satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Malam ini malam jumat. Tidak ada yang istimewa dengan malam ini selain bahwa Hansen dan Astrid sama-sama memiliki waktu luang dan menghabiskannya berdua di rumah Astrid. Mereka berdua duduk sambil berangkulan di sofa, lebih tepatnya Hansen yang merangkul Astrid, sementara Astrid sibuk melihat-lihat foto gaun pengantin di layar tabletnya. Tangannya yang lentik dan berhias cincin sibuk menggeser layar, dan sesekali mengusap jemari Hansen.

"Yang ini bagus?"

"Hmm..."

Hansen tidak memperhatikan, menurutnya foto yang ditunjukkan Astrid semuanya sama saja. Hansen tidak peduli tetek bengek seperti ini, tapi untuk menyenangkan Astrid, dia berusaha terlihat tertarik.

"Seriusan, Hans. Bagus nggak?"

"Kamu mau pakai apapun bagus."

"Ah, kamu mah, serius dikit deh. Kita kan mau nikah awal tahun depan. Aku udah harus nyari-nyari dong, buat nikahan kita. Enam bulan lagi lho," gerutu Astrid.

"Iya, iya. Gitu aja ngambek, Sayang," kata Hansen, mengeratkan pelukannya, namun Astrid justru menjauh. Dia mengangkat kedua tangannya lalu menguncir rambutnya ke atas kepalanya, memperlihatkan leher dan tengkuknya sambil terus menggerutu, "Panas banget deh."

Lalu Hansen tertegun.

Ada memar kemerahan di ceruk leher dan tengkuk Astrid, yang dari tadi tertutupi rambutnya yang panjang.

Hansen mungkin masih perjaka, tapi dia tidak bodoh. Berteman dengan dua bajingan dan dua mantan bajingan yang selalu punya agenda khusus untuk meracuni otak Hansen membuatnya tahu persis tanda apa itu.

"Kamu nggak merasa panas? Aku turunin suhu AC deh- Hans?" Astrid menoleh karena tidak mendapat tanggapan, lalu menatap Hansen kebingungan. "Kamu kenapa? Kok muka kamu tiba-tiba nggak nyantai gitu-"

"Kapan terakhir kamu have sex?"

Mata Astrid membola, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya yang ranum.

"Maksud kamu apa? Kamu jangan nanya gitu mentang-mentang kamu tahu aku udah nggak perawan pas kita pacaran-"

"Aku ganti pertanyaan aku kalau gitu. Apa selama sepuluh tahun ini, kamu pernah have sex?"

Astrid langsung berdiri dan menatap Hansen dengan kesal, sementara Hansen balik menatapnya tajam.

"Apa-apaan, Hans?? Kamu kan tahu selama aku pacaran sama kamu, aku nggak pernah cheating-"

"Lalu tanda apa yang ada di belakang leher kamu?"

Astrid terdiam, tampak terkejut, dan secara otomatis menyentuh tengkuknya.

Melihat reaksi dan wajah Astrid yang memucat, Hansen setengah mati bertahan untuk tetap tenang, walaupun dadanya sesak karena sakit. Dia tahu, tebakannya tepat.

"Aku- belakangan ini emang banyak nyamuk. Mungkin aku digigit-"

"Siapa pria itu?" tanya Hansen tenang, saking tenangnya membuat Astrid mengerut takut, karena di balik ketenangannya itu, dia tahu Hansen murka.

Hansen adalah pria yang baik, dan selalu pintar mengendalikan diri.

Bahkan selama sepuluh tahun mereka pacaran, Hansen tidak pernah melakukan lebih dari sekedar mencium bibir Astrid dan sedikit pelukan intim, padahal sejak awal Astrid memberitahunya kalau dia sudah tidak perawan. Hansen tetap bersikeras menahan diri, walaupun tak jarang Astrid menggodanya.

"Itu-"

"Bos kamu?"

"Aku-"

"Atau teman kerja kamu yang suka nganterin kamu pulang itu?"

"Bukan-"

"Atau keduanya?"

Bukan tanpa alasan Hansen menebak mereka. Sedari awal, dia tahu Astrid dilirik banyak pria di kantornya, mulai dari kepala departemen sampai office boy. Bahkan tak jarang kliennya pun terpikat pada Astrid.

Namun setiap kali Hansen mengingatkan Astrid supaya menjaga jarak, Astrid justru akan merajuk dan mengatakan kalau Hansen tidak percaya kalau dia bisa menjaga diri. Jadi Hansen berusaha percaya.

Tapi terbukti, kepercayaan Hansen ternyata disalahgunakan.

Astrid jatuh berlutut, dan mulai menangis.

"Aku- cuma main-main..."

"Kapan aku pernah menganggap selingkuh itu main-main?"

"Kamu sendiri- sering mencium perempuan lain-"

"Itu tuntutan skenario, dan kamu sudah mengizinkan."

"Tapi aku cemburu!!"

"Lalu kamu membalasku dengan cara tidur dengan pria lain? Begitu?"

"Karena kamu nggak pernah mau kalau aku ajak!"

"Itu karena aku mau menjaga kamu sampai kita menikah!!"

"Apa lagi yang musti dijaga!! Aku udah nggak perawan, kamu tahu itu. Aku pingin melakukannya, kamu juga udah tahu itu. Tapi kamu malah seenaknya mesra-mesraan sama perempuan lain di layar kaca!"

Hansen menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Wajahnya menatap wajah di depannya, wajah wanita yang dicintainya, namun saat ini, tidak dikenalinya lagi.

Di mana Astrid yang manja, yang suka merajuk, lembut, dan manis itu?

Saat ini Astrid menatapnya nyalang, menantangnya untuk membalas kata-katanya, walaupun dengan wajah penuh air mata.

"Satu kesalahan di masa lalu kamu nggak pernah membuat aku menganggap kamu nggak berharga dan nggak perlu dijaga, Astrid. Tapi apa yang kamu lakukan kali ini, aku nggak bisa tolerir."

Hansen bangkit berdiri, meraih dompet, ponsel, dan kunci mobilnya dari atas meja, lalu menatap wajah wanita yang dia cintai untuk terakhir kali.

"Kita putus ya."

Mata Astrid langsung membelalak kaget.

"Pu-putus??? Kamu minta putus dari aku??? Nggak!! Aku cinta sama kamu!! Kamu juga cinta sama aku kan?? Kita akan menikah tahun depan kan??"

"Aku memang cinta sama kamu. Tapi sekarang aku sadar, cinta aku nggak pernah cukup buat kamu."

Dan Hansen tersenyum tipis, menyiratkan sedih dan sakit hati yang dia rasakan.

"Maafkan aku, nggak bisa jadi pria yang kamu mau."

Lalu Astrid menghambur memeluknya erat.

"Nggak!! Aku nggak mau putus!! Maafin aku, Hans! Jangan pergi!!"

Hansen dengan perlahan melepaskan pelukan Astrid dan menatapnya lembut.

"Kamu tahu apa pandangan aku tentang perselingkuhan. Walaupun kamu bilang cuma main-main, tetap saja bagiku itu selingkuh."

Hansen menjauhkan dirinya, dan memandang Astrid sekali lagi.

"Aku bakal beritahu keluargaku tentang ini, dan kuharap kamu beritahu keluargamu juga."

Hansen melirik jemari Astrid yang berhias cincin, cincin pemberiannya saat melamar Astrid bulan lalu, dan senyum pedih menghias wajahnya. Astrid melihat arah pandang Hansen, dan langsung mendekap tangannya, takut jika Hansen meminta kembali cincin itu. Satu-satunya barang yang mengikat mereka berdua sekarang.

"You can keep the ring. Mau kamu jual, atau buang, terserah. Aku pergi dulu."

Lalu Hansen berbalik, dan sepedih apapun suara Astrid yang memanggilnya kembali, Hansen tidak menoleh. Tekadnya sudah bulat.

Sepuluh tahun dia berusaha setia pada Astrid, pacarnya yang sudah bersamanya sejak bangku SMA.

Tidak mudah bagi seorang Hansen Putra, penyanyi pop Ballad terkenal dan juga aktor di Indonesia ini, untuk mempertahankan kesetiaannya di dunia hiburan tanah air. Dunianya diisi dengan dunia gemerlap, gadis-gadis cantik, dan teman-teman brengsek. Suatu pencapaian besar jika di usianya yang ke dua puluh delapan ini dia masih perjaka. Tapi begitulah kenyataannya.

Malah dia dikhianati.

Hansen tahu dia memaafkan Astrid. Dia tidak bisa menyalahkan Astrid yang tidak puas dengannya. Tapi selingkuh tetaplah selingkuh. Hansen tidak bisa tetap melanjutkan hubungan ini tanpa dibayangi ketakutan bahwa Astrid akan kembali mencari kepuasan di luaran sana, dengan pria lain.

Namun, tidak bisa dipungkiri, dia masih sangat mencintai Astrid.

Hansen masuk ke dalam mobilnya, sekali lagi menatap rumah Astrid untuk terakhir kalinya, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumahnya sendiri. Dia perlu samsak tinjunya. Mudah-mudahan dia tidak perlu membeli samsak baru nantinya.

***

Olivia turun dari pesawat udara dengan langkah yakin. Tiga tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, dan dia sungguh berharap tidak ada yang memandangnya dengan penuh rasa kasihan lagi. Oke, dia memang menyukai Theo. Tapi demi Tuhan, pria itu sudah menikah sekarang. Dan Oliv sudah berusaha untuk move on selama tiga tahun ini, dan Oliv yakin dia berhasil. Toh selama ini Theo juga sebenarnya tidak pernah memberi harapan aneh-aneh padanya.

Oliv memiliki satu prinsip dalam hidupnya. Jadi perebut pacar orang itu tidak masalah, yang penting janur kuning belum melengkung. Dia tidak keberatan dicap sebagai perebut pacar orang, tapi Oliv tidak sudi disebut sebagai perusak rumah tangga orang. Kepercayaan yang dianut olehnya mengajarkan bahwa perceraian itu haram, jadi Oliv tidak berani main-main dengan suami orang.

Jadi begitu Theo berdiri di depan altar bersama isterinya, Oliv membuang jauh-jauh perasaannya pada Theo. Tapi masalahnya, sebelum itu, Oliv sudah melakukan begitu banyak kebodohan yang membuat orangtuanya pusing, dan akhirnya dia melarikan diri dengan dalih pekerjaan ke luar negeri.

Sekarang dia adalah Olivia Barata, salah satu brand ambassador MAC cosmetics, dan model internasional.

Mungkin dia pergi dengan perasaan kalah, tapi dia pulang dengan keberhasilan.

Oliv melangkah dengan yakin, belum mengetahui kalau dalam waktu tiga hari ke depan, dia akan mulai meragukan pilihannya untuk pulang setelah tiga tahun berada di luar negeri. Stigma orang Indonesia tentang perempuan lajang di usia yang sudah pantas menikah akan mengganggunya. Tak peduli setinggi apa karir yang dia capai, orang hanya bertanya, "Pacarnya mana?" "Belum move on ya, dari yang lama?", "Kapan nikah?", dsb dst dll.

Bah.

Tbc

Another mainstream idea, diceritakan dengan cara Saya 🤣 Semoga suka ya

Mungkin bakal jadi yang paling ringan diantara semua- eh, nggak tau juga deh. Lihat aja tar, saya kesambet konflik ribet nggak.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Publish 12ag'19

Republish 21nov'21

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro