12 •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kehangatan keluarga di rumah ini tidak begitu terasa bagi Stella, yang ia rasakan masih sama; dingin. Hanya Devan lah, satu-satunya kehangatan yang ia miliki dan menjadi sumber kebahagiaan Stella sampai kapanpun. Makan malam yang penuh canda tawa terasa garing dan kaku bagi gadis itu, orang tuanya lebih suka bercanda dengan Younghoon dan Hyunjae dan mengabaikan dirinya.

Maka dari itu, Stella langsung pamit untuk kembali ke kamarnya dengan alasan sedang lelah. Sora juga langsung menyuruh anaknya itu dengan nada mengusir daripada terlihat khawatir. Itu menjadikan Hyunjae sebagai sebuah pemandangan yang seharusnya tak ia lihat.

Sudah pukul sepuluh malam, orang dalam rumah sudah terlelap dalam tidur mereka. Kecuali Stella. Ia masih memijat punggungnya dan mengoleskan es batu di sana untuk meredakan punggungnya yang sekali lagi mendapatkan luka lebam. Pembully sialan, hanya itu saja yang bisa cewek itu keluhkan saat nyeri di punggungnya terasa.

Kemarin saat Stella selesai ujian di matkul terakhir, lagi-lagi ia dibawa ke tempat yang sepi dan dipukuli secara brutal oleh beberapa penggemar fanatik Hyunjae dengan kayu dan juga tongkat bisbol. Tulangnya hampir remuk, nyaris saja satu pukulan lago bisa membuat tulang punggungnya patah. Ternyata, Tuhan masih baik dan buktinya ia bisa bersusah payah menyembunyikan kesakitannya.

"Aww!" pekikan pelan kembali ia ucapkan.

Stella membenci situasi ini. Kenapa juga ia harus dipukul, ditendang, dan dihina hanya karena berpacaran dengan Hyunjae---dimana ia pun tidak menyangka akan menjadi kekasih model di kampusnya itu.

Selesai mengompreskan es ke lukanya tadi, Stella mengambil ponselnya dan mengecek grup overduit. Rupanya Mina sedang online, hal itu membuat Stella berpikir untuk mengatakan lukanya ini dan Mina bisa menjaga rahasianya dengan baik. Untuk itu, Stella menekan ikon telpon dan panggilan yang sudah terhubung itu pun terangkat.

"Hai, Min. Gimana liburannya? Gue udah sampai di rumah nih tadi siang. Sorry kalau gak kabarin ke grup," kata Stella dengan nada menyesal.

"Ah~ it's ok. Katanya balik sama Kak Younghoon, kan? Lumayan lah ada tebengan gratis dari sepupu sendiri yakan. Gue enjoy kok, karena udah selesai UAS duluan jadi ya jadi agak lama di rumahnya. Joochan sama Mark juga mereka katanya lagi hobi mancing di kolam tambak ikannya Om-nya Joochan,"

Stella hanya tertawa kecil, "Duh seru banget mereka liburan di rumah Joochan. Harusnya gue ikut ke sana biar bisa jahilin Mark."

"Hahaha lo bisa aja. Anak singa juga bisa marah lo."

"Min, ada sesuatu yang mau gue bilang. Ini rada curhat juga, dan tolong lo jaga rahasia ya." Nada bicara Stella berubah serius, bersamaan Mina pun dari sana ikut serius.

Mina bergumam pelan, tanda siap untuk mendengarkan segala yang akan disampaikan kawannya tersebut. Dari firasatnya, sesuatu terjadi pada Stella, dan itu bukan tanda yang baik. Suara Stella pun serak, sesuatu tertahan di tenggorokan akan mulai dikeluarkan.

"Tiga bulan ini gue dibully, Min. Lo gak salah denger dengan apa yang barusan gue bilang. Bisa ditebak, tiga bulan yang lalu apa yang sedang terjadi," kata Stella, menahan sakit di dadanya.

Mina terkejut hingga tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, mulutnya refleks ditutup saat terbuka lebar. "Stella, lo serius? Lo ... dibully? Selama tiga bulan ini dan LO GAK BILANG KE GUE ATAU MARK MAUPUN JOOCHAN?!"

Tentu saja Mina marah. Kalau Stella tidak memberitahu penderitaannya yang seharusnya bisa disampaikan, lalu pertemanan mereka dianggap apa? Mina tidak habis pikir.

"Gimana gue mau bilang, Min. Setiap malam gue selalu kompres punggung gue yang isinya luka-luka lebam doang. Kemarin juga mereka serang gue dan bikin lukanya balik lagi. Min, gue pengin akhiri hubungan gue sama Hyunjae, tapi sulit karena gue gak mau kasih tahu alasan ini. Kemarin aja gue coba minta putus tapi dia nolak," terang Stella dengan air mata yang sudah tidak bisa dia bendung.

Dan gue juga lagi berjuang sama penyakit leukemia yang sangat menyiksa ini, batin Stella meraung.

"La...," lirih Mina yang ikut bersedih.

Rasanya ia ingin memaki-maki Hyunjae, menyalahkan tindakan lelaki tersebut yang memulai penderitaan kawannya. Mina tidak terima jika Stella mendapatkan semua bullyan itu hanya karena Hyunjae memacari sang sahabat. Persetan dia model terkenal.

"Ughh, Min, punggung gue sakit lagi. Kayaknya harus balik dikompres pake es batu. Gue tutup dulu ya? Kita bahas lagi nanti---sama Joochan dan Mark sekalian biar semua adil dan tau," kata Stella lalu mematikan sambungan telponnya sebelum Mina hendak berucap sesuatu padanya.

Baskom berisikan es batu yang sudah mencair itu diambilnya dari atas meja. Lalu, Stella keluar dengan hati-hati dan berjalan menuju ke dapur. Ia pikir dapur akan sepi, ternyata ada Hyunjae yang sedang mengambil air dingin dari dalam kulkas dan duduk di kursi dekat sana. Stella mengumpat, KENAPA BISA HYUNJAE ADA DI SANA DAN DI SAAT YANG TIDAK TEPAT?! Kan bisa diintrogasi kalau gini.

Kalau balik lagi juga takutnya udah tertangkap basah mau ke dapur dan menghindar seolah Stella ada salah pada lelaki itu. Karena dilema dalam hatinya, akhirnya Stella memberanikan diri untuk berjalan ke arah dapur dengan strategi pertama berpura-pura ingin minum air dingin juga.

"Ngapain lo di sini? Maling sayur?" tuduh Stella tidak benar-benar serius.

Hyunjae menatap tajam. "Sembarangan. Mana ada maling sayur ganteng banget gini," balasnya. "Gue haus aja sih. Tengah malem enaknya minum air dingin, apalagi hari ini cuaca lagi dingin juga."

"Aneh." Stella heran.

Memang cuaca sedikit dingin, bukan kah lebih menyenangkan ada di balik selimut yang hangat di kamar? Kenapa Hyunjae justru mengenakan celana sebatas lutut dan juga meminum air dingin? Tidak masuk akal, Stella tidak mengerti jalan pikiran lelaki yang lebih tua dua tahun darinya itu.

Hyunjae sendiri bodoh amat dibilang aneh. Ia rasa tidak ada salahnya kan minum air dingin di cuaca dingin? Toh, tubuhnya sudah terbiasa dengan hal itu sejak masih kecil. Jadi, sudah kebal.

Mengabaikan pandangan Hyunjae yang masih menatap ke arahnya, Stella membuka lemari dingin dan menuangkan air dingin ke dalam gelas kosong miliknya. Ia memang hanya beralibi, namun ternyata minum air dingin di cuaca dingin rasanya menyegarkan juga. Sejenak pikiran dan rasa sakit punggungnya sudah berkurang.

"Heh, jangan bengong." Tangan Hyunjae sengaja menyenggol bahu gadis itu yang mulai melamun. "Awas nanti kesurupan. Ini udah malem." Ia menakut-nakuti, namun Stella mengabaikan ucapan Hyunjae yang sama sekali tidak membuatnya takut. "Lo lagi mikirin apa sih, La? Sampai bengong gini."

Stella menggeleng. "Bukan hal yang penting untuk dibahas juga. Not your own bussiness."

"Gak perlu dijawab juga sih. Pertanyaan gue juga bukan sesuatu yang penting bagi lo," Hyunjae mengendikan bahu. "Btw, baju belakang lo kenapa basah gitu deh? Lo habis olahraga malem? Serius?"

"Bukan lah, ini--" Harus dia jawab apa pertanyaan Hyunjae yang satu ini. "Gak sengaja nempel di dinding kamar mandi tadi. Jadi basah gitu." ALASANNYA ANEH BANGET tapi gak pa-pa deh, Stella cuman bisa kasih alasan itu aja. "Udah kan? Mendingan lo balik ke kamar aja sana. Kasihan aja Younghoon pasti lagi ngelindur."

Bener juga. Karena ucapan Stella membuat Hyunjae langsung meletakkan gelasnya dan pamit pergi ke kamar. Hyunjae lupa kalau Younghoon ini sekali ngelindur dalam keadaan tidur, omongannya lebih ngelantur daripada orang mabok.

"Okey, gue balik ke kamar dulu ya."

"Iya."

Hyunjae masih belum jauh dari tempat Stella masih berdiri. Ia menoleh dan berkata, "Lain kali kalau ada yang sakitin lo---entah fisik ataupun mental---bilang aja ke gue. Karena kehidupan gue juga gak sesempurna yang dilihat sama orang lain."

Karenanya memang tidak ada manusia yang mendapatkan kesempurnaan, termasuk Hyunjae.

Gelas yanh dicengkram Stella masih ia pegang erat-erat, wajahnya ia buang ke arah samping dengan bibir yang dia ulum kecil. Segalanya terasa lebih rumit dan bertambah rumit. Semua, termasuk takdir yang dia miliki dibuat rumit oleh Tuhan.

***

"Mama sama Papa mau ada kondangan ya. Kamu bersihin rumah dan bikin makan siang. Jangan beli! Kamu anak cewek harus bisa masak buat tamu-tamu juga. Jadi, Mama udah siapin bahannya di kulkas. Kita bakal pulang nanti sore soalnya sekalian mau jalan-jalan di kota. Dah, ya, Stella."

Ini baru pukul setengah enam pagi, pintu kamar seorang gadis yang masih kurang tidur itu dibuka dengan paksa. Terlihat Stella masih setengah sadar mendnegarkan pesan dari sang Mama yang hendak pergi ke luar kota untuk kondangan.

Baru juga dia kembali ke rumah, ternyata tidak bisa ada rasa tenang. Membersihkan rumah yang besar tersebut sendirian serta memasak agaknya bisa membuat Stella bisa kelelahan.

"Ma? Yang bener aja. Bersihin rumah segede ini. Mendingan pakai jasa Go-Clean aja," kata Stella memberikan sebuah saran yang jelas ditolak mentah-mentah oleh Mamanya.

"Gak bisa! Mama maunya kamu. Udah, jangan protesan jadi anak. Inget, gak boleh beli makanan dari luar juga. Mama mau kamu masak yang banyak buat Devan dan juga Younghoon sama temennya yang ganteng itu." Mutlak, usai mengucapkan kalimat yang menjadi sebuah perintah bagi Stella, kedua orang tuanya langsung berangkat dan meninggalkan kawasan perumahan ketika matahari belum muncul sinarnya dari timur.

Stella menghela napas. Jika sudah demikian, maka saatnya ia menyiapkan sarapan untuk dirinya dan tiga lelaki yabg tersisa di rumahnya itu. Ia bergegas menuju ke dapur dan melihat bahan makanan yang tersedia di dalam kulkas.

Matanya membulat sempurna. "Hanya ada ayam, udang, dan beberapa sayur yang tersisa? Mama bercanda suruh aku masak enak buat Devan dan tamu-tamu di sini cuman pakai bahan ini?" gumamnya yang terdengar seperti keluhan.

Semalam ia yakin melihat ada ikan salmon, daging sapi, dan juga sayuran lengkap di dalam kulkas. Kok, yang disisakan malah sedikit? Apa ia halusinasi? Apakah ia harus bertanya dengan Hyunjae yang semalam juga ada di dapur? Ide yang buruk. Dari pada mengeluhkan, Stella harus mencari resep makanan yang enak untuk dibuat makan siang nanti. Pagi ini ia akan menyiapkan roti bakar beserta selai saja---dari awalnya mau membuat nasi goreng tapi tidak jadi karena nasinya sudah habis.

Sesudah membasuh wajah supaya terlihat segar, Stella pun bersiap-siap. Ia menyalakan pemanggang roti dan meletakan dua lembar di sana. Lalu, tanganya dengan cekatan membersihkan dan membereskan dapur yang berantakan.

Baru ia sadari, ruang berkumpul di bagian tengah sangat berantakan. Pantas saja sang Mama menyuruhnya untuk membersihkan rumah. Ia terlihat seperti seorang pembantu saja jika sedang pulang karena liburan. Memang beginilah pekerjaan Stella, hanya sebagian kecil saja yang terlihat. Biasanya ia akan disuruh-suruh jauh lebih banyak.

Dua menit roti tadi sudah matang dipanggang, Stella mengambilnya dan meletakan lembaran baru roti lainnya ke pemanggang. Ia melakukannya berulang- ulang hingga jumlahnya cukup.

Sebelumnya, ia menyiapkan penampan dan meletakan roti bakar coklat tadi di atas piring dan susu coklat di sana untuk Devan. Stella berjalan ke kamar adiknya dan mengetuk pintu tiga kali sebelum akhirnya masuk ke kamar tersebut.

"Devan, sarapan dulu ya," kata Stella meletakan penampan tadi di meja samping tempat tidur.

Karena matahari sudah muncul sinarnya, Stella membuka tirai jendela kamar Devan dan sang adik langsung terbangun karena silau cahaya matahari sedikit mengusik matanya.

"Hoam ... selamat pagi, Kakak. Wah, ada sarapan di sini rupanya. Biasanya Devan makan harus di ruang makan sama Mama dan Papa," seru Devan menyambar satu lembar roti dan memakannya di atas tempat tidurnya. "Enyak... mwakwasih, Kakak." Devan belepotan mengejanya, terlihat lucu.

"Adik kakak ternyata bayi ya." Tangan kecil itu mengacak pelan rambut Devan karena gemas. "Habisin sarapannya. Nanti kakak ambil piring beserta gelas satu jam lagi ya, Devan. Setelah sarapan kamu mandi, ya?"

Devan mengangguk. Ia lebih suka jika disuruh Stella daripada disuruh oleh kedua orang tua mereka. Karena Stella lebih lembut, meskipun orang tuanya sangat menyayangi Devan, tetap saja tak ada yang bisa menggantikan kasih sayang Stella padanya. Kehangatan di rumah saat ada dan tanpa sang kakak benar-benar terasa berbeda.

Keluar dari kamar Devan, kebetulan sekali Stella berpapasan dengan Hyunjae yang menguap saat barusan menutup pintu. Rambut coklat milik cowok itu berantakan.

"Eung--- Younghoon masih tidur? Suruh dia bangun dulu ya, Jae. Kalian berdua sarapan. Makanannya udah siap di atas meja. Kalau kurang, bilang aja." Tanpa melirik lama, Stella bergegas turun ke anak tangga dan pergi ke gudang di belakang rumah.

Hyunjae tertegun dengan cara berjalan Stella yang nampak timpang. Ia tidak tega. "Lukanya ...." Bagaimapun, Hyunjae tahu segalanya tentang Stella sekarang ini. Sekecil dan setertutup apapun, cowok itu berhasil tahu mengenai rahasia cewek itu dengan berbagai cara ajaibnya.

Ponsel Hyunjae bergetar hebat. Satu pesan masuk dari seseorang yang membuatnya berdecak pelan. Kesal sekaligus kagum dengan pesan yang ditanyakan oleh orang tersebut.

Nyokap
Uang kamu masih ada kan?
Mama butuh untuk bayar hutang

***

Semakin tidak jelas 🙃
Tapi emang lagi kurang mood nulis
Huhuhu, karena sibuk juga😭
Maafin aku guys

Semoga chapter depan bisa lebih baik lagi
dalam membuat cerita dengan suasana
hidup dan lebih berasa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro