dua puluh tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy new year!!!

Semoga di tahun yang baru ini, kita semua masih diberikan kesehatan, baik fisik maupun jiwa.

Apapun resolusi kalian di tahun ini, semoga bisa terwujud. Yang belum terwujud di tahun lalu, tetap semangat, tetap berjuang.

Apa resolusi kalian di tahun ini?

Kalau aku, tamatin ini. Syukur2 bisa tamatin cerita Rick dan mulai cerita Liam/Ron, salah satu tergantung keinginan hati aku. Syukur2 bisa dua2nya. Tapi kayaknya terlalu muluk :(

Aku membaca semua komentar kalian. Thank you for all your comments and support. Cinta kalian semua ❤

Hope you enjoy this chapter yang isinya manis-manis dulu.

Konfliknya entar aja. Males hehehee

--------------

Keuntungan dan kerugian pacaran dengan sahabat sejak kecil :

Sudah tahu kekurangan dan kelebihan masing-masing, jadi tidak ada kejutan lagi.

Di satu sisi, itu tampak seperti kerugian, tapi kenyataannya, itu juga jadi keuntungan.

Mereka tidak perlu menjaga image lagi. Toh, sudah tahu kelakuan masing-masing.

Hanya saja, terbiasa bersahabat membuat keduanya menjadi agak canggung. Seperti saat ini.

Hansen melepaskan ciuman di antara mereka dan mengambil tempat di sebelah Oliv. Keduanya menolak untuk saling menatap, karena sama-sama malu.

Hansen yang memutuskan untuk menghilangkan rasa malunya lebih dulu, dan menatap Oliv sambil tersenyum.

Wajah Oliv merona, dengan bibir yang agak bengkak dan merah. Hansen tergoda untuk menciumnya lagi, namun dia menahan diri.

Akhirnya, dia menangkup sebelah pipi Oliv dengan telapak tangannya, sementara ibu jarinya mengusap lembut bibir Oliv.

Oliv mencoba mengelak, namun pegangan Hansen cukup erat sehingga dia tidak bisa menghindar.

"Ih, apaan sih, Hans?"

"Kenapa? Malu-malu gitu. Bukannya lo suka sama pantat gue? Kenapa sekarang malah malu?"

"Ih!!"

Oliv memukul lengan Hansen. Akhirnya matanya bersirobok dengan mata Hansen, menatapnya kesal.

"Orang gue belum pernah lihat pantat lo, gimana mau suka?"

"Oh..."

Oliv berpikir, Hansen akan membalasnya dengan ledekan seperti biasa. Tapi Oliv tidak menyangka, Hansen justru mendekatkan wajahnya.

Ditambah lagi, Hansen berbicara dengan nada lembut menggoda, membuat Oliv semakin merona.

"Kamu mau lihat pantat aku? Boleh.. Tapi nanti ya, bertahap."

"Hah? Nggak, gue nggak mau lihat-"

"Liv," potong Hansen, ibu jarinya kembali mengusap bibir Oliv lembut, membuat jantung Oliv yang sudah bekerja ekstra sedari tadi, semakin berdebar kencang. Pipinya terasa sangat panas, apalagi bagian yang disentuh Hansen.

"Kita kembali kayak dulu, yuk. Pakai aku-kamu. Nggak mau pakai gue-kamu lagi."

Oliv terdiam, bukan karena tidak mau menjawab, tapi karena otaknya sudah tidak berfungsi dengan benar. Wajah Hansen yang kian mendekat, sentuhan lembutnya di bibir Oliv membuyarkan semua kinerja inderanya yang lain.

Tanpa sadar Oliv membuka bibirnya, dan untuk pertama kalinya Oliv mendengar Hansen mengumpat di depannya, sebelum bibir Hansen menggantikan posisi ibu jarinya.

Hansen tidak melepaskan tangannya dari pipi Oliv, sementara bibirnya mengulum bibir Oliv.

Jutaan kupu-kupu mengepakkan sayapnya di perut Oliv, membuat tubuhnya meremang mendambakan sensasi lebih. Tanpa sadar dia menyentuh dada Hansen, dan naik ke bahunya, meremasnya pelan sebelum mengalungkan jarinya di tengkuk Hansen.

Tangan Hansen turun dari pipi Oliv dan menangkup tengkuknya, meninggalkan jejak panas dan membuat tubuhnya meremang. Tangannya yang satu lagi bergerak menyentuh pinggang Oliv, menariknya mendekat.

Hansen mengulum bibir Oliv, sesekali menggigitnya, membuat Oliv mengerang lirih. Oliv membalas ciumannya, jarinya menyusup ke rambut Hansen yang mulai panjang.

Hansen melepaskan bibir Oliv tanpa menjauh, dan tersenyum mendengar nafas Oliv yang terengah.

"What.. was that?" Tanya Oliv sambil berusaha menetralkan nafasnya.

"Apanya?"

Oliv menjauhkan wajahnya dari wajah Hansen untuk lebih mudah menatap matanya.

"Kamu." Hansen tersenyum kian lebar mendengar ucapan Oliv. "Genit."

"Aku? Genit? Masa?" tanya Hansen dengan nada menggoda.

"Mmm... It just our first day, tapi kamu sudah nyium aku berkali-kali."

Hansen tertawa kecil.

"Sorry, can't resist. You're too beautiful."

"Idih," sahut Oliv sambil memukul bahu Hansen, wajahnya merona. "Aku nggak nyangka kamu bisa gombal."

"Aku cuma bicara fakta."

Hansen mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut bibir Oliv sebelum menjauh, memberi jarak di antara mereka.

Dia harus melakukannya, atau bisa-bisa dia tidak sanggup menahan diri dan menciumi Oliv seharian.

"Kamu masih diet?"

Oliv mengangguk.

"Cuma sampai malem ini sih. Besok pagi aku foto. Habis itu paling dua-tiga hari lagi aku mulai jaga makan lagi, tapi nggak sampai diet."

"Foto? Sampai siang?" tanya Hansen, sembari mengambil tangan Oliv dan meremasnya pelan. Oliv kembali merona, namun dia membiarkannya.

"Mungkin. Kamu? Besok sibuk?"

"Sedikit. Aku harus ke kantor, besok jadwal rekaman Fiona," kata Hansen, menyebut nama penyanyi baru di agensi mereka.

"Oh, dia yang nyanyi lagu kamu?" tanya Oliv, dan Hansen mengangguk. Hansen mulai belajar membuat lagu, dibantu para produser lagu di agensi mereka. Salah satu lagu yang dia buat, tadinya akan dia nyanyikan sendiri untuk album barunya yang rencana rilis tahun depan, ternyata lebih cocok dinyanyikan oleh penyanyi perempuan.

"Kata Mas Bayu, aku ikutan dia rekaman, biar belajar jadi produser," jawab Hansen, menyebut nama salah satu produser musik.

"Oh, keren, keren," respon Oliv.

"Lusa keluar yuk," ajak Hansen tiba-tiba. "Kamu kosong kan?"

"Lusa? Kita mau muncul di depan publik secepat itu?" tanya Oliv kaget, dan Hansen menanggapinya dengan tawa pelan.

"Kamu khawatir?"

"Ng.. Nggak sih, tapi apa nggak kecepetan?"

"Tergantung, sih. Kayaknya kita bakal dianggap biasa aja jalan bareng, walaupun ada yang lihat. Ingat nggak, terakhir kali kita jalan, pas sama ponakan kamu?"

"Iya sih.. Boleh deh. Asal kamu jangan touchy deh."

Hansen mengernyitkan dahinya.

"Wah, aku nggak bisa janji kalau itu."

"Kok gitu?"

Hansen tersenyum lebar, dan mendekatkan jari Oliv ke bibirnya sebelum mengecupnya.

Bagaimana dia bisa menahan diri, sekarang setelah dia menyadari perasaannya dan Oliv sudah menjadi pacarnya?

Sekarang saja dia kesulitan melepaskan pandangan dan tangannya dari Oliv. Padahal mereka baru saja jadian.

Lagipula, kenapa dia harus menahan diri? Selama masih batas wajar antara orang pacaran, dia akan melakukannya.

Toh, Oliv pacarnya. Kekasihnya.

"Lho, kok malah diam?" tanya Oliv sewot, walaupun wajahnya kembali panas karena gestur Hansen.

Oliv benar-benar asing dengan Hansen yang seperti ini. Dia memegangi tangan Oliv seakan enggan melepasnya, dan tatapannya membuat Oliv malu.

Setidaknya, percakapan mereka cukup normal. Jika tidak, dia pasti lebih malu lagi.

Bukannya dia tidak menyukainya. Hanya saja, mengalami Hansen yang seperti ini adalah hal baru untuknya.

Hansen yang perhatian saja sudah membuatnya baper, apalagi ini.

Bisa-bisanya Astrid melepas Hansen, batin Oliv tidak habis pikir. Tapi nggak apa-apa. Rugi di dia, untung di gue.

Tapi Oliv belum tahu, Hansen mode pacar seperti apa selain bucin. Siapa tahu dia cemburuan kan? Super posesif? Atau nggak punya pendirian pas kencan?

Ah, kayaknya gue bakal jadi pihak cemburuan di hubungan ini, batin Oliv pasrah.

Sekarang saja dia merasa agak kesal karena si kuntilanak itu pasti pernah mesra-mesraan dengan Hansen. Dicium Hansen. Tangannya dipegang-pegang Hansen.

Nggak apa-apa, batinnya berusaha menenangkan diri. Gue akan hapus semuanya.

"Eh, Hans," panggil Oliv tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan. Dia tidak peduli lagi, tadi Hansen belum menjawab pertanyaannya, karena sekarang dia ingin bertanya secara serius.

"Hmm?"

"Astrid belum pernah lihat pantat kamu kan?"

Hansen menatap Oliv tercengang. Sedetik kemudian, Hansen tergelak. Apalagi wajah Oliv yang serius, membuat Hansen tertawa kian keras.

"Ih, kok malah ketawa? Aku serius nih."

Hansen berusaha menetralkan tawanya, dan balik bertanya, "kamu terobsesi sama pantat aku ya?"

"Nggak!" elak Oliv, telinganya ikut memerah. "tapi aku mau tahu, kamu udah sejauh mana sama Astrid. Kalian kan dulu pacaran sepuluh tahun."

Hansen berdeham, dan matanya menatap Oliv sambil tersenyum.

"Apakah itu penting? Masa lalu aku?"

Oliv mengangguk.

"Aku mau tahu."

"Ini hari pertama kita jadian, lho. Haruskah kita bahas ini?"

Oliv kembali mengangguk.

Setidaknya dia tahu lebih awal, lebih baik. Biar dia menghadapi kecemburuannya langsung, bukannya berandai-andai dan malah semakin cemburu.

Dia tahu Hansen belum pernah tidur dengan Astrid, karena itulah bahan tertawaan Sigit tiap kali dia ingin meledek Hansen. Padahal itu kan kebanggaan, bukan bahan ejekan. Pria yang sanggup menjaga logika di atas nafsunya harusnya jauh lebih baik kan?

Tapi masalahnya, di luar penetrasi, banyak hal yang mungkin dilakukan pasangan, dan itu yang dia cemburui.

Konyol kan? Padahal dia seorang model. Tapi, membayangkan ada perempuan lain yang pernah melihat tubuh Hansen, dia langsung merasa kesal.

Tiba-tiba Hansen melepas tangannya, lalu menangkup kepala Oliv sebelum mengantukkan kepala mereka berdua. Pelan, sebenarnya, tapi cukup membuat Oliv tersadar dari lamunannya.

"Kamu pasti sudah mikir jauh ke mana-mana. Dasar mesum."

Hansen menghadiahkan sebuah kecupan di ujung hidung Oliv sebelum melepasnya, lalu kembali berkata, "apapun yang ada di bayangan kamu, aku nggak sejauh itu. Nggak ada pantat-pantatan."

"Kalau dada? Dia pernah lihat kamu topless?" tanya Oliv keras kepala, dan Hansen menghela nafas panjang.

"Liv. Seratus ribu orang yang nonton konser aku tahun lalu juga pernah lihat aku telanjang dada." Padahal dia penyanyi ballad, tapi dia dengan bodohnya mengundang Sigit untuk kolaborasi. Saat lagu terakhir, mendadak hujan. Jadi Sigit dengan iseng merobek kemeja putih yang dia pakai, dan dia terpaksa bertelanjang dada sampai habis konser. Toh sudah basah juga.

"Ih."

Oliv memukul dada Hansen kesal, dan Hansen tergelak.

"Udah, nggak usah mikir macam-macam. Astrid itu masa lalu aku, nggak usah dipikirkan, udah lewat ini. Yang penting sekarang, kita. Oke?"

"Mmmm..." Oliv bergumam pelan, masih tidak terima namun berusaha untuk menahan diri.

Hansen benar. Apapun yang pernah Hansen lakukan dengan mantannya, bukan masalah. Semua sudah berlalu.

Yang penting adalah masa kini.

Tbc

Sorry for typos

Sampai ketemu di part berikutnya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro