dua puluh delapan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haiiiii...

Sebelum ngomelin aku, gimana kalau aku ajak kalian nemenin dua manusia ini pacaran dulu?

Yukkkkk~~~

----------------------------------

Oliv masuk ke dalam BMW dengan plat kebanggaan Hansen, B 444 HPW.

"Hai," sapa Oliv sambil duduk dan langsung memasang sabuk pengaman.

Hari ini kencan pertama mereka. Hansen menjemputnya tepat pukul sepuluh pagi, sesuai janji.

Tapi Oliv sudah bangun sejak pukul empat pagi.

Walaupun dia sering keluar berdua dengan Hansen, Hansen juga sudah berpesan untuknya supaya berpakaian santai saja, nyatanya dia cukup grogi.

Setelah berjuang setengah jam dan tidak bisa kembali tidur, akhirnya Oliv menyerah. Dia lari di treadmill selama setengah jam, lalu mulai bersiap-siap.

Oliv selalu keluar dengan persiapan. Tidak ada yang namanya keluar rumah barefaced atau berpenampilan asal-asalan.

Tapi kali ini, persiapannya jelas ekstra. Waktu mandinya saja menghabiskan waktu satu jam.

"Hai, Liv," sapa Hansen, yang tiba-tiba menyentuh tangan Oliv yang masih memegang seatbelt, membuat Oliv sontak menoleh, dan menemukan wajah Hansen sangat dekat dengannya.

Satu kecupan ringan mendarat di pipinya, dan wangi Hansen menerpa indra penciumannya, membuatnya terkejut.

Hansen jarang menggunakan parfum. Menurutnya, sabun sudah cukup. Tidak pakai deodoran, apalagi parfum. Buatnya, anak cowok ya biasanya begitu. Hanya wangi sabun.

Dan sialannya - ini yang paling disukai sekaligus membuat Oliv iri bukan main - Hansen tidak bisa bau badan.

Bahkan waktu dia puber, tidak ada bau asam yang menyengat. Hanya bau apek keringat dan bau matahari, karena dia suka olahraga dan naik motor.

"Kamu pakai parfum," ucap Oliv tanpa sadar, dan Hansen tersenyum.

"Kamu suka?"

Oliv mengangguk pelan. Senyumnya terbit.

"Tumben."

"Kan kencan."

Senyum Oliv kian mengembang. Ternyata tidak hanya dia yang effort ke kencan pertama ini. Hansen juga.

"Kamu tahu aja, wangi yang aku suka."

Hansen tertawa pelan, lalu mengenakan kembali sabuk pengamannya sambil bertanya, "siap buat kencan hari ini?"

Oliv menyentuh perutnya yang rata, dan menjawab, "siap. Aku bisa makan apapun yang kamu sodorin hari ini. Setelah makan semangka semingguan, I'm basically starving."

"Kasihan," ucap Hansen sambil mengusap telapak tangan Oliv. "Tenang, aku akan bawa kamu perbaikan gizi hari ini. Kita bakal makan sushi."

"Dessert?"

"Tentu saja. Selalu ada dessert buat pencinta manis kayak kamu."

Oliv tersenyum senang, wajahnya kian merona saat menyadari tangan Hansen yang menyentuhnya tidak menjauh, justru menggenggamnya erat.

***

Yang mengejutkan Oliv, Hansen membawanya pulang ke rumah pria itu.

Dia langsung menyuarakan keterkejutannya begitu mobil Hansen masuk ke pekarangan.

"Kita makan di rumah kamu?"

"Iya. Kamu nggak keberatan kan?"

"Nggak, sih. Aku hanya kaget. Kupikir kita bakal makan di luar."

"Iya. Next time ya. Nggak apa kan?"

Jantung Oliv nyaris berhenti saat Hansen mengangkat tangan Oliv dan mencium telapaknya.

"It's our first date, Liv. Aku nggak mau kencan pertama kita dilihat orang lain. I don't wanna share you, especially when you look like this."

Hansen menurunkan tangan Oliv, namun menggenggamnya erat, dan meletakkannya di atas paha Hansen.

Mobil Hansen sudah terparkir rapi dalam garasi, namun Hansen belum mematikan mesin mobilnya.

"Aku nggak mau kita secepat itu ketahuan publik. Aku mau menikmati sedikit lagi waktu privat denganmu, tanpa diketahui media."

"Iya sih," gumam Oliv setuju, walaupun jantungnya berdebar tidak karuan. "Kalau kita sudah ketahuan publik, aku mungkin nggak bisa ke rumah kamu lagi dengan leluasa. Kamu juga pasti susah ke rumah aku lagi, tanpa jadi rumor."

Lalu Oliv memukul Hansen, baru sadar akan sesuatu.

"Terus sekarang kita naik mobil kebanggaan kamu, ke rumah kamu?"

"Memang kenapa? Kamu takut kelihatan bareng aku ke rumah aku? Astaga Liv, selama ini kamu nyetir ke rumah aku sendirian, kamu nggak pernah khawatir."

"Ya kan itu aku belum pacaran sama kamu. Beda dong."

"Selama publik belum tahu kita pacaran, nggak masalah, Liv. Di rumah aku juga nggak sendiri. Kan ada Bibik."

Oliv masih ingin membantah, namun Hansen menahannya.

"Udah, ya. Jangan dipikirkan sekarang. Ini kencan pertama kita. Fokus sama kita aja ya, Liv. Nanti kita pikirkan solusinya. Oke?"

Oliv menggigit bibirnya, menahan diri.

Ucapan Hansen ada benarnya. Untuk apa memusingkannya sekarang. Ini baru kencan pertama mereka. Ada hari lain untuk memikirkan masalah ini.

"Oke ... "

"Good girl," puji Hansen, sambil tersenyum, jemarinya mengusap jemari Oliv dalam genggamannya, mengecup punggung tangannya sebelum melepaskan tangan Oliv.

"Yuk turun. Kamu udah lapar kan? Ayo kita makan."

***

Lagi-lagi Oliv terkejut.

Meja makan di rumah Hansen sudah disulap menjadi meja makan ala restoran Jepang.

Meja sudah dipenuhi berbagai jenis sushi favorit Oliv yang ditata apik mengelilingi pot kecil berisi karangan bunga.

"Wow, kamu niat banget," puji Oliv, mengagumi tak hanya makanannya yang bervariasi, namun juga dihias dan ditata dengan cantik.

"Bibik sih, yang niat. Aku cuma request, Bibik yang atur. Eh, bentar salmon teriyaki-nya belum keluar," ucap Hansen sembari menuju dapur, meninggalkan Oliv.

Oliv memilih duduk di salah satu kursi. Dia sempat membuka kamera depan ponselnya dan mengecek wajahnya.

Eyeliner, on point. Mascara, check. Eye shadow, still good. Lipstick, masih ada. Rambut, masih rapi. Perfect.

Tiba-tiba sosok Hansen muncul di belakangnya, membuat Oliv otomatis menoleh kaget.

Hansen meletakkan sepiring salmon teriyaki ke atas meja. Dia sengaja melewati samping Oliv, membuat jantung Oliv berdebar kencang.

"Kamu bikin kaget aja, lho."

Hansen tertawa pelan. Dia tidak beranjak dari posisinya dan sengaja mendekatkan kepalanya ke kepala Oliv, menghadap kamera ponsel.

"Ayo foto," ajaknya, membuat Oliv terkejut.

Wajahnya otomatis merona, dan tubuhnya reflek menjauh. Tapi tangan Hansen melingkari bahunya, membuat Oliv tidak bisa bergerak.

"Foto?" ulang Oliv, masih terkejut.

"Iya, foto. Ayo, selfie."

Hansen sudah menampilkan senyumnya menghadap layar, dan Oliv menyerah. Dia ikut tersenyum.

Setelah beberapa kali jepretan, Hansen melepas Oliv dan duduk di hadapannya.

"Kirim, ya. Pilih yang paling kamu suka, mau aku jadiin wallpaper hp."

"Hah? Apa?" tanya Oliv, terlalu terkejut untuk memproses perkataan Hansen.

"Apanya yang apa? Foto, Liv. Kirim ke aku."

"Kamu mau jadiin wallpaper hp?" tanya Oliv, mengulang ucapan Hansen.

Hansen mengangguk, tangannya sibuk menyiapkan peralatan makan untuknya dan untuk Oliv.

"Kenapa?" tanya Oliv, masih terlalu terkejut.

Hansen mau pakai foto selfie mereka jadi wallpaper hp?

"Kenapa apanya?" tanya Hansen tidak mengerti, namun sedetik berikutnya dia menggumamkan 'oh' panjang.

"Ya udah, sini tangan kamu," kata Hansen sambil mengulurkan tangannya.

Oliv kebingungan, namun dia tetap melakukannya.

Oliv mengulurkan tangannya, dan Hansen menggenggamnya erat. Lalu tangan Hansen yang lain mengambil ponselnya sendiri, dan memotret tangannya dan Oliv.

"Kamu ngapain?" tanya Oliv, tentu saja tidak mengerti apa yang Hansen lakukan.

"Foto wallpaper baru," jawab Hansen santai, lalu melepaskan tangan Oliv.

"Ayo makan," ajaknya, tanpa memedulikan Oliv yang masih tercengang atas kelakuan Hansen.

Astaga, gue nggak bisa terbiasa dengan ini. Hansen beda banget, batin Oliv, masih tidak percaya.

Gila, jantung gue nggak bakalan kuat kalau gini terus. Gue di-friendzone aja baper akut, apalagi begini.

Mati gue.

***

"Bulan depan aku mau nonton konser," info Oliv saat mereka sedang mengudap dessert, matcha mochi dengan vanilla ice cream.

Mereka sudah pindah dari ruang makan ke ruang keluarga, sementara meja makan dibereskan oleh Bibik.

Saat ini mereka duduk di sofa bersebelahan, namun Hansen mengambil posisi miring menghadap Oliv. Satu tangannya membantu Oliv memegang piring berisi mochi, sementara tangannya yang lain memainkan rambut Oliv.

"Konser siapa?"

Oliv menyendok dan menyodorkannya pada Hansen, sebelum menjawab, "BirdPlane. Aku dihubungi promotornya, katanya Junee request special invitation buat aku."

"Oh, Junee yang photoshoot bareng kamu waktu itu?" tanya Hansen sebelum membuka mulut, membiarkan Oliv menyuapinya.

"Iya. dia kirim dua tiket. Satunya buat kamu."

"Aku?"

Oliv mengangguk.

"Kamu mau nonton? Kalau nggak, aku mau ajak Ayu aja."

"Oh, mau dong. Kapan lagi nonton konser bareng kamu?"

Oliv mengangkat alisnya.

"Serius? Kamu tahu lagu-lagunya BirdPlane?"

Hansen menggeleng.

"Kamu tahu anggota BirdPlane?"

"Selain Junee? Nggak."

"Ngapain kamu ikut nonton kalau kamu nggak tahu apa-apa?"

"Kan masih sebulan. Keburu kali ya, buat belajar."

Oliv tertawa.

"Kamu kira ulangan?"

Hansen ikut tertawa.

***

Ternyata Hansen serius.

Begitu makanan pencuci mulut mereka habis, Hansen berdiri dan mulai menyalakan televisi.

Lalu dia menyodorkan remote kepada Oliv.

"Cari lagunya BirdPlane, dong."

"Hah? Kamu serius?"

"Iya, dong. Aku beneran mau ikut kamu nonton. Mana seru nonton konser kalau nggak tahu lagunya?"

"Iya sih. Aku juga berencana belajar fan-chant, biar bisa ikut seru-seruan."

"Oh, ada fan-chant ya. Seru juga. Kamu tahu anggotanya selain Junee?"

"Tahu. Aku kenal Lila. Dia Global Brand Ambassador make up yang pas aku masih model di US. Sisanya aku belum pernah ketemu. Tapi aku udah cari tahu. Bentar, aku paling suka lagu ini," ucap Oliv, lalu memutarkan salah satu lagu BirdPlane.

Lagu BirdPlane berkumandang, dan Oliv berdiri. Dia otomatis mencari mic di rak bawah televisi, tahu Hansen punya perangkat karaoke di rumahnya.

Ini adalah salah satu lagu favoritnya. Dia bahkan ikutan dance challenge lagu ini waktu pemotretan tempo hari, yang diunggah oleh Nando.

Dengan semangat Oliv lipsync sambil menari penuh semangat. Dia sama sekali tidak sadar kalau Hansen terdiam menatapnya.

Hansen terdiam, matanya tidak beranjak dari sosok Oliv yang masih asik pura-pura bernyanyi sambil bergoyang mengikuti gerakan di televisi.

Ini bukan pemandangan yang asing untuknya. Sejak dulu Oliv suka karaoke - walaupun suaranya sumbang - dan dia sering melakukan ini di rumah Hansen. Biasanya Oliv melakukan ini dengan Sigit, yang bisa mengimbangi kehebohan Oliv.

Tanpa sadar Hansen tersenyum.

Dia selalu menyukai ini. Oliv selalu bisa membuatnya merasa nyaman dan terhibur. Sepanjang masa pertemanan mereka, Hansen tidak pernah merasa bosan sedikitpun dengan kelakuan Oliv.

Kenapa dia tidak pernah menyadari itu sebelumnya?

Lo emang bodoh, Hans. Untung sekarang sudah sadar.

Oliv menyelesaikan lagunya dengan berpose, dan baru menyadari Hansen dari tadi memperhatikannya.

Barulah rasa malu menghinggapinya.

Bisa-bisanya lo lupa sekarang lo udah pacaran sama dia lho, omel batin Oliv.

Ya, tapi dari dulu gue kan kelakuannya begini, batin Oliv berusaha membela diri sendiri.

Tapi kenapa dia liatin gue terus?!

Membiarkan aplikasi di televisi secara otomatis memutar lagu lain dari BirdPlane, Oliv kembali duduk di sofa.

Dia sengaja sedikit jauh dari Hansen, canggung.

Tapi Hansen justru menggeser posisi duduknya mendekati Oliv.

"Lho, udahan?"

"Capek."

"Gitu doang capek? Biasanya sepuluh lagu kuat," ledek Hansen. Berkebalikan dengan mulutnya, tangannya meraih botol air mineral di atas meja. Dia membukanya, lalu menyodorkan kepada Oliv yang langsung mengambil dan meneguk isinya.

"Berisik."

Hansen tergelak. Dia mengambil botol air yang isinya tersisa sedikit, menghabiskannya sebelum kembali menaruh botol di meja.

"Panas?" tanya Hansen, sebelah tangannya ditaruh di senderan sofa di belakang Oliv, tangannya yang lain menyentuh tangan Oliv dan menggenggamnya.

"Nggak... Aku ganti lagunya dulu- " Oliv hendak beranjak, namun tangan Hansen menahannya.

"Nggak usah, lagu yang ini enak kok. Kita dengerin playlist-nya aja."

Oliv menggumam mengiyakan. Matanya tidak lepas dari tangannya yang sedang digenggam Hansen.

"Wow, aku nggak nyangka kamu genit banget. Hobi pegang-pegang," ledek Oliv, namun wajahnya merona. Dia membiarkan Hansen mengusap pelan jarinya, mengirimkan getar ke seluruh tubuhnya.

Norak banget, Liv. Lo udah pernah ciuman sama dia, tapi sentuhan tangan aja bikin lo deg-degan? Ck ck ck.

Berisik.

"Nggak apa, lah. Kan sama kamu."

"Kamu love language-nya apaan emangnya? Physical touch?" tanya Oliv, dan Hansen terdiam sebentar, tampak berpikir. Tapi tangannya tidak melepas Oliv, terus saja mengusap jari Oliv sementara dahinya berkerut.

"Nggak tahu sih, aku belum pernah tes. Memangnya ada apa saja?"

Lalu percakapan mereka didominasi Oliv, yang menjelaskan lima bahasa cinta yang ada. Oliv berusaha menjelaskan sebisanya, tapi dia perlu bantuan ponselnya untuk mencari contoh. Oliv mengambil ponselnya dari meja, berusaha mengetik namun kesulitan. Dia berusaha menarik tangannya dari Hansen, namun Hansen tidak melepaskannya.

"Hans, aku mau google dulu."

"Satu tangan aja. Ngapain pakai dua tangan?"

"Susah."

"Ya udah sini aku yang ketik. Mau cari apa?"

Tangan Hansen meninggalkan senderan sofa dan mengambil alih ponsel Oliv, sebelum mengetik kata kunci. Selama Hansen mengetik dengan satu tangan, mata Oliv tidak teralih dari jemari Hansen yang mengetik.

Kenapa ponsel gue kelihatan mungil banget di tangan dia?

Lalu Oliv mengalihkan pandangan kepada tangannya yang dipegang Hansen, dan baru menyadari, tangannya terlihat mungil jika dibandingkan dengan tangan Hansen.

Sejak kapan tangan Hansen sebesar ini?

"Oh, aku paham," ucap Hansen setelah membaca dari ponsel Oliv, menyadarkan Oliv dari lamunannya. "Kayaknya aku lebih ke quality time, deh. Yang kedua mungkin physical touch. Kalau kamu?"

"Physical attack," jawab Oliv tidak fokus, dan Hansen langsung tertawa.

"Bener banget itu. Kamu kepikiran aja, lho. Cocok banget."

"Iya, makanya kamu harus hati-hati sama aku. Makin aku sayang, makin aku attack kamu," jawab Oliv keki. Malah disetujuin, lho. Pacar macam apa ini.

Hansen tertawa semakin kencang.

Hansen merangkul bahu Oliv, meninggalkan ponselnya di sofa, sebelum menarik Oliv lebih dekat.

"Masih bisa lebih parah daripada kamu attack pantat aku?" bisiknya, membuat Oliv makin keki.

"Heh! Aku nggak pernah attack pantat kamu, ya!"

"Nggak apa kok, aku nggak keberatan. Aku tahu pantat aku memang menggoda."

Wajah Oliv sontak memerah, membuat Hansen semakin semangat menggoda Oliv.

"Kok kamu merah? Kamu bayangin pantat aku ya?"

"Nggak!"

"Nggak salah lagi?"

"Nggak, ya! Dasar pacar rese!"

Tawa Hansen memudar, membuat Oliv jadi ikut terdiam.

Lho? Dia bete? batin Oliv.

Tiba-tiba senyumnya muncul. Matanya menatap Oliv lembut, dan satu kecupan dilabuhkannya pada bibir Oliv.

"Nggak apa-apa rese yang penting diakuin jadi pacar," bisiknya, dan Oliv kembali merona.

"Apa sih, genit banget kamu cium-cium-"

Oliv tidak sempat menyelesaikan ucapannya, karena Hansen kembali mempertemukan bibir mereka.

Dan Oliv, tentu saja tidak menolak.

Tbc

Maafkan aku

Habis ini aku bertapa lagi deh, supaya tercerahkan dan nggak lelet lagi update cerita.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro