dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Begitu tahu Oliv pulang, Sigit langsung mengajak bertemu, berempat dengan Hansen dan Theo.

Mungkin mereka berempat sudah berubah, banyak hal yang terjadi dalam tiga tahun belakangan ini, namun persahabatan diantara mereka tetap sama. Minus perasaan sebelah pihak Oliv pada Theo, sih, karena Oliv sudah move on, tentu saja.

Oliv tiba paling terakhir di tempat janjian mereka, Skye, dan langsung mencari ketiga sahabatnya itu. Sigit yang paling pertama melihat Oliv langsung melambaikan tangan.

"Oliv, my girl!" sapa Sigit sambil menyodorkan kedua tangan kepada Oliv, yang disambut Oliv dengan tawa.

"Nggak berubah ya, lo. Padahal udah jadi laki orang," kata Oliv sambil masuk dalam pelukan Sigit. Sigit tertawa, dia mendekap dan menepuk punggungnya dua kali dengan sayang, lalu melepas Oliv.

"Berubah dong, udah nggak main-main gue sekarang."

"Takluk dia, sama bininya," ledek Hansen, dan Sigit menyahut, "itu namanya cinta, Boy. Ngapain main-main lagi kalau satu aja udah sempurna?"

Hansen langsung pura-pura muntah, dan mereka tertawa.

"Makin cantik aja lo, Liv," puji Sigit sambil menatap Oliv dari atas ke bawah. Oliv tertawa.

"Apanya yang berubah, coba. Mulut lo masih aja manis gitu."

"Lho, memuji ciptaan Tuhan itu wajar dong. Asal cuma diliat aja, nggak disentuh."

"Apa deh, suka-suka lo, Git."

Oliv melambaikan tangan memanggil pelayan untuk memesan minuman, dan setelah memesan, dia kembali memperhatikan sahabat-sahabatnya.

Sigit yang dulunya biang rusuh, tetap saja masih menjadi yang paling rusuh dan seenaknya di antara mereka berempat. Tapi Oliv menyadari kalau ada yang berubah. Matanya tidak jelalatan seperti dulu saat dia masih single, dan dia terlihat lebih dewasa dan sedikit - benar-benar hanya sedikit - lebih kalem.

Hansen masih seperti dulu, tidak ada perubahan berarti, hanya saja Oliv melihat Hansen yang sekarang lebih berotot dibanding dulu, dan wajahnya lebih tirus.

Theo juga, masih seperti saat terakhir Oliv melihatnya, masih tetap tampan ditambah dengan tato yang sepertinya makin banyak menghiasi tubuhnya sampai ke lengan-lengannya, hanya sekarang minus rasa berdebar-debar. Oliv tersenyum dalam hati. Gue benar-benar berhasil move on, batinnya.

Terutama saat Oliv menyadari ukiran nama siapa yang ada di pergelangan Theo dan dia sama sekali tidak merasakan apa-apa selain rasa senang karena Theo benar-benar sudah bertobat, dan bukannya rasa cemburu.

"Gimana US, Liv?"

"Awesome," jawab Oliv. "Awalnya gue terseok-seok juga, berasa kayak apa yang gue pelajari di sini nggak guna sama sekali. Tapi saat melihat wajah gue terpampang di billboard, all the pain is gone."

"Keren, keren."

"Kenal banyak model cakep di sono dong, Liv? Ada yang jomblo nggak? Kenalin buat Hansen dong, kasian dia baru aja menjomblo," celetuk Sigit. Mata Oliv membulat sempurna.

"Lo bubar sama Astrid???"

"Gila ya, mana ada baru sebulan bubaran lalu gue nyari cewek baru," jawab Hansen pelan.

Oliv masih belum percaya dengan informasi yang dia dengar. Hansen. Putus. Dengan. Pacar. Sepuluh. Tahunnya. Buset.

"Bukannya rencananya awal tahun depan kalian nikah? Kalian udah pacaran sepuluh tahun kan??"

"Thanks for reminding me about all this sh**," jawab Hansen sarkas, dan Oliv bengong.

"Ini seriusan?"

"Serius, lah, Liv. Mereka beneran bubar. Susah dipercaya kan?" kata Theo sambil menyesap minumannya.

"Pacaran lama sama sekali bukan jaminan. Mending kayak gue sama Theo aja. DP dulu, baru nikahin. Daripada Hansen, sok-sok suci trus ujung-ujungnya diselingkuhin." Setelah itu Sigit langsung nyengir kepada Theo yang menatapnya galak, karena isteri Sigit adalah sepupu kesayangan Theo. "DP, The. Kan lo udah tahu juga, ngapain sih lihat gue kayak gitu? Tar naksir lho."

"Najis!!"

Oliv semakin melongo.

Sudah menjadi rahasia umum diantara mereka, kalau sejak dulu, Sigit adalah yang paling bajingan di antara mereka semua, dengan mulut yang suka sembarangan bicara juga, lalu Theo adalah yang kedua bajingan, dengan mulut yang jauh lebih beradab. Mereka tidak keberatan dengan hubungan satu malam dengan wanita random, dulu saat belum menikah. Tapi Hansen adalah pria baik-baik yang berteman dengan para mantan bajingan.

"Astrid selingkuh?"

"Oh, my God. Kita ini kayak ibu-ibu PKK yang lagi menggosip ya. Please, jangan bahas soal gue lagi, bisa?" kata Hansen sinis, dan baik Oliv, Theo, dan Sigit hanya berpandangan dalam diam.

"Baiklah. Cerita dong ke gue apa yang terjadi tiga tahun ini?" kata Oliv akhirnya, berusaha mencairkan suasana yang telanjur tidak nyaman tadi.

"Mau cerita yang mana nih? Soal Theo yang lagi nungguin kelahiran anak kedua?"

"Udah yang kedua?? Selamat yaa, The! Kapan due-date?"

"Dalam bulan ini, sih. Thanks ya, Liv."

"Lo udah move on?" tanya Sigit tiba-tiba, dan suasana mendadak kembali canggung. Oliv yang memecah kecanggungan dengan tawanya yang renyah.

"Udahlah, gila. Udah ditinggal kawin juga, anak udah mau dua, kalo gue nggak move on, rugi dong gue."

Oliv tidak berbohong, dan mereka bertiga tampaknya tahu kalau Oliv tidak berbohong sama sekali. Sigit sontak mengacak rambut Oliv, dan Hansen merangkulnya sambil tertawa, sementara Oliv mencak-mencak. Theo hanya tertawa terbahak mendengar sumpah serapah Oliv yang sama sekali tidak girly.

Inilah yang dia rindukan selama tiga tahun jauh dari Indonesia, sahabat-sahabat gila yang walaupun sudah menapaki jalan hidup yang berbeda, namun di mata Oliv mereka tetap sahabat-sahabatnya yang tersayang.

***

Sabtu ini adalah perayaan ulang tahun pernikahan orangtua Oliv yang ke-40. Mereka berencana merayakannya di rumah, karena hanya acara keluarga saja.

Oliv, yang sejak pulang dari US tetap tinggal di rumah utama, bersama kedua orangtuanya dan keluarga abang tertuanya, Bang Hari, saat ini berada di kamar salah satu ponakannya untuk membantunya memilih pakaian yang akan dikenakan sore ini.

Rumah yang Oliv tempati saat ini adalah kediaman keluarga Barata turun temurun, dan Hari sebagai anak tertua, akan mewarisi rumah ini saat kedua orangtuanya tiada nanti. Jadi setelah lima tahun pernikahan mereka, Hari dan isterinya, Mitha, diminta kembali tinggal di rumah ini.

Oliv bungsu dari tiga bersaudara, dengan dua kakak laki-laki yang sama-sama sudah menikah. Hari dan Mitha, Leon dan Nina. Mereka bahkan sudah memberi Oliv banyak keponakan yang lucu-lucu.

Oliv tersenyum puas saat melihat keponakannya yang paling besar, yang sudah berusia sembilan tahun, putri sulung Hari dan Mitha, sudah mengenakan dress kuning dengan hiasan bunga putih, tema pakaian mereka hari ini. Oliv sendiri mengenakan dress off shoulder berwarna kuning terang, senada dengan dress yang dikenakan Maisie, keponakannya itu.

"Aunty Oliv cantik banget," kata Maisie terpesona. Oliv tertawa kecil.

"Maisie jauh lebih cantik," puji Oliv sambil menjepitkan pita kuning di rambut Maisie, lalu menggandengnya turun ke halaman belakang.

Di sana sudah berkumpul keluarga besarnya, dan Oliv sambil menggandeng Maisie, menghampiri kakak iparnya yang satu lagi, Nina, yang sedang menggendong putra bungsunya, Neal.

"Aunty Liv," panggil Neal dengan suaranya yang imut, dan Oliv langsung mencium pipi gembul keponakannya itu.

"Aduh, cute banget sih, kamu. Kalau nggak inget kamu ponakannya Aunty, udah Aunty ajak nikah, kamu."

"Hush, ngaco," tegur Nina sambil tertawa.

Maisie menyapa Nina, lalu melepaskan diri dari Oliv untuk mencari sepupunya yang lain.

"Liv, aku belum bilang sorry sama kamu-" kata Nina, dan Oliv menggeleng, memotong perkataan kakak iparnya. Nina mungkin punya andil karena menasihatinya untuk tidak mendekati Theo, tapi justru membiarkan Florencia, yang sekarang menjadi istri Theo, berhubungan dengan Theo. Tapi Oliv sadar, kalau bukan Nina yang mengatur perasaan Theo. Kalau Theo tidak menyukainya, dan malah menyukai sahabatnya Nina, itu bukan salahnya. Saat itu, Oliv mungkin marah dengan Nina, tapi sekarang, saat dia sudah berpikir lebih jernih dan juga dengan hati yang lapang, dia sadar, ini bukan salah Nina. Bukan juga salah orang lain.

"Udah lewat, Kak. Aku udah move on, dan saat ini, kalau aku flashback, aku tahu kak Nina nggak salah apa-apa. Aku yang salah milih pria."

"Kamu nggak salah, Liv. Cinta nggak pernah salah. Tapi nggak bisa dipaksa juga."

"Aku tau," jawab Oliv sambil tersenyum. "Aku udah baik-baik aja. Dia sudah menikah, punya anak, dan hidupku juga harus lanjut terus." Nina mengangguk.

"Tapi Mami dan Papi sepertinya nggak menganggap kamu udah move on," kata Nina lagi, dan Oliv tersenyum getir.

"Emang. Di saat aku perlu mereka supaya percaya sama aku, mereka malah begitu. Khawatir berlebihan. Padahal aku kan baru dua-lapan lho. Tar juga ketemu jodohnya, trus nikah. Happy ending deh." Nina tertawa mendengar perkataan Oliv.

"Asal jangan dibawa stres aja, Liv. Kamu tahu pendapat orang tentang masalah ini. Jangan sampai otakmu kemasukan pendapat comberan mereka deh." Oliv tertawa mendengar pilihan kata kakak iparnya, yang membuat anak dalam pelukannya menatap ibunya dengan bingung.

"Combeyan apa, Myihh?"

"Mateng gue," umpat Nina pelan, dan Oliv kembali tertawa.

"Good luck, deh, Kak. Kak Nina bener-bener harus belajar berhenti bicara sembarangan deh," ledek Oliv, dan Nina memaki tanpa suara ke arahnya, sebelum Oliv meninggalkan Nina sambil tertawa, apalagi saat melihat Leon, kakak laki-lakinya yang adalah suami Nina, menghampiri istrinya.

Oliv selalu menyukai kakak iparnya yang ini, yang cantik dan independent, cenderung kasar dan menusuk kalau bicara, namun sangat baik dan sayang pada keluarga. Melihat interaksi mesra kakak iparnya dan kakak laki-lakinya saat ini, saat Leon mengambil alih Neal dari pelukan Nina dan mengecup dahi Nina dengan mesra, selalu mampu membuat Oliv iri setengah mati.

Entah kapan dia akan menemukan pria yang menatapnya penuh cinta seperti cara Leon menatap Nina.

***

Acara berjalan dengan baik, dan Oliv senang karena sudah lama dia tidak berkumpul beramai-ramai dengan sepupu-sepupunya yang asyik, dan bertemu dengan keponakan-keponakan baru yang lucu menjadi kesenangan tersendiri untuknya.

Oliv menggendong bayi laki-laki, putra dari sepupunya Kinan yang baru berusia empat bulan, sambil mengobrol dengan sepupunya itu.

"Astaga, kenapa dia super cute sih?" kata Oliv gemas, sambil mengajak si bayi mengobrol. Kinan tertawa sambil meregangkan tubuhnya yang pegal setelah seharian menggendong bayinya. Untung saja Oliv datang dan dengan sukacita menggantikannya sebentar.

"Kalau suka, bikin lah buat lo sendiri satu, Liv," goda Kinan, dan Oliv tertawa.

"Belom punya laki gue. Kalau punya baby dulu, bisa stroke si bokap," kata Oliv, dan Kinan tertawa.

"Tiga tahun di US nggak dapet pacar? Yakin?"

"Yakin lah. Lo tahu gue nggak suka yang modelnya bule-bule gitu," kata Oliv, yang bohong besar. Theo blasteran dengan perawakan yang sangat brunette, dan toh Oliv pernah menyukainya.

Kinan menggeleng tidak percaya.

"Main-main juga nggak?"

"Ugh, no. Eum, ya dating-dating sih ada, lah. Tapi ya gitu. Cuma dating-dating." Kinan terkekeh.

"Nggak ada yang lo bawa pulang ke apartment kan?" bisik Kinan menggoda Oliv, dan Oliv menjerit jijik.

"Yuck! No!" Kinan kembali tertawa. Mereka mengobrol dengan seru, sampai salah satu sepupu mereka, Sisca, mendekati mereka. Oliv meringis, tidak terlalu menyukai sepupunya yang ini. Bukan hanya mulutnya yang ember dan sangat suka pamer, kejadian masa lalunya dengan Nina juga membuat Oliv semakin kehilangan hormat pada sepupu yang lebih tua lima tahun darinya itu.

"Hai, Oliv. Wah, udah pulang ternyata dari US," sapa Sisca dengan senyum lebarnya. Dia bahkan tidak repot-repot menyapa Kinan, yang dianggapnya tidak selevel karena Kinan tidak sekaya dirinya.

"Iya, Kak Sisca. Apa kabar?"

"Baik. Mana pacarnya? Kok nggak dibawa?" tanya Sisca dengan kepala sengaja menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari.

"Nggak ada, Kak. Belum punya."

"Oh?" Sisca memasang wajah terkejut, dan mengerjabkan matanya yang kelewat lentik, akibat bulu mata extension. "Padahal kamu cantik begini? Kok belum punya pacar? Kamu udah mau dua-lapan, kan? Nanti keburu tua lho. Keburu expired kalau nggak dipake kandungannya. Atau, jangan-jangan kamu lebih milih ganti-ganti pasangan? Pinter juga kamu ya, jadi semua model cowok bisa kamu coba, baru deh pilih yang paling pas."

Brengsek.

Oliv sengaja tertawa geli, untuk merespon Sisca.

"Wah, Kak Sisca. Jangan samain aku sama Kak Sisca dong. Aku nggak mau sembarangan, apalagi tidur bareng cowokku sebelum nikah. Takut kualat, kayak kak Sisca. By the way, Bang Ferdy mana? Kok nggak keliatan?"

Sisca terdiam, dan Oliv tahu dia menendang tepat di bagian luka. Sudah jadi rahasia umum keluarga, kalau suami Sisca selama empat tahun belakangan memiliki wanita simpanan, tapi Sisca selalu berusaha menampakkan kalau keluarganya baik-baik saja. Bahkan kabarnya, Ferdy sudah memiliki anak dari simpanannya itu.

Kualat sih, batin Oliv. Dulu Sisca merebut Ferdy yang saat itu pacarnya Nina, dan hamil. Tapi Oliv merasa hal itu menguntungkannya. Kalau tidak, belum tentu sekarang Nina jadi kakak iparnya kan?

"Di-dia sedang tugas keluar kota," kata Sisca agak terbata, masih berusaha menampakkan ekspresi angkuhnya. Oliv muak.

Kinan buru-buru mengambil alih putranya yang masih di gendongan Oliv saat Oliv bergerak mendekati Sisca.

"Oh, ya? I will tell you one thing, cousin. I'll rather be expired than being cheated a thousand times and live a bulls*** marriage, like yours. So, please shut up, and mind your own bussiness."

Sisca, dengan wajah merah padam dan perasaan terluka, meninggalkan mereka sambil menghentakkan kakinya. Oliv tidak mau memedulikan Sisca, dan berbalik untuk kembali menggendong keponakannya.

"Mulut lo ya, nggak berubah dari dulu. Pedes," kata Kinan sambil menyerahkan putranya kembali ke pelukan Oliv.

"Gue kan cuma ngomong apa adanya. Dari dulu kan lo tau, gue paling males sama orang yang sok-sok ngomong baik-baik di luar, tapi pikirannya busuk."

Mungkin itu juga yang dulu membuatnya membenci Florencia. Awalnya dia pikir Flo tidak tertarik dengan Theo, tapi ternyata mereka pacaran di belakangnya dan tiba-tiba saja berita lamaran Theo menggemparkan dunia infotainment, tiga tahun silam.

Dia merasa dikhianati, baik oleh Flo yang dianggapnya seperti kakak sendiri, dan oleh Theo yang merupakan sahabatnya, yang memperlakukannya istimewa karena tidak pernah menyentuh Oliv, sementara hampir semua sahabat model Oliv pernah diajak one night stand oleh Theo.

Dia bahkan sempat marah dengan sahabat satu-satunya, Masayu, yang juga adalah sepupu Theo, karena tampak mendukung Oliv mendekati Theo tapi menutupi fakta kalau Theo mendekati Flo di belakangnya.

Padahal kalau dipikir-pikir lagi, ya salah sendiri kegeeran, batin Oliv. Dasar perempuan lemah. Dibaikin dikit aja baper.

Tbc

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro