluarganya tentu melimpa ruah. Katanya, hartanya bisa tidak habis sampai tujuh turunan.

Itu hoax.

Kehidupan Hyunjae tidak ada bedanya dengan anak-anak lain yang tidak terlalu mendapat kasih sayang orang tuanya. Memang, mereka memberikan segala fasilitas untuknya mulai dari mobil, kosan termahal, uang bulanan lebih, hingga ia memiliki sebuah black card yang dimiliki oleh satu keluarganya. Tidak sulit mendapatkan black card karena sang Ayah memiliki kenalan dalam dunia perbisnisan hingga mengurus hal seperti ini.

Sayang beribu sayang, kesibukan orang tuanya yang tidak dapat dikontrol membuat ia jauh dari kata sayang. Dari kecil, Hyunjae selalu dititipkan oleh pengasuhnya dan tumbuh menjadi anak yang mandiri. Kadang-kadang, ia berusaha mengajak kedua orang tuanya untuk berkumpul bahkan saat libur nasional, namun tidak berhasil.

Mamanya sering meminta uang, padahal memiliki pegangan sendiri. Aneh, tapi Hyunjae tidak bisa menolaknya. Ia selalu memberikan sebagian uang yang dimiliki kepada sang mama.

Setelah mengetahui fakta yang sesungguhnya, alangkah terkejutnya jika Emma, sang Mama, memiliki hutang bernilai milyaran dan enggan bercerita pada sang papa. Karena bila sang papa sudah marah besar, seisi rumah bisa hancur.

"Bro, lo kenapa? Mabok?"

Younghoon cukup khawatir melihat kawannya sempoyongan dan hampir terjatuh dari tangga. Dibilang sakit juga enggak, soalnya Hyunjae cowok kuat dan jarang sekali sakit.

Kepala yang masih terasa diputar-putar itu dipegangnya kuat. "Enggak, gue gak tau kenapa tiba-tiba pusing aja sih. Semalem cuman minum air dingin, bukan alkohol, Hoon. Paling bentar lagi pusingnya juga ilang."

"Hmm, tumbenan. Nanti istirahat dulu di kamar, sarapannya dihabisin nanti nasinya nangis. Gue kayaknya mau keluar bentar beli something buat Devan," kata Younghoon.

Hyunjae segera menghabiskan sarapannya yang sudah dibuat enak oleh Stella pagi tadi. Sahabatnya itu pun bergegas mengambil kunci mobil lalu pamit kepada Stella untuk keluar dan diangguki oleh gadis tersebut tanpa ditolak. Awalnya Stella ingin ikut, namun teringat ia harus membersihkan rumah tersebut dan menjadi pembantu dadakan sehingga dirinya langsung mengurungkan niat.

Melihat Stella baru saja mengambil makanan dari kamar Devan, cowok tersebut berdecak kagum dengan perhatian cewek itu kepada adiknya.

Sejak awal Hyunjae iri, ia pun ingin mendapat perhatian darinya namun tak pernah diberi. Setelah tahu bila Devan ternyata sakit, Hyunjae menepis rasa iri tersebut dan ikut kagum dengan perjuangan Devan yang ingin sehat dan normal seperti anak lain.

Tiba-tiba saja, hidung Stella mengeluarkan darah cukup banyak dari kejauhan. Sebagai seorang yang khawatir akan keadaan cewek itu, Hyunjae mengambil piring-piring kotor di meja dan membawanya ke wastafel, di mana Stella ada di sana. Darahnya begitu deras mengalir.

"Lo gak pa-pa?" tanya Hyunjae.

Bodoh, jelas itu jauh dari kata baik-baik saja.

Stella menggeleng, mengisyaratkan dia tidak apa-apa. Tangannya masih sibuk menahan pendarahan yang sulit dihentikan karena sakitnya.

"Bentar, gue ambilin wadah gak kepake aja buat tampung darahnya. Lo tunggu di sini dan jangan pingsan dulu," kata Hyunjae segera berlari ke kamarnya dan mengambil wadah bekas makanan yang dia bawa ke mari. Ia pun menaruhnya di bawah kepala Stella, lalu melepaskan jari cewek itu yang tengah menjepit hidungnya. "Buka, biarin lima menit habis itu jepit lagi."

Mendengar instruksi dari cowok tersebut karena memang benar, Ara pun melakukannya secara bertahap. Darahnya sulit dihentikan lama, butuh sekitar lebih dari 15 menit untuk membuat hal tersebut berhenti.

Darah sudah tidak lagi mengalir dari hidungnya, namun Stella merasa kepalanya jadi pusing. Duh, tidak, ia tidak boleh lemah. Apalagi pekerjaan rumahnya masih banyak. Apa yang orang tuanya katakan nanti kalau semua masih berantakan, dan mereka akan seenaknya mengecap Stella tidak becus menjalankan perintah orang tua? Namun, segalanya belum bisa dia lakukan sampai beberapa saat.

"Minum dulu, jangan dipaksa buat ini itu."

Tangan kekar namun halus itu mengusap punggungnya dengan lembut. Hyunjae barusan membersihkan wadah tadi setelah membuang darah mimisan milik tuan rumah tersebut, lalu ia duduk tepat di sampingnya.

"Lo kurus banget," kata Hyunjae melihat tulang pipi Stella ternyata sudah mulai terlihat.

"Gak boleh body shaming," balas Stella masih cuek, tapi di dalam hatinya sangat berterima kasih atas bantuan pertolongan dari Hyunjae barusan.

Dia hanya mengeles tadi, tidak bermaksud serius dengan berkata body shaming. Lagi pun, Hyunjae sudah tahu akan penyakitnya. Ia sudah kurus, kalau bertambah kurus wajar saja jika cowok tersebut berkomentar sekaligus cemas.

"Gue gak body shaming, ini beneran. Makan yang banyak, ya? Takutnya lo nanti kebawa angin kalau tambah kurus," kata Hyunjae, lalu setelahnya ia mendapatkan pukulan kecil dari gadis itu. "Akh! Jangan dipukul juga dong. Bentukan gini pun gue tetep manusia yang bisa ngerasain sakit."

Bola mata Stella memutar malas. "Lebay banget lo. Emang gue mukulnya pake tenaga dalam sampai bikin lo merintih gitu? Kagak," sengitnya.

"Jangan sampai sakit lagi, oke?"

Stella hanya menganggukkan kepala.

Seseorang berdiri di anak tangga dengan pandangannya yang terpaku pada Stella, ia melihatnya yang masih memegang kepala dan mencoba menenangkan diri.

Apakah kakaknya sakit? Adalah pertanyaan yang terlintas pertama dalam pikiran seorang Devan. Ia awalnya berniat turun, memanggil dan meminta Stella untuk menemaninya di kamar. Namun, pemandangan ketika sang kakak sedang berusaha menghentikan darah di hidungnya membuat ia memiliki pemikiran yang tidak tidak.

Ia bersembunyi—seperti petak umpet—dibalik tembok di bawah anak tangga. Lalu, ketika Hyunjae selesai mengambil wadah dari kamar, Devan lalu kembali berdiri di rentetan tangga. Ia memantau tanpa ketahuan karena Hyunjae sibuk membersihkan darah, dan Stella tampak kabur pandangan.

"Apa aku deketin mereka aja, ya? Khawatir sama kakak." Kaki kanannya melangkah turun, tetapi ia kemudian mengurungkan niat dan mengepalkan tangan kuat-kuat. "Nanti saja. Kalau tanya sekarang, kakak pasti gak mau jawab." Pada akhirnya, Devan kembali ke kamar dengan seribu pertanyaan berputar-putar di kepalanya.

***

Lima jam kemudian Younghoon baru kembali dari suatu tempat yang katanya untuk membeli 'something' bagi Devan. Hingga detik ini, barang dimaksudkan tidak djelaskan kepada Hyunjae. Laki-laki tersebut hanya tak acuh seolah, "Oh, palingan yang bikin dia girang." Gitu aja.

Lelaki bertubuh tinggi itu merebahkan diri di atas sebuah sofa panjang di depan televisi. Ia terlihat masih lelah sehabis berpergian.

"Lo perasaan naik mobil deh tadi pagi. Bagian yang bikin capeknya tuh, dimana? Kan duduk di dalam, mana pake AC lo pasti. Iya, kan?" Sebuah pertanyaan dilemparkan oleh Hyunjae kepadanya begitu melihat Younghoon seperti orang tepar saja.

"Bangsul. Tadi gue dikejar anjing tau. Gara-gara nyasar gak tau jalan, terus gue turun malah dikejar anjing liar di deket kebun orang. Kayaknya gue lupa jalanan sini makanya sok sokan ngide aja mau pake jalan lain—bukan jalan biasa," jelas Younghoon dengan napas terengah tengah. "Gue dikejarnya tadi pas mau pulang tau, makanya baju gue banyak keringet gini. Gak lagi-lagi deh gue lewat sana."

Hyunjae tertawa mendengarnya. "Wkwkwkwk, serius lo, Hoon? Apes banget temen gue yang satu ini. Makanya, gak usah sok ngide deh."

"Iya, iya. Paham kok."

Mata Younghoon terpejam, dengan angin AC yang menyentuh kulitnya mulai menghapus keringat di tubuhnya itu. Ia jadi mengantuk karena kelelahan, terlebih lagi empuknya sofa yang sudah seperti tempat tidur baginya.

Ah, kenapa sofanya jadi sangat nyaman? Perasaan tadi pagi ia merasa sofanya berantakan oleh banyak barang dan banyak debu yang menempel seperti tidak dibersihkan selama berbulan-bulan. Apa efek kelelahan makanya pikirannya jadi ikut berhalusinasi begini, ya? Masa, sih?

"Pala lo halusinasi, ini udah diberesin semuanya sama Stella. Coba lo perhatiin," timpal Hyunjae yang mendengar gumaman Younghoon setengah merancu.

Kaget dengan pernyataan itu, Younghoon langsung terduduk dan memandang sekelilingnya. Lah, iya juga ya. Kenapa keadaan rumah jadi lebih seger aja gitu daripada saat pertama kali dia datang ke sini. Orang tua Stella tidak pernah membereskannya atau membereskannya hanya sebulan sekali saja? Tetapi, rumah itu benar-benar jadi sangat bersih.

Tidak salah memang Stella pernah dijuluki si pembersih paling bersih. Memang patut Stella diberikan penghargaan untuk ini. Katakanlah Younghoon sedikit lebay, tetapi rumah itu memang terlibat seperti rumah baru pindahan dan barang-barang ditata rapi sesuai pada tempatnya.

"Anjir, gila bersih banget. Stella hebat banget bisa bersihin ini semua dari gue berangkat sampe gue udah nyampe rumahnya," seru Younghoon. "Je, terus di Stella-nya di mana? Kok gue gak lihat dia, ya."

"Ada di kamarnya, lagi istirahat. Kasihan gue lihatnya bolak balik bawa sapu, pel, kemonceng, sama ember yang isinya pakaian baru dicuci. Gak kebayang deh gue, asisten rumah tangga bisa kalah sama dia. Hebatnya, dia gak ngeluh di depan gue atau Devan. Paham sih ini disuruh, tapi kenapa gue ngerasanya agak keterlaluan ya mereka nyuruh anaknya yang baru pulang ngerantau bersihin rumah segede ini," jelas Hyunjae ikut mengutarakan isi hati dan pendapatnya.

Lah, Younghoon malah jadi tambah kaget.

Kayak.. babu.. gitu maksudnya? Kok Om sama Tantenya tega banget ya?

"Kayaknya gue harus ketemu Stella sekarang, sama Om Tante gue nanti."

Tetapi, Hyunjae mencegahnya. "Percuma, lo mau bilangin gimana ke Stella, dia itu kepala batu. Lupa ya? Gue kan korban keras kepalanya dia. Detik ini aja gue masih setengah dianggep pacar sama dia."

Pada akhirnya, ternyata Younghoon memang tidak bisa berbuat apa-apa jika Stella sudah mode keras kepala. Ia terduduk kembali sambil mengacak rambutnya dengan frustasi. "Ada saran buat gimana biar dia gak kepala batu lagi, Je?" tanyanya.

"Kita diskusiin nanti aja."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro